Laporan PBB terbaru menunjukkan separuh anak di dunia mengalami kekerasan. PBB juga mengingatkan dampak dramatis pandemi ini yang mengubah pola kekerasan dengan meningkatnya perundungan di dunia maya.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Laporan Status Global tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Anak 2020 yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 Juni 2020 menunjukkan satu dari dua anak di dunia mengalami kekerasan. Negara-negara dinilai gagal mencegah kekerasan terhadap anak, mulai dari kekerasan fisik, seksual, psikologis, serta kekerasan terkait kesehatan yang menyebabkan anak terluka, cacat, hingga meninggal.
Laporan tersebut disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Unicef, UNESCO, serta Perwakilan Khusus Sekretariat Jenderal PBB tentang Kekerasan terhadap Anak dan Kemitraan untuk Mengakhiri Kekerasan. Laporan ini memetakan kemajuan di 155 negara yang menerapkan kerangka kerja INSPIRE, yaitu tujuh strategi untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak.
Dari tujuh strategi INSPIRE, hanya akses ke sekolah melalui pendaftaran yang menunjukkan kemajuan paling baik. Kemajuan ini dilaporkan oleh 54 persen negara. Terkait layanan dukungan pada korban kekerasan, 32-37 persen negara menganggap korban dapat mengakses layanan dukungan, 26 persen negara memberikan program dukungan orangtua dan pengasuh, 21 persen negara memiliki program untuk mengubah norma berbahaya, dan 15 persen negara menyediakan lingkungan fisik yang aman untuk anak-anak.
Hampir semua negara (88 persen) memiliki undang-undang untuk melindungi anak-anak dari kekerasan dan 47 persen di antaranya sedang berupaya menegakkan aturan tersebut. Mayoritas negara (83 persen) juga memiliki data nasional tentang kekerasan terhadap anak. Namun, hanya 21 persen yang menggunakannya untuk menetapkan garis dasar (base line) dan target nasional untuk mencegah dan menghadapi kekerasan terhadap anak.
Kurangnya dana ditambah kapasitas profesional yang tidak memadai menjadi faktor penyebab implementasi rencana aksi tersebut lambat.
Sekitar 80 persen negara memiliki rencana aksi dan kebijakan nasional untuk mencegah kekerasan terhadap anak, tetapi hanya seperlima yang memiliki rencana yang sepenuhnya didanai atau memiliki target terukur. Kurangnya dana ditambah kapasitas profesional yang tidak memadai menjadi faktor penyebab implementasi rencana aksi tersebut lambat.
Sejumlah pejabat pemerintah di negara-negara tersebut menyatakan bahwa upaya yang dilakukan tidak cukup untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang bertujuan mengakhiri kekerasan terhadap anak.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dikutip di laman WHO, Kamis (18/6/2020), menyerukan lebih banyak aksi pemerintah di semua negara untuk mencegah kekerasan terhadap anak. ”Tidak pernah ada alasan untuk kekerasan terhadap anak,” katanya.
Mengubah pola
Laporan tersebut juga memperingatkan negara-negara akan dampak dramatis Covid-19 yang juga mengubah pola kekerasan antarpribadi. Pembunuhan dan cedera akibat kekerasan dilaporkan menurun karena penguncian wilayah dan pembatasan sosial. Namun, penguncian yang diikuti penutupan sekolah meningkatkan potensi perundungan di dunia maya dan eksploitasi seksual seiring meningkatnya penggunaan internet.
Laporan tentang eksploitasi seksual anak secara daring yang diterima National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) pada April 2020 mencatat terdapat 4,2 juta konten eksploitasi seksual anak yang didistribusikan atau diakses. Jumlah ini meningkat 2 juta dalam sebulan dibandingkan data pada Maret 2020.
”Penguncian, penutupan sekolah, dan pembatasan gerak telah menyebabkan terlalu banyak anak terjebak dalam pelecehan, tanpa ruang aman yang biasanya ditawarkan di sekolah,” kata Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore.
Kembali ke sekolah akan memberikan ruang yang aman bagi anak-anak dari ancaman perundungan di dunia maya dan juga pelecehan seksual. Namun, ”Sekarang, ketika sekolah mulai dibuka kembali, anak-anak mengekspresikan ketakutan mereka tentang kembali ke sekolah,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay seperti dikutip di laman UNESCO, Kamis.
Sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi anak-anak. Namun, selama ini, sejumlah anak mengalami kekerasan termasuk perundungan di sekolah. Laporan ”UNESCO 2019: Mengakhiri Kekerasan dan Intimidasi Sekolah” menunjukkan, 32 persen siswa berusia 11-15 tahun diintimidasi, termasuk perundungan, oleh rekan-rekan mereka di sekolah, setidaknya satu kali dalam sebulan. Di Indonesia, 21,3 persen anak mengalami kekerasan di sekolah.
Laporan UNESCO tersebut merekomendasikan, undang-undang yang melarang hukuman fisik terhadap anak-anak di semua lingkungan, termasuk sekolah, memiliki potensi untuk mengurangi kekerasan terhadap anak. Sebanyak 79 persen negara merespons laporan ini dengan melarang hukuman fisik kepada anak-anak. Meskipun begitu, dalam penelitian UNESCO, hanya 30 persen responden yang percaya bahwa pelaku kekerasan terhadap anak-anak, termasuk guru, akan dikenakan sanksi.
Karena itu, seperti dikatakan Asisten Direktur Jenderal Pendidikan UNESCO Stefania Giannini, memiliki kebijakan yang baik saja tidak cukup. Semua pihak harus bekerja terus menerus untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut ditegakkan dengan baik.