”Saldo Rekening” Hubungan Keluarga Jangan Sampai Minus Saat Pandemi
Pandemi Covid-19 yang berlangsung sekitar empat bulan, selain mengancam kesehatan masyarakat, juga menguji seberapa kuat daya tahan setiap keluarga. Hanya keluarga tangguh dan matang yang bisa melewatinya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sekitar empat bulan tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga menguji seberapa kuat daya tahan setiap keluarga. Hanya keluarga yang tangguh dan matang yang bisa melewati krisis ini.
Pembatasan sosial yang mengunci berbagai aktivitas publik dan membuat keluarga-keluarga terpaksa diam di rumah menghadirkan beban ganda bagi setiap keluarga. Selain mengguncang perekonomian keluarga, pandemi ini juga bisa menjadi ”tsunami kecil” yang dapat meluluhlantakkan keutuhan hubungan keluarga.
Seberapa kuat keluarga melewati masa krisis ditentukan oleh kematangan keluarga. Menurut Alissa Wahid, psikolog yang juga Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU), kekuatan dan ketangguhan keluarga, yang diwujudkan dalam relasi erat antaranggota keluarga, menjadi kunci atau modal utama dalam menghadapi pandemi. ”Hubungan atau relasi keluarga ibarat sebuah saldo di rekening bank,” ucapnya dalam seri diskusi daring bertema ”Orangtuaku Sahabat Terbaikku; Penguatan Relasi Keluarga Selama Masa Pandemi Covid-19”, yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), pekan lalu.
Jika saldo dana di rekening bank terus meningkat, pemilik rekening akan berbahagia. Akan tetapi, jika saldo atau uang di rekening bank berkurang atau terus ada penarikan, yang terjadi dananya menipis dan bisa jadi saldonya habis atau minus.
Begitu juga dengan ”rekening bank” hubungan keluarga, antara pasangan suami dan istri atau orangtua dan anak. Jika ”saldo rekening”-nya berisi hal-hal positif, maka akan timbul kebahagian dalam keluarga.
Bentuk setoran di ”rekening bank” hubungan keluarga berupa hal-hal yang membuat anggota keluarga senang dan nyaman.
Alissa mencontohkan, bentuk setoran di ”rekening bank” hubungan keluarga berupa hal-hal yang membuat anggota keluarga senang dan nyaman. Hal ini akan menambah kepercayaan di antara pasangan.
Sebaliknya, bentuk ”penarikan di rekening bank” hubungan bisa terjadi dalam berbagai bentuk tindakan yang membuat anggota keluarga tersakiti atau tidak nyaman. Hal itu akan mengurangi kepercayaan pasangan dan berpotensi mengancam langgengnya hubungan.
”Kita akan bahagia jika ’saldo rekening’ hubungan keluarga baik, sikap saling percaya, saling memahami, kasih sayang itu banyak. Tetapi, kalau saldo hubungan keluarga menipis terus, karena konflik, maka hubungan antaranggota akan menipis dan menimbulkan kecemasan,” paparnya.
Untuk menjaga agar ”saldo di rekening bank” hubungan terjaga, resepnya adalah menjaga hubungan tetap matang, yang ditandai dengan keseimbangan antara keberanian memperjuangkan hak dan tenggang rasa atas hak orang lain.
Jangan ada racun komunikasi
Pada masa pandemi Covid-19, penting sekali bagi setiap keluarga untuk menghindari hal-hal yang akan mengancam, bahkan menghancurkan kelanggengan keluarga. Maka, dalam relasi antarkeluarga sebaiknya dihindari perilaku atau sikap-sikap yang menghancurkan hubungan keluarga, seperti criticism (suka menyampaikan kritik, sikap menyalahkan), contempt (sikap membenci dan merendahkan), defensive (sikap membela diri dan mencari alasan), dan stonewalling (sikap mendiamkan atau mengabaikan).
Di masa-masa krisis ini, sikap-sikap tersebut akan menjadi bumerang, bahkan menjadi racun komunikasi di antara keluarga. Suara-suara penghakiman yang menimbulkan ketakutan seharusnya bisa diatasi dengan membuka pikiran, hati, dan mengelola konflik.
Pandemi Covid-19 memang mengubah ritme kehidupan keluarga. Bagi pasangan suami-istri yang dua-duanya bekerja dan memiliki anak yang sudah bersekolah ataupun belum bersekolah, berada di rumah selama 24 jam dalam waktu berbulan-bulan tentu tidak mudah dan harus melakukan banyak perubahan atau adaptasi. Ketika di rumah, mau tidak mau, orangtua menjadi pengasuh, pendidik, sekaligus menjadi teman dan juru masak bagi anak-anak.
Dalam situasi seperti ini, jika keluarga tersebut hanya terdiri dari keluarga inti, tidak ada pekerja rumah tangga di rumah, maka penting menjaga relasi satu sama lain. Ketika sang ayah (suami) dan istri (ibu) bekerja dalam waktu bersamaan, sementara di waktu yang sama anak-anak harus bersekolah dari rumah, maka sangat penting membangun kesepakatan di antara keluarga.
Misalnya, siapa dari orangtua yang akan mendampingi anak-anak belajar dan siapa yang akan menyiapkan makanan. Itu belum lagi urusan domestik lainnya, yang selama ini biasanya bebannya bertumpuk kepada perempuan (ibu). Tekanan psikologis akan semakin terasa ketika kondisi perekonomian keluarga terpuruk.
”Imbauan untuk tinggal di rumah saja, pada kenyataannya dapat menimbulkan berbagai masalah baru, seperti kekerasan, kepada perempuan dan anak. Kondisi ini dapat bertambah parah jika dibarengi dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak baik, kehilangan mata pencarian, dan terkena pemutusan hubungan kerja,” ujar Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Vennetia R Danes.
Tekanan ekonomi, pembagian peran yang tidak berimbang di rumah, bisa menimbulkan emosi-emosi yang memicu kemarahan, ketersinggungan, dan bisa berujung pada konflik keluarga. Ketika suami (ayah) berada dalam relasi kuasa yang kuat, maka perempuan dan anak rentan menjadi korban.
Maka, menurut Seto Mulyadi, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), di tengah krisis saat ini menciptakan suasana gembira dalam rumah adalah pilihan yang terbaik. Ketika anak belajar dari rumah, sedapat mungkin anak dibuat nyaman dan merasa asyik saat belajar dari rumah.
”Salah satu kekuatan yang bisa melawan kondisi saat ini adalah senyum. Senyum itu sebagai ungkapan rasa syukur, percaya diri menghadapi dinamika, penuh persahabatan. Bagaimana membuat suasana betul-betul gembira. Mohon itu jangan pernah ditinggalkan,” ujar Seto.
Maka, memupuk kasih sayang antaranggota keluarga, dengan membangun dialog reflektif dan solutif sehingga tercipta hubungan yang memberdayakan, saat ini menjadi sangat penting. Setidaknya, itu bisa menjaga saldo rekening ”hubungan keluarga” agar tidak sampai minus.