Sejumlah pihak mendesak agar kepolisian segera membebaskan R, seorang perempuan korban kawin tangkap di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain gerakan bersama menghentikan praktik kawin tangkap yang selama ini berlangsung di Sumba, Nusa Tenggara Timur, kehadiran aparat penegak hukum untuk melindungi perempuan korban sangat penting. Oleh karena itu, langkah cepat kepolisian untuk membebaskan R (21), perempuan korban kawin tangkap di Sumba Tengah, Selasa (16/6/2020), sangat dinantikan.
Meskipun atas nama adat, tindakan penangkapan terhadap R tidak bisa dibenarkan. Tindakan para pelaku membawa paksa R, warga Desa Dameka, Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, telah merampas kemerdekaan dari korban. Negara harus hadir memberikan perlindungan kepada warganya yang dirampas kemerdekaannya.
”Kami mendorong aparat kepolisian untuk membebaskan korban dari perampasan kemerdekaannya, dari sekapannya. Perampasan hak perempuan, itu bukan delik aduan, sehingga polisi bisa melakukan tindakan, minimal membebaskan korban dari penguasaan pihak laki-laki yang menangkapnya,” ujar anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, Selasa (23/6/2020).
Harapan agar polisi segera bertindak juga disampaikan Siti Aminah dalam diskusi daring ”Perempuan Sumba Menggugat Praktik Kawin Tangkap”. Diskusi itu menghadirkan pembicara lainnya, Ratu Wula Talu (anggota DPR dari NTT), Pendeta Aprissa L Taranau (Ketua BPD Peruati Sumba), dan Pendeta Marlin Lomi (Sekretaris Umum Sinode Gereja Kristen Sumba).
Ketika ada seseorang yang dirampas kemerdekaannya, polisi mempunyai kewajiban untuk membebaskannya.
Siti Aminah menegaskan, jika nanti R sudah dibebaskan dari keluarga yang menangkapnya, soal perkembangan selanjutnya apakah keluarga akan meneruskan perkawinannya atau tidak, itu adalah hal lain. Namun, ketika ada seseorang yang dirampas kemerdekaannya, polisi mempunyai kewajiban untuk membebaskannya.
Selain itu, korban harus dimintai pendapat terkait pengambilan keputusan untuk menerima praktik kawin tangkap atau tidak. Pengambilan keputusan korban harus dilakukan secara bebas dan tanpa tekanan. ”Hal itu hanya dimungkinkan ketika korban dikuatkan dan berada di tempat yang aman dan nyaman untuk mengambil keputusan,” tegas Siti Aminah.
Seperti diberitakan, pada 16 Juni 2020, R ditangkap sekelompok laki-laki dan dibawa paksa ke rumah N (28), laki-laki yang akan menikahinya. Meski R memberontak, berteriak, dan menangis, para laki-laki tersebut beramai-ramai mengangkat tubuh R dan menggotongnya ke rumah N.
Peristiwa kawin tangkap tersebut mengundang reaksi publik setelah kejadian itu direkam dalam video berdurasi sekitar 30 detik dan diunggah ke media sosial. Berbagai kecaman disampaikan kalangan gereja, aktivis organisasi perempuan dan hak asasi manusia, karena dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan kemanusiaan yang merendahkan harga diri dan martabat perempuan.
Ratu Wula menegaskan, praktik kawin tangkap harus dihentikan. Karena itu, dia berjanji akan mengawal kasus R dan meminta kepolisian agar bertindak nyata segera menangkap pelaku dan juga memberikan perlindungan kepada R.
Desakan kepada polisi untuk segera bertindak cepat disampaikan pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala. Aksi nyata kepolisian terhadap kasus tersebut sangat dibutuhkan karena dari tayangan video yang beredar di masyarakat jelas terlihat penderitaan yang dialami korban.
”Daya paksa jelas menjadi faktor penting dalam peristiwa ini. Ada relasi kuasa yang timpang, pemaksaan, situasi ketakutan dalam peristiwa tersebut. Dapat diduga terdapat unsur perbuatan penganiayaan dan penculikan. Yang terpenting, korban segera mendapatkan akses atas pemulihan mentalnya oleh pendamping yang profesional,” tegas Valentina.
Banyak kasus terjadi
Dalam diskusi tersebut Aprissa membacakan tiga narasi (testimoni) korban kawin tangkap, sambil meneteskan air mata. Aprissa yang melakukan penelitian korban-korban kawin tangkap sejak tahun 2009 mengungkapkan betapa penderitaan berlapis dihadapi para perempuan korban kawin tangkap.
Dari data yang dikumpulkan Aprissa, setidaknya pada tahun 2009 ada 20 kasus kawin tangkap, tahun 2013, 2016, dan 2017 masing-masing satu kasus, tahun 2019 dua kasus, dan tahun 2020 dua kasus, termasuk kasus R. ”Kasus-kasus ini yang berhasil terdata, tetapi bisa saja lebih banyak lagi kasus lain yang tidak terangkat di permukaan. Data di atas juga menunjukkan kasus ini terus dilanggengkan dan dianggap biasa,” ujarnya.
Aprissa menegaskan kawin tangkap sebagai narasi kekerasan dan ketidakadilan. Penderitaan dan luka yang dialami perempuan korban tidak hanya secara fisik, tetapi juga luka batin yang dirasakan sepanjang hayat.
”Harus ada intervensi negara untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan dengan menerbitkan perda soal kawin tangkap. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” katanya.
Marlin menegaskan, tradisi budaya kawin tangkap ini termasuk bentuk kekerasan berbasis budaya patriarki. ”Praktik kawin tangkap haruslah menjadi pembelajaran bagi kita semua. Salah satu poin penting adalah menghentikan praktik yang mengatasnamakan adat tetapi melanggar hak asasi manusia dan merendahkan martabat perempuan,” ujarnya.
Ratu menambahkan, dirinya menolak budaya kawin tangkap ini karena merampas hak dan kebebasan kaum perempuan. ”Sebagai anggota DPR, saya akan mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ucapnya.