Remaja Laki-laki Indonesia ”Juara” Perokok di ASEAN
Jumlah anak lelaki yang menjadi perokok di Indonesia tertinggi di kawasan ASEAN. Gencarnya iklan rokok membuat jumlah anak yang menjadi perokok pemula naik dua kali lipat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia yang merokok dalam kurun waktu 12 tahun (2001-2016) memprihatinkan. Sejak tahun 2001 hingga 2016 jumlah anak berusia 15-19 tahun yang merokok naik dua kali lipat.
Bahkan, menurut Lenny, berdasarkan data dari The Tobacco Control Atlas ASEAN Region tahun 2018, di tingkat ASEAN jumlah anak laki-laki Indonesia berusia 13-15 tahun merokok, paling tinggi dibandingkan dengan negara lain.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, pada tahun 2001 anak yang merokok 12,7 persen, tetapi pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi 23,1 persen. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2001 ke tahun 2004 dari 12,7 persen menjadi 17,3 persen.
”Padahal kita berupaya agar anak-anak yang merokok ini seharusnya turun, tetapi malah naik, Bayangkan 15 tahun malah meningkatnya dua kali lipat,” ujar Lenny N Rosalin, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pada Bincang Ahli dan Kelas Inspirasi Anak (BAKIAK) Jilid II bersama Forum Anak Nasional bertema ”Cegah Anak dan Remaja Indonesia dari Bujukan Rokok” secara daring, Kamis (18/6/2020), di Jakarta.
Tingginya angka anak-anak yang menjadi perokok di Indonesia, menurut Lenny, membutuhkan perhatian serta upaya perlindungan anak dari bahaya merokok secara masif dan melibatkan semua pemangku kebijakan.
Diskusi dalam rangka peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) pada 30 Mei 2020 serta menyambut peringatan Hari Anak Nasional (HAN) pada 23 Juli 2020 juga menampilkan sejumlah pembicara, yakni Darmawan Budi Setyanto dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, Wayan Jaya Putra dari Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung, Bali, dan Iman Mahaputra Zein dari Social Advocate & Creative Campaigner.
Data Kemenkes 2018 dalam Profil Anak 2019 juga menyebutkan, ada anak berusia 10-14 tahun yang merokok setiap hari (0,70 persen), merokok kadang-kadang (1,40 persen), dan mantan perokok (2 persen).
”Meskipun persentasenya kecil, tetapi ingat berapa total anak Indonesia, jumlahnya hampir 80 juta orang. Kalau persentase tersebut dikalikan jumlah anak yang jutaan, angkanya tinggi sekali, besar sekali,” kata Lenny.
Kondisi itu membuat target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 untuk menurunkan prevalensi konsumsi tembakau pada populasi usia 10-18 tahun sebesar 5,4 persen tidak tercapai. Kenyataannya, dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 prevalensinya sangat tinggi, yakni 9,1 persen.
”Bahkan, di tingkat ASEAN, angka anak laki-laki umur 13-15 tahun dan masih duduk di SMP yang merokok sebanyak 35,3 persen, sedangkan anak perempuan 3,5 persen. Indonesia menjadi juara, tetapi juara yang jelek karena kita tertinggi dalam hal perokok remaja laki-laki,” tuturnya.
Target pasar
Mengapa anak-anak menjadi target pasar industri rokok sebagai perokok pemula? Itu karena faktor usia yang masih muda. Bayangkan, misalnya, jika anak tersebut mulai mengenal rokok pada umur 10 tahun, maka jika hidup sampai 80 tahun, dia akan menjadi konsumen rokok selama 70 tahun.
Karena itu, promosi rokok sangat gencar dilakukan industri rokok di masyarakat dalam berbagai cara, seperti iklan, kegiatan olahraga, termasuk membagikan rokok dengan gratis.
Oleh karena itu, semua pihak diminta turut melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya rokok dan mendukung target RPJMN 2020-2024 agar bisa menurunkan angka merokok penduduk Indonesia usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada tahun 2024. ”Saya mengajak forum anak dan semua anak-anak Indonesia agar bisa berkontribusi mendukung turunnya prevalensi merokok selama lima tahun,” katanya.
Indonesia menjadi juara, tetapi juara yang jelek karena kita tertinggi dalam hal perokok remaja laki-laki.
Darmawan mengungkapkan, asap rokok dan produk tembakau menimbulkan dampak buruk kesehatan secara menyeluruh mulai dari otak, saluran napas, hingga bisa menyebabkan keganasan atau kanker dalam tubuh. ”Tidak ada organ yang bebas dari bahaya produk tembakau,” ungkapnya.
Dampak produk tembakau terhadap anak bisa dimulai sejak anak masih dalam kandungan hingga lahir dan tumbuh. Lingkungan di mana anak hidup sangat memengaruhi. Remaja, selain menjadi perokok pasif, juga berpotensi menjadi perokok aktif karena itulah remaja menjadi rebutan perusahaan rokok.
Paling menggiurkan
Kelompok remaja dianggap sangat menggiurkan bagi industri rokok dan menjadi korbannya. Kenapa menjadi target pemasaran rokok? Sebab, jika anak berhasil dijerat menjadi perokok, rentang waktu menjadi penyumbang industri rokok menjadi panjang sekali dan merupakan segmen yang terbuka luas. Apalagi remaja mudah terpengaruh terhadap hal baru yang dianggap sedang tren.
”Kalau sudah terjerat, bisa menjadi loyal pada rokok tertentu sepanjang sisa hidupnya. Jadi, remaja menjadi sasaran iklan rokok, jelas sekali, walaupun secara resmi industri rokok membantahnya. Namun, jika kita lihat faktanya, iklan-iklan rokok sepenuhnya menyasar remaja,” katanya.
Masalahnya, lanjut Darmawan, adalah kandungan nikotin di rokok menimbulkan efek kecanduan (adiksi) amat yang besar dampaknya, bahkan disejajarkan dengan narkoba. Dalam aspek tumbuh kembang anak, ketika terjadi gangguan, akan berdampak panjang, termasuk mengganggu kecerdasan anak, tingkah laku anak, dan konsentrasi, serta gangguan lainnya.
Sementara itu, Wayan Jaya Putra memaparkan, praktik yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Klungkung adalah melibatkan anak dan remaja dalam pencegahan bahaya rokok, termasuk mengendalikan iklan rokok.
Iman Mahaputra mengatakan, anak bisa berperan dalam mencegah bahaya buruk rokok terhadap anak-anak. Caranya adalah menolak bujuk rayu untuk menjadi perokok. Kampanye melalui forum anak secara lebih masif sangat penting.