Tidak mudah mempertahankan, apalagi mengembangkan seni tradisional Betawi, sebagai ikon budaya Jakarta. Hidup-matinya seni itu bergantung pada komitmen para seniman untuk menggiatkan regenerasi dan beradaptasi.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Sebagian seni tradisional Betawi, yang menjadi ikon Jakarta, mampu bertahan, bahkan berkembang sampai sekarang. Keberlanjutan seni itu ditentukan oleh kemampuan para seniman senior dalam menyiapkan kader baru dan beradaptasi dengan teknologi baru. Ditopang semangat keterbukaan, ekspresi budaya di Ibu Kota itu dapat tampil lebih luwes dan diterima berbagai kalangan.
Para seniman Betawi asal Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jawa Barat), dan Tangerang (Banten) mengungkapkan, menjaga dan mengembangkan seni tradisi kian tidak mudah. Apalagi, banyak muncul budaya baru yang lebih populer. Namun, kesulitan itu dapat diatasi dengan kegigihan seniman senior untuk menyiapkan generasi muda penerusnya.
Salah satu contohnya, Teater Pangkeng di Jakarta Timur. Setelah pendirinya, Yamin Azhari, meninggal tahun 2019, kepemimpinan kelompok itu dilanjutkan oleh Syamsudin Bahar Nawawi (47). Dia menghidupkan seni lenong dengan meneruskan latihan dan mencari kekayaan cerita dari berbagai kisah Betawi. Sejak pandemi Covid-19, kegiatan seni menjadi lebih terbatas. Beberapa jadwal pentas dibatalkan.
Untuk mengatasinya, mereka berlatih dengan memanfaatkan teknologi digital. Sebagian materi latihan direkam dalam bentuk video lantas diunggah di Youtube. ”Kebudayaan Betawi masih bisa diolah dan dikemas dengan beragam versi. Agar tidak hilang, kami perlu memasyarakatkan kebudayaan,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (23/6/2020).
Fajar Hardian (25), pemuda asal Kampung Nanggul, Desa Sukasari, Kabupaten Tangerang, Banten, kini memegang tongkat estafet kepemimpinan Sanggar Tanjidor Al Jabar, setelah ditinggal pendirinya, Jaip. Fajar mewarisi sanggar dengan seluruh alat musik, seperti di antaranya trompet, trombon, tuba, bas selendang, dan tambur. Kini, paling tidak tiga kali sepekan, dia mengajarkan cara memainkan tanjidor kepada para anggota sanggar.
”Dulu almarhum (Jaip) tidak pernah capek untuk mengajak generasi muda belajar dan mengenal kesenian ini,” kata Fajar mengenang pamannya, Seman.
Bersemangat serupa, pelukis asal Betawi, Sarnadi Adam, juga berusaha menularkan budaya Betawi kepada generasi muda melalui lukisan modern. Karya-karyanya mengangkat tradisi di Jakarta, seperti tari cokek, lenong, atau arsitektur. Selain melukis, dia juga mengajar sebagai dosen program studi seni rupa di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. Dari kampus ini, dia berusaha mengader para mahasiswa untuk mengembangkan seni lukis Betawi.
”Siapa pun yang perhatian pada budaya Betawi, saya dukung. Bagi saya, kaderisasi itu kewajiban,” katanya.
Selain regenerasi, kemampuan beradaptasi dengan budaya populer baru juga sangat menentukan keberlanjutan seni Betawi. Salah satu budaya baru itu adalah media sosial, yang semakin penting untuk sarana berekspresi bagi semua kalangan. Kanal ini perlu dimanfaatkan sebagai panggung baru yang lebih interaktif.
Yogie Ahmad (38), pembuat konten budyawa Betawi, aktif mengembangkan konten video yang diunggah di Youtube tentang ondel-ondel sejak 2016. Agar lebih serius dan fokus, dia bahkan berhenti dari pekerjaannya sebagai tenaga pemasaran properti. Dia juga aktif mengkoordinasi pentas ondel-ondel di berbagai acara.
Atas ketekunan itu, dia dipercaya sebagai Ketua Komunitas Ondel-ondel DKI Jakarta yang mencakup 22 sanggar dengan anggota 300 orang lebih. Dia juga membina kaum muda membuat konten ondel-ondel. Kini, ada 28 pembuat konten yang bergabung dengannya. Yogie mengaku jatuh cinta dengan budaya Betawi dan berkomitmen untuk terus menjaganya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendukung pengembangan budaya Betawi. Dalam wawancara khusus jelang peringatan hari ulang tahun ke-493 Jakarta pada 22 Juni 2020, akhir pekan lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan memperluas akses publik terhadap seni tradisional Betawi. Jika selama ini terpusat di Setu Babakan, Jakarta Selatan, ruang pertunjukan seni Betawi bakal digelar di tempat-tempat lain.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana, saat dihubungi, mengungkapkan, selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sanggar seni didorong untuk memanfaatkan teknologi digital sebagai ruang ekspresi baru. Segala kegiatan musik, tari, teater, hingga silat beralih ke medsos.
Samsudin Kacrit, pengasuh Sanggar Seni Margasari di Jakarta Timur, mengaku mulai menyiapkan diri jika sewaktu-waktu sanggar diizinkan buka. Sambil menunggu kesempatan itu datang, dia fokus berlatih melalui media sosial. Para anggota sanggar juga ditantang menciptakan karya dan mengunggahnya di internet. (DIV/DNE/MED/SKA/IGA)