Di tengah berbagai kesulitan, termasuk Covid-19, sejumlah sanggar seni Betawi berjibaku untuk bertahan hidup. Saat pentas ditiadakan selama pandemi, sebagian anggota sanggar terpaksa nyambi bekerja di luar kesenian.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para seniman Betawi berusaha meneruskan beragam seni tradisional sebagai ikon Jakarta. Untuk itu, mereka harus berjibaku menyiasati perubahan zaman, termasuk pandemi Covid-19. Ekspresi seni mereka sarat dengan nilai keterbukaan yang menjadi karakter budaya Ibu Kota.
Penelusuran Kompas pada akhir pekan lalu menunjukkan, upaya menjaga seni tradisi Betawi ini terlihat di banyak sanggar yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jawa Barat), serta Tangerang (Banten). Bentuk keseniannya beragam, mulai dari lenong (teater), palang pintu (silat), tanjidor dan gambang kromong (musik), hingga tari.
Muslih (71), Guru Besar Perguruan Silat Selempang Betawi, di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, misalnya, mengembangkan silat aliran beksi sejak 1966. Kini, ada 33 padepokan di bawah naungannya dan 60 muridnya menjadi guru yang menurunkan ilmu kepada murid-murid baru. ”Silat bukan senjata untuk bertikai, melainkan jembatan pemersatu,” katanya, akhir pekan lalu.
Burhan (53), pengasuh Sanggar Jali Putra di Pasar Rebo, Jakarta Timur, merangkul budaya populer dalam seni lenong. Salah satunya, menyelipkan dangdut dalam musik gambang kromong. Cara ini membuat lenong disukai kawula muda.
Ada pula Fajar Hardian (25), pemimpin Sanggar Tanjidor Al Jabar di Kampung Nanggul, Desa Sukasari, Kabupaten Tangerang, Banten. Mewarisi sanggar dari pamannya, Jaip (almarhum), Fajar mengajak para pemuda untuk berkesenian. ”Namun, jadi pemain tanjidor tidak bisa bikin mapan karena panggilan pentas sudah jarang,” katanya.
Pandemi Covid-19 kian memukul sanggar-sanggar seni Betawi. Pembatasan sosial berskala besar semakin menghilangkan peluang manggung. Kerumunan massa saat pentas rentan memperluas potensi penularan virus korona baru.
Syarifudin ”Jaro” (62), pemimpin kelompok lenong Setia Jaya di Tangerang Selatan, bercerita, kelompoknya biasa pentas dua kali dalam sebulan di berbagai hajatan warga. Namun, tiga bulan terakhir, tidak ada lagi undangan manggung. Anggota kelompok pun kembali menekuni pekerjaan masing-masing, seperti bertani dan berkebun. Jika pandemi Covid-19 berakhir, mereka bertekad kembali berkesenian.
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Yahya Andi Saputra menganggap pandemi sebagai siklus kehidupan. Dengan memperkuat kerja sama, para seniman diyakini akan mampu melampaui tantangan ini sebagaimana zaman dulu. ”Ketahanan menghadapi siklus kehidupan telah teruji. Selama ini, budaya Betawi membuka diri dan menerima akulturasi,” katanya.
Ada 296 sanggar
Menurut antropolog Yasmine Z Shahab, DKI Jakarta sebagai ibu kota negara tumbuh menjadi pusat ekonomi, pusat pemerintahan, dan gerbang utama berbagai kebudayaan. Kelompok seniman Betawi lumayan cepat beradaptasi, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
Seiring perkembangan pesat Jakarta, masuk bermacam etnik yang cukup gigih mempertahankan budayanya. Ketika Jakarta semakin kosmopolit, budaya Betawi perlu diakomodasi. Langkah itu diwujudkan, antara lain, melalui pembentukan cagar budaya, seperti di Condet dan Setu Babakan.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengungkapkan, saat ini tercatat 296 sanggar di Jakarta yang aktif di bidang musik, tari, seni rupa, teater, dan sastra. Mereka pelaku kebudayaan Ibu Kota yang diramu dari kekayaan tradisi yang bergulir dalam sejarah berabad-abad.
Untuk kepentingan pentas, Pemprov Jakarta mengelola tiga gedung, yaitu Gedung Kesenian Jakarta, Miss Tjitjih, dan Wayang Orang Bharata. Selain itu, ada Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki dan lima tempat pelatihan serta pembinaan yang dikelola suku dinas.