Berbagai cara dilakukan seniman Betawi untuk memunculkan kekhasan budaya saat tampil di layar kaca. Semua itu mereka lakukan demi menjaga warisan budaya Betawi agar tidak luntur termakan zaman.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
Masa silih berganti, kebudayaan Betawi di Jakarta pun terus lestari dengan berbagai macam cara. Tidak hanya berhenti pada penampilan di panggung seni, upaya pelestarian pun dilakukan lewat medium yang lebih kekinian dan relevan dengan zaman.
Para seniman Betawi meyakini, cara pelestarian paling mutakhir saat ini adalah dengan menyelipkan nilai budaya lewat media televisi dan tayangan audiovisual. Cara inilah yang ditempuh sejumlah seniman agar budaya mereka tidak termakan zaman.
Cara tersebut dilakukan Muhammad Yusuf Nirin (48). Yusuf yang kerap disapa Ucup konsisten menekuni seni peran kendati silsilah keseniannya berasal dari seni tari. Sejak 2006, Ucup Nirin berakting di sinetron berjudul Si Entong.
Dalam setiap perannya, Ucup Nirin berprinsip menampilkan karakter masyarakat Betawi yang agamais, suka membanyol, dan selalu menolong sesama. Ciri itu dipegang dari almarhum sang ayah, Haji Nirin Kumpul, yang dulu juga terjun ke dunia seni peran lewat tayangan komedi situasi berjudul Pepesan Kosong. Sang ayah dulu kerap tampil sebagai pengimbang tokoh utama, yakni Malih dan Bolot.
Karakter membanyol diciptakan Ucup Nirin lewat jargon ”sungguh terlalu!” dengan aksentuasi menekan ala Betawi di sinetron Si Entong. Lewat jargon itu, penonton terpatri akan ingatan karakter tokoh bernama Samin. Menurut Ucup, dari situ pula penonton akan mau mengikuti dan mencontoh hal baik yang dilakukan karakter Samin.
Begitu pula pada 2013, Ucup Nirin juga berusaha menanamkan karakter orang Betawi di sinetron Emak Ijah Pengen ke Mekah. Di situ dia memerankan sosok Ocid, seorang pengurus RT yang humoris dan setia menaruh hati kepada satu perempuan.
”Saya memang seringnya mencipta jargon agar orang ingat dengan tokoh yang saya perankan. Kemudian, dari situ saya coba menyelipkan sedikit ciri khas sebagai orang Betawi. Seringnya melalui logat Betawi. Kadang dicampur dengan dialek bahasa Inggris karena Samin dahulu itu juga sosok yang selalu ingin mengikuti zaman,” ungkapnya saat ditemui pada Sabtu (20/6/2020).
Cara-cara serupa juga dilakukan Burhan (53), seniman lenong dari Sanggar Jali Putra, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dalam beberapa kesempatan saat menerima pekerjaan akting sinetron, dia berupaya mengenalkan dialek Betawi dari wilayah tertentu.
”Misalkan, dari cara menyebut di mana dan di mane, kita bisa tahu orang itu asalnya dari pusat kota atau daerah tepi kota. Itu bukannya menjelekkan kalau ada seseorang yang tinggal di tepi kota, tetapi lebih merepresentasikan silsilah orang itu berasal dari mana,” ujar Burhan yang turut bergabung dalam sinetron Islam KTP pada 2010.
Penanaman karakter Betawi juga dilakukan oleh Bachtiar Zakaria (49), pengasuh Sanggar Si Pitung Rawa Belong. Dia mendidik anaknya untuk mendalami budaya Betawi, yakni sebagai karakter Ucup dan Pitung. Kedua karakter ini mewarisi ilmu silat cingkrik, mendalami agama, dan selalu mengenakan pangsi.
Ucup dan Pitung berseliweran di sejumlah program televisi serta memiliki kanal media sosial Youtube. ”Mereka turut mengenalkan budaya Betawi, mulai dari logat, silat, dan kesenian palang pintu,” ucap Bachtiar.
Karena Ucup dan Pitung, muncul pula sebagian anak yang kagum akan kebudayaan Betawi. Kekaguman itu lantas membuat anak-anak ingin mengenali lebih dalam esensi kebudayaan mereka.
Para seniman mengakui, cara pengenalan budaya Betawi harus dilakukan dengan cara-cara baru yang sesuai perkembangan zaman. Bachtiar dari Sanggar Si Pitung Rawa Belong berusaha mendekati generasi anak muda yang gemar menatap gawai agar lebih kenal dengan budaya Betawi.
”Saya agak miris kalau melihat anak-anak sekarang hanya doyan menatap gawai, lalu tanpa sadar mereka sebenarnya tidak berkegiatan secara produktif. Saya harap anak-anak, terutama yang asli dari Betawi, mereka mau mengenal dan melestarikan kebudayaan mereka ini,” kata Bachtiar.
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Yahya Andi Saputra menuturkan, kondisi saat ini harus disiasati bersama oleh seniman dan pemerintah. ”Selama ini budaya Betawi membuka diri dan menerima akulturasi. Dengan adanya pandemi Covid-19 dan berbagai situasi terkini, saya yakin kita bisa melewati kondisi sekarang,” katanya.
Antropolog Yasmine Z Shahab memandang, DKI Jakarta sebagai ibu kota negara tumbuh menjadi pusat ekonomi, pusat pemerintahan, dan gerbang utama berbagai kebudayaan. Kelompok seniman Betawi sejauh ini selalu beradaptasi, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
Haji Rodjali (87), seniman lenong kawakan dari Sanggar Jali Putra, meyakini bahwa upaya pelestarian harus terus dilakukan. Sebab, suatu saat, marwah manusia adalah kembali ke silsilah mereka. Meski kini sedang sepi peminat, masyarakat Betawi pasti suatu saat akan kembali merindukan kesenian Betawi.
”Saya percaya suatu saat kesenian Betawi pasti akan dirindukan lagi. Selagi menunggu kesenian ini bangkit lagi, para seniman harus tetap ada dan melestarikan budaya,” katanya.