Di masa sulit ini, orangtua diingatkan untuk mengendalikan emosi di dalam keluarga. Sebagian besar orangtua yang kini memiliki keseharian lebih lama bersama keluarga bisa memanfaatkannya untuk memperkuat keluarga.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa pandemi Covid-19 yang akan berlanjut dengan tatanan hidup normal baru menjadi tantangan sekaligus peluang orangtua untuk menguatkan kualitas keluarga. Orangtua harus mampu mengendalikan dan mengelola emosi saat semua aktivitas, baik bekerja maupun belajar, terpusat di rumah.
Saat anak-anak tinggal dan belajar di rumah merupakan momentum bagi orangtua untuk menguatkan peran keluarga sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak-anak. Selain itu, kebersamaan dalam keluarga inti tersebut semakin melekatkan hubungan orangtua dan anak.
Pentingnya orangtua mengelola emosi di masa pandemi dan masa tatanan normal baru terungkap dalam diskusi daring Seri Bincang Bersama Kak Seto ”Orangtuaku Sahabat Terbaikku” yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Rabu (24/6/2020).
Diskusi yang dibuka Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalin itu menampilkan pembicara Ratna Megawangi (Ketua Bidang Pendidikan Karakter di Organisasi Aksi Solidaritas Era (OASE) Kabinet Indonesia Maju), Najelaa Shihab (pendidik), dan Seto Mulyadi atau Kak Seto (Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia).
”Yang namanya orangtua punya emosi sebetulnya wajar dan tidak terpisahkan. Jadi, marah boleh, enggak bisa hilang sama sekali. Khawatir wajar ada. Rasa bersalah kadang-kadang muncul. Tetapi, apa yang kita lakukan atas itu membedakan apakah kita orangtua bisa mengelola emosi dengan baik atau tidak,” ujar Najelaa yang juga pendiri Sekolah Cikal.
Pembeda antara orang dewasa yang mampu dan tidak mampu mengelola emosinya adalah perilaku atas emosi yang dirasakan. Oleh karena itu, orangtua diingatkan untuk berhati-hati dalam menghadapi berbagai situasi saat pandemi ataupun memasuki tatanan normal baru.
”Kenapa perlu berhati-hati, karena tentu bagaimana kita mengelola emosi, perilaku kita atas hal itu, akan ditiru anak. Pada akhirnya, itu akan menjadi lingkaran negatif yang memengaruhi pola interaksi keluarga,” katanya.
Lingkaran negatif
Jika emosi tidak dikelola dengan baik, orangtua akan mudah sekali terjebak dalam lingkaran negatif, seperti kemarahan. Ketika anak-anak tidak mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah, orangtua menjadi marah kepada anak, guru, dan dirinya. Namun, ketika ditanya apa alasan kemarahan, jawabannya adalah marah terhadap rasa marah.
”Ini sesuatu yang membuat interaksi dalam keluarga membuat lingkaran yang sangat negatif. Bahkan, kasus kekerasan pada anak yang sangat ekstrem itu muncul dalam kondisi seperti gini,” kata Najelaa.
Saat membuka diskusi, Lenny juga mengingatkan pentingnya mengelola emosi di masa pandemi dan kebiasaan baru. Ia mencontohkan, sebelum pandemi, peran mendidik anak terbagi-bagi, yakni orangtua berperan di dalam keluarga dan guru berperan di satuan pendidikan. Namun, saat ini, semua peran tersebut ada pada orangtua.
Berperan sebagai orangtua, sebagai pengasuh, pendidik, teman, juru masak, guru ngaji, dan sebagainya.
Orangtua menjalankan multiperan. ”Berperan sebagai orangtua, sebagai pengasuh, pendidik, teman, juru masak, guru ngaji, dan sebagainya. Semuanya dari A sampai Z itu menjadi peran orangtua atau peran keluarga tersebut. Maka, orangtua harus menyiapkan diri,” papar Lenny.
Peran orangtua penting karena hingga kini masih banyak orang mengartikan masa kebiasaan baru tidak pas, yakni orang boleh keluar karena virus korona sudah tidak ada. ”Inilah yang harus kita sama-sama siapkan anak-anak agar jangan sampai nanti menjadi masalah baru,” katanya.
Lenny menyatakan, menjadikan anak sebagai sahabat adalah langkah yang bisa ditempuh orangtua. Hal itu bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti memberi pujian dan apresiasi, menjadi pendamping yang baik dalam belajar, menjadi pendengar yang baik, menghargai waktu privasi anak, mengajak anak berpendapat dan berdiskusi, meyakinkan bahwa orangtua peduli dan ada saat dibutuhkan, serta membangkitkan rasa percaya diri dengan memberi tanggung jawab.
Adapun Ratna Megawangi menilai pentingnya menyadarkan ibu-ibu untuk mengasuh anak-anaknya dengan cinta. Sebab, anak membutuhkan kelekatan dengan ibunya. Bahkan, membangun komitmen moral nurani dan empati memerlukan kelekatan emosi yang kuat antara anak dan orangtua. ”Kelekatan ibu dan anak kunci membangun bangsa,” ucapnya.
Kelekatan ibu dan anak kunci membangun bangsa.
Kunci dari keberhasilan pendidikan karakter, menurut Ratna, antara lain membangun kesehatan jiwa, membangun semua dimensi manusia (pendidikan holistik), menciptakan emosi positif dengan membangun lingkungan kondusif dalam keluarga dan sekolah, serta ketangguhan mengelola emosi.
Kasih sayang
Seto Mulyadi mengingatkan bahwa pendidikan karakter adalah contoh dari keteladanan dan harus diwarnai dengan suasana kasih sayang. Namun, pendidikan sering tidak ramah buat anak, bahkan sistem pendidikan karakter diterapkan secara keliru. Ini menjadikan fungsi keluarga dan sekolah sebagai pranata kontrol tidak berjalan.
Bahkan, yang terjadi, sering orangtua terlalu sibuk, tidak ada komunikasi, dan tuntutan terhadap anak terlalu tinggi sehingga terjadi kekerasan pada anak. Orangtua juga tidak tahu potensi anaknya, punya ambisi yang berlebihan, dan sebagainya.
”Kuncinya, mohon kita kembangkan komunikasi efektif dengan anak. Kalau di masa pandemi ini, guru berkomunikasi dengan anak melalui media sosial, tetapi juga berkomunikasi dengan orangtua. Tetapi, kasih sayang, keteladanan, komunikasi, apresiasi, dan bimbingan, suasana seperti inilah yang mohon terus tercipta saat pandemi dan anak terpaksa harus belajar dari rumah,” ujarnya.