Di balik setiap penampilan kesenian budaya Betawi, ada orang-orang yang terus menjaga warisan dari leluhur agar tidak lantas luntur. Mereka terus menjaga nilai itu dan menurunkan ke generasi selanjutnya.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
Suara alat musik gesek kongahyan milik Haji Rodjali (87) mengalun perlahan meski nadanya terdengar agak sumbang. Dia memainkan alunan lagu ”Si Jali-jali”, sebuah lagu yang terus dia mainkan sepanjang kiprahnya menekuni kesenian budaya Betawi.
Dari lagu ”Si Jali-jali”, tersimpan kecintaan Rodjali terhadap budaya Betawi. ”Banyak kenangan saya dengan lagu-lagu Betawi, terutama sewaktu lagi ngelenong. Dulu pun, setiap saya mengalunkan kongahyan, banyak orang yang berkumpul dan minta diajari,” tutur Rodjali, sembari mengingat hari Senin (22/6/2020) adalah Hari Ulang Tahun DKI Jakarta.
Rodjali atau yang populer disapa Jali Jalut, tidak henti-henti bercerita asam garam menekuni kesenian Betawi di rumahnya, kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Sabtu (20/6/2020). Dia bahkan bercerita jenis lenong betawi, yakni lenong denes dan lenong preman. Kendati semangatnya saat bercerita terus menggebu, kondisi pelestarian budaya Betawi saat ini, menurut dia, malah kian menurun.
Seniman lenong betawi kawakan ini menilai, minat generasi muda turun drastis dibandingkan dengan saat dia membangun sanggar miliknya, Sanggar Jali Putra, sejak 1991. Kini, setelah puluhan tahun berlalu, pelestarian kesenian Betawi masih dihadapkan pada tantangan untuk mewariskan ilmu kepada generasi selanjutnya.
Burhan (53), pengasuh Sanggar Jali Putra yang merupakan anak Jali Jalut, mengakui, perlu pendekatan unik untuk mewariskan nilai kesenian Betawi kepada anak muda. Situasi tersebut pun semakin sulit dengan semakin sedikitnya ruang untuk tampil berkesenian lenong di Ibu Kota.
Beberapa tahun terakhir, Burhan menghitung Sanggar Jali Putra hanya tampil untuk tiga agenda panggung rutin tahunan. Jumlah ini sebenarnya tergolong sedikit. Ia mengakui, kini tidak banyak lagi panggung untuk pertunjukan lenong di Ibu Kota.
”Tantangan terbesar, ya, soal bagaimana agar tetap menggulirkan kegiatan di sanggar meski kondisinya kini jarang manggung dan semangat teman-teman di sanggar menurun. Kami harus tetap punya penghidupan dan juga menghidupi kegiatan seni kami,” tutur Burhan.
Walau diterpa berbagai kondisi, Sanggar Jali Putra berupaya untuk terus menekuni bidang kesenian mereka, terutama lenong betawi. Sebagai pelaku seni Betawi yang telah aktif berpuluh tahun, mereka ingin menjaga esensi kesenian sesuai dengan marwah dan silsilah Betawi.
Burhan selalu mengingat pesan ayahnya tentang lenong yang bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan bagi para penonton. ”Cerita lenong itu harus ada pesan positifnya sehingga penonton pulang dengan membawa hal-hal baik. Lenong bukan cuma haha-hehe, ketawa, lalu selesai. Jangan sampai yang muda nanti malah jadi salah paham,” tuturnya.
Selain itu, lenong juga harus selalu diiringi musik gambang keromong. Itu sudah menjadi identitas yang terpatri pada sejumlah kesenian Betawi.
Kondisi serupa dilakukan oleh Sanggar Si Pitung Rawa Belong, Jakarta Barat. Bachtiar Zakaria (49), pengasuh sanggar, menjaga esensi budaya Betawi lewat ragam kesenian silat cingkrik dan palang pintu sejak 1995.
Bachtiar mempertahankan Sanggar Si Pitung sebagai penanda bahwa Pitung, seorang tokoh yang dikenal masyarakat Betawi, berasal dari wilayah Rawa Belong. Ia membangkitkan kehadiran Pitung di Rawa Belong dalam konteks seni dan budaya. ”Kalau ada yang bilang Pitung orang Marunda, Depok, Tangerang, maka saya buat penanda kalau Pitung adalah anak asli Rawa Belong,” tuturnya.
Melalui kesenian, Bachtiar ingin menyampaikan kalau orang Betawi Rawa Belong tidak bisa lepas dari dua hal, yakni kegiatan mengaji yang agamis dan seni bela diri atau ia sebut sebagai maen pukulan.
Demi menggulirkan kegiatan seni, baik Sanggar Si Pitung maupun Sanggar Jali Putra tidak memungut biaya kepada anggota yang bergabung. Bachtiar sendiri berprinsip, mencari pemasukan sanggar sebaiknya bukan dari uang pendaftaran semacam itu.
”Insya Allah, rezeki datang dari jasa penampilan kesenian, seperti acara palang pintu di pernikahan. Hari begini, acara palang pintu juga kami tawarkan untuk pengganti seremonial gunting pita atau seremonial lain yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan,” katanya.
Para pelaku kesenian Betawi pun berusaha menjaga relevansi dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan agar bentuk kesenian mereka tidak terkesan ketinggalan dengan topik perbincangan terkini.
Burhan dari Sanggar Jali Putra, misalnya, memadukan musik gambang keromong dengan secuplik musik dangdut populer dalam kolektif lenongnya. Cara tersebut dilakukan untuk menarik kalangan muda yang menggemari suasana heboh saat pertunjukan lenong.
Begitu pula Sanggar Si Pitung. Dalam beberapa kesempatan, tim palang pintu berimprovisasi pada guyonan kekinian dan istilah bahasa Inggris. ”Kalau kita diundang tamunya bule, ya, kita juga sambut pakai bahasa mereka, dong,” jelasnya.
Berbagai cara dilakukan agar kesenian mereka terus relevan dengan zaman. Semoga bermacam bentuk kesenian ini tidak lantas hilang termakan zaman.