Jakarta sejak dulu adalah kota kosmopolitan yang menerima akulturasi beragam budaya. Pada ulang tahunnya yang ke-493, semangat keberagaman itu terus dihidupkan oleh kelompok-kelompok seni Betawi.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tercatat berdiri pada 22 Juni 1527, Kota Jakarta berulang tahun ke-493 pada Senin (22/6/2020). Peringatan ulang tahun menjadi momen untuk terus menjaga semangat keterbukaan yang menjadi kekuatan budaya ibu kota Indonesia itu. Di tengah pandemi Covid-19, sebagian besar perayaan digelar dalam jaringan internet.
Di kompleks Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Jakarta Selatan, Minggu (21/6/2020) sore, digelar pentas virtual #dirumahaje. Konser disiarkan langsung lewat media sosial sehingga bisa dinikmati masyarakat dari rumah. ”Budaya Betawi bagian dari kekayaan bangsa,” ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria di sela-sela konser.
Di jalur sepeda Kanal Timur di Pintu Air Malaka Sari, Jakarta Timur, Minggu pagi, seusai berolahraga, warga menyaksikan pentas ondel-ondel khas Betawi. Boneka setinggi sekitar 2,5 meter itu mengenakan pakaian khas dengan wajah topeng merah atau putih dan rambut dihias ornamen kembang kelapa warna-warni.
Selain ondel-ondel, banyak seni Betawi yang menjadi ikon Jakarta, di antaranya palang pintu (pencak silat), lenong (teater), tanjidor dan gambang keromong (musik), serta seni tari (seperti cokek). Selama ulang tahun Jakarta, semua seni itu lazim dipentaskan.
Identifikasi itu selaras dengan hasil jajak pendapat Kompas, 16-18 Juni 2020, dengan 530 responden dari DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Terkait seni yang identik dengan Betawi, 37 persen responden menyebut seni topeng (ondel-ondel, blantek), 32 persen merujuk lenong, dan 12 persen mengingat tarian (yapong, topeng, dan japin). Daya tarik seni itu terletak pada lelucon (39 persen), bahasa yang luas (29 persen), musik khas (18 persen), dan gerakan tarian (11 persen).
Akulturasi budaya
Ekspresi sejumlah seni ini dianggap mewakili karakter budaya Jakarta yang kental dengan percampuran (akulturasi) berbagai budaya. Contohnya, budaya China yang tecermin pada dandanan penari cokek dan alat musik gambang keromong, sementara sentuhan Eropa pada alat musik tanjidor. Unsur Sunda terlihat dari tari topeng, Jawa pada wayang Betawi, dan Arab pada selawatan di seni palang pintu.
Para seniman, yang diwawancarai pada akhir pekan lalu, menyebutkan, keterbukaan dan perbauran ini menjadi kekuatan yang membuat seni itu dapat bertahan hingga sekarang.
Pegiat seni palang pintu dan pendiri Generasi Muda Budaya Betawi (GMBB), Abdul Fian (58), mengatakan, palang pintu merupakan cerminan keseharian orang Betawi yang terbuka dan hobi ngebanyol (melucu). Lantunan selawat dan gerakan silat mencerminkan keseimbangan fisik dan batin.
Komariah Munawar, pemilik Sanggar Seni Betawi Kota Bambu, Jalan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, menceritakan, sanggar ini memadukan gambang keromong dengan budaya baru, seperti reggae dan pop. Namun, olahan itu dilakukan tanpa menghilangkan kekhasan musik tradisinya. Anggota kelompok ini juga tak mesti orang Betawi.
Koordinator Bidang Palang Pintu dan Silat Sanggar Seni Betawi Mamit Cs, Ridwansyah (24), menuturkan, meski palang pintu identik dengan budaya Betawi, sanggarnya menerima anggota dari suku lain. ”Anggota kami juga bersuku lain, misalnya Batak, Ambon, Jawa, dan Sunda,” katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dalam wawancara khusus secara virtual dengan Kompas, Jumat (19/6/2020), mengungkapkan, sedari zaman Sunda Kelapa, wilayah ini sangat kosmopolitan karena menerima pendatang dari Nusantara, bahkan luar negeri, bersama segala tradisinya. Ini tidak lepas dari adat Betawi yang terbuka. Budaya Betawi memiliki percampuran unsur China, Arab, dan Eropa.
Ulang tahun Jakarta menjadi momen untuk mengingatkan masyarakat akan nilai-nilai keterbukaan. ”Pada dasarnya Jakarta memiliki budaya yang sangat menerima perbedaan dan secara umum memiliki suasana yang kondusif terhadap ketenteraman,” kata Anies.
Menurut sejarawan JJ Rizal, secara historis, kebudayaan Betawi dan Jakarta sangat interkultural. Kota yang pernah disebut Kelapa dan Sunda Kelapa itu merupakan kota pelabuhan yang kosmopolit. Permukiman di Bandar Sunda Kelapa sangat multikultural, apalagi setelah terkait dengan jalur rempah.
”Artefak kultural berupa kembang kelapa di atas ondel-ondel menyiratkan ingatan bahwa masyarakat masa lalu sangat inklusif,” ujarnya.
Masyarakat Betawi menerima kultur lain. Itu terlihat dari aktivitas kesenian melalui banyak sanggar. ”Betawi ada di mana-mana, seperti banyak orang bercakap-cakap dengan dialek seperti ’jelasin’ atau ’apa sih’. Tantangan besar saat ini, sejauh mana diseminasi nilai Betawi yang interkultural itu ditanamkan,” tutur Rizal.
Sepi saat pandemi
Selain tantangan keberlanjutan nilai, seni Betawi kini juga tertekan pandemi Covid-19. Penerapan pembatasan sosial berskala besar membuat pentas seni dengan kerumunan massa ditiadakan karena rentan menularkan virus korona baru. Para seniman kehilangan kesempatan pentas. Peluang untuk mendapat penghasilan pun mengecil.
Pemimpin grup gambang keromong ”Kinang Putra”, Andi Supardi, mengungkapkan, pandemi membuat grupnya kehilangan tanggapan. Untuk bertahan, sebagian anggota nyambi menjadi tukang ojek atau pedagang. Meski demikian, mereka berusaha tetap berkreasi, salah satunya lewat pentas secara daring. ”Sanggar tak bisa berdiam diri terlalu lama,” katanya.
Yusuf Nirin alias Ocit (48), pengasuh sanggar tari Betawi di Kelurahan Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, menuturkan, sanggar itu tutup tiga bulan belakangan akibat pandemi. ”Selama pembatasan sosial, sanggar tutup. Kami belum tampil lagi,” ujarnya. (SKA/JOG/DNE/IGA/MED/DIV)