Mungkinkah Siswa SMK Bergantian Masuk Sekolah?
Bagi SMK, aktivitas belajar dari rumah amat sulit untuk mengembangkan keterampilan siswa. Padahal, keterampilan inilah yang menjadi keunggulan SMK.
JAKARTA, KOMPAS — Sembari menunggu kepastian dari regulator, para pengelola SMK tengah menyiapkan strategi pembelajaran untuk menyambut tahun ajaran 2020/2021 yang direncanakan dimulai 13 Juli. Mereka berharap dapat melakukan pembelajaran tatap muka secara bergantian guna menjaga kompetensi siswa SMK.
Kepala SMK Negeri 13 Jakarta Maimunah berharap siswa dapat masuk ke sekolah secara bergantian. Aktivitas belajar-mengajar di sekolah ini penting karena siswa SMK perlu mengakses fasilitas sekolah untuk melakukan praktik.
”Kami berharap dapat kembali mengajar siswa dengan tatap muka, tetapi tidak serentak. Soalnya kalau serentak mungkin bisa sampai seribu siswa,” katanya saat ditemui di Jakarta, Jumat (26/6/2020).
Baca juga : Meningkatkan Kompetensi Guru di Era Digital
Maimunah membayangkan, pembelajaran tatap muka dapat diikuti oleh siswa dari jenjang yang berbeda setiap minggunya. Sebagai contoh, minggu pertama untuk kelas X, minggu kedua untuk kelas XI, dan kelas XII pada minggu selanjutnya. SMK Negeri 13 Jakarta memiliki 30 ruang kelas yang dapat dioptimalkan untuk menyebar aktivitas belajar-mengajar para siswa.
”Setiap ruangan nantinya bisa diisi sekitar 18 siswa. Dengan begitu, jarak antarsiswa sangat renggang. Jadwal ini masih akan disusun,” katanya.
Meski demikian, Maimunah tetap menunggu instruksi dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Di sisi lain, ia juga belum mengetahui secara pasti status domisili para siswanya, mana saja siswa yang tinggal di zona hijau, zona kuning, dan zona merah. Lokasi tempat tinggal siswa tersebut harus menjadi pertimbangan.
Sulit asah kompetensi
Maimunah juga tidak menampik bahwa pembelajaran daring yang dilaksanakan sejak pertengahan Maret silam mengalami sejumlah kendala. Beberapa materi pelajaran tidak bisa diikuti secara optimal melalui pembelajaran daring.
Baca juga : Pendidikan Karakter Nasional Siswa Sulit Dibentuk dari Rumah
Misalnya, saat pembelajaran olah tubuh untuk kompetensi keahlian pemeranan, guru dan siswa tidak bisa berinteraksi secara langsung. Padahal, untuk melatih ekspresi para siswa, guru biasanya harus melakukan kontak fisik.
”Mereka, kan, harus berteriak dan memperlihatkan mimik muka yang sesuai dengan perannya. Biasanya guru harus mengarahkan gerakan dan mimik siswa,” katanya.
Selain Pemeranan, SMK Negeri 13 Jakarta memiliki empat kompetensi keahlian lainnya. Kompetensi keahlian tersebut adalah Akutansi dan Keuangan Lembaga, Bisnis Daring dan Pemasaran, Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran, serta Usaha Perjalanan Wisata.
Menurut Maimunah, keempat kompetensi keahlian tersebut terkendala ketersediaan fasilitas. Biasanya, siswa melakukan praktik di laboratorium masing-masing. Akan tetapi, selama pembelajaran daring, mereka lebih banyak diajarkan tata cara mengoperasikan perangkat menggunakan gambar ataupun video.
”Ini untuk kelas XI, ya, karena kelas X masih belum banyak menerima praktik. Mereka baru mendapatkan dasar-dasarnya,” ujarnya.
Terkendala fasilitas
Menurut Kepala SMK Wiyata Satya Fajar Haryanto, kendala yang dihadapi selama proses pembelajaran daring adalah minimnya fasilitas penunjang yang dimiliki para siswa. Tidak semua siswa memiliki perangkat komputer mumpuni untuk dipasangi aplikasi pembelajaran.
”Siswa yang memiliki laptop jumlahnya juga masih terbatas. Sebanyak 80 persen siswa di sini adalah penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP),” katanya. KJP adalah bantuan pendidikan yang disalurkan Pemprov DKI Jakarta untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.
SMK Wiyata Satya memiliki tiga kompetensi keahlian, yakni Akutansi dan Keuangan Lembaga, Bisnis Daring dan Pemasaran, serta Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran. Ketiga kompetensi keahlian tersebut membutuhkan perangkat komputer untuk menunjang pembelajaran.
Menurut Fajar, perlu ada strategi khusus untuk menyambut tahun ajaran 2020/2021. Hal ini penting untuk menjaga kompetensi lulusan SMK. Idealnya, siswa harus tetap mendapatkan pembelajaran praktik di sekolah. Namun, keputusan itu ia serahkan sepenuhnya kepada regulator.
”Kalau siswa harus masuk secara bergantian, kami siap. Kami sudah siapkan protokol kesehatannya, membersihkan ruangan dengan disinfektan, dan membangun sarana cuci tangan,” katanya.
Kepala SMK Negeri 19 Jakarta Nunuk Isnadhiyah mengatakan, pembelajaran daring yang dilaksanakan pada beberapa bulan terakhir hanya menyasar pada teori saja. Pembelajaran praktik cenderung sulit dilaksanakan melalui daring.
Siswa yang belajar di kompetensi keahlian Multimedia, misalnya, kesulitan untuk menerima tugas desain grafis karena keterbatasan sarana. Sebab, tidak semua siswa memiliki komputer atau laptop dengan spesifikasi yang sesuai dengan tugas yang diberikan.
Hal yang sama juga dialami siswa Bisnis Daring dan Pemasaran. Mereka akan kesulitan jika harus mengikuti praktik pengoperasian mesin kasir sebab tidak ada satu pun siswa yang memiliki alatnya di rumah.
”Kami masih menunggu, apakah sekolah akan dibuka atau tetap pembelajaran daring,” katanya.
Jajak pendapat
Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan baru saja mengumumkan hasil jajak pendapat menuju normal baru pendidikan SMK. Jajak pendapat ini dikategorikan berdasarkan provinsi.
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner daring pada 1-4 Juni 2020. Responden terdiri dari siswa, orangtua, dan guru SMK. Di DKI Jakarta, responden yang dilibatkan 26.856 orang. Sebanyak 62 persen adalah siswa, 29 persen orangtua, dan 9 persen guru.
Hasilnya, sebanyak 52,74 persen guru setuju untuk kembali masuk sekolah, sedangkan untuk siswa yang setuju sebanyak 67,69 persen. Dari sisi orangtua, hanya sebanyak 39,45 persen yang setuju siswanya kembali masuk sekolah.
Pembelajaran daring dinilai oleh mayoritas guru sebagai upaya efektif untuk mencegah penularan Covid-19. Namun, sebanyak 75 persen guru mengaku mengalami kendala saat penerapan metode ini.
Hal ini sesuai dengan yang dirasakan siswa dan orangtua. Sebanyak 87 persen siswa menilai pembelajaran di sekolah lebih efektif ketimbang di rumah. Sebanyak 86 persen orangtua mengungkapkan hal yang sama.
Selama pembelajaran daring, kendala yang paling banyak dialami siswa adalah sinyal internet yang tidak mendukung (65 persen), suasana di rumah tidak kondusif (38 persen), dan alasan lainnya (22 persen). Adapun 10 persen lainnya beralasan tidak memiliki gawai atau laptop yang mendukung.
Jika SMK kembali dibuka, siswa dan orangtua berharap agar sekolah memberikan jaminan penerapan protokol kesehatan yang ketat, pengurangan jam belajar, dan mengatur jadwal tatap muka secara bergantian tiap minggunya.