Ekses pandemi Covid-19 terasa hingga pedagang pakaian seragam dan alat tulis di pasar-pasar tradisional. Keharusan belajar di rumah dan merosotnya daya beli masyarakat membuat pedagang kehilangan pembeli.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahun ajaran baru kali ini dirasakan berbeda oleh para penjual alat-alat perlengkapan sekolah. Tidak ada lagi kerumunan pembeli selama pandemi karena sebagian sekolah masih melaksanakan pembelajaran secara daring.
Eko Wahyudi (42), pemilik Toko Tandos Collection di Pasar Tomang Barat, Jakarta Barat, terlihat duduk sambil menonton tayangan Youtube, Kamis (18/6/2020) siang. Hal itu ia lakukan semata-mata untuk mengusir kebosanan lantaran tidak banyak pembeli yang datang ke tokonya hari itu.
”Kalau tidak ada Covid-19, baju-baju sekolah banyak saya tumpuk di sini. Masuk ke dalam toko sampai susah,” katanya.
Tahun ajaran baru baru dibuka pada 13 Juli 2020. Kini, tengah berlangsung proses pendaftaran siswa baru sejak Senin (15/6/2020) dan kenaikan kelas. Menurut Eko, pembeli biasanya sudah menyerbu tokonya jauh-jauh hari sebelum hari pertama masuk sekolah. Sebab pembeli ingin mendapatkan harga normal sekaligus menghindari kerumunan.
”Kalau mepet hari masuk sekolah, seringnya pembeli berjubel. Harga dari konfeksi juga naik, jadi kami jualnya juga lebih mahal,” kata Eko.
Biasanya, para orangtua membeli perlengkapan sekolah secara lengkap dalam satu waktu. Untuk seragam sekolah, misalnya, mereka biasa membeli tiga setelan sekaligus, yakni seragam merah-putih, putih-putih, dan pramuka. Hal itu belum termasuk topi, ikat pinggang, dasi, atau kaus kaki.
Untuk satu setelan seragam, pada hari normal dibanderol Rp 100.000-Rp 110.000. Mendekati hari pertama masuk sekolah, harganya bisa naik menjadi Rp 120.000-Rp 130.000. ”Untuk sebagian pembeli, selisih tersebut akan dihindari. Lebih baik digunakan untuk membeli perlengkapan lain,” katanya.
Biasanya, kata Eko, menjelang tahun ajaran baru, omzetnya dapat mencapai Rp 2 juta-Rp 3 juta dalam sehari. Tahun ini, omzetnya menurun drastis, menjadi tidak lebih dari Rp 100.000. Pembeli yang datang juga hanya membeli perlengkapan dalam bentuk satuan.
”Sekarang terjual satu atasan seragam saja sudah lumayan. Harganya sekitar Rp 60.000. Tergantung ukurannya, kalau yang kecil Rp 40.000,” ujarnya.
Menurut Eko, para penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) biasanya akan datang ke tokonya secara serentak pada satu waktu tertentu setelah dana KJP cair. Akan tetapi, saat ini ia belum banyak menerima pembeli dari kalangan penerima KJP.
Sekarang terjual satu atasan seragam saja sudah lumayan. Harganya sekitar Rp 60.000. Tergantung ukurannya, kalau yang kecil Rp 40.000.
Falerie (24), penjual seragam sekolah di Pasar Palmerah, Jakarta, merasakan hal serupa. Ia bahkan kebingungan saat ditanya gambaran penurunan omzetnya saat ini jika dibandingkan dengan situasi normal.
”Menurun jauh, jauh banget. Ini kondisinya setelah pasar kembali dibuka ya,” katanya, Kamis.
Khusus untuk penjualan seragam, omzetnya bisa mencapai lebih dari Rp 500.000 per hari. Saat ini, omzetnya hanya berkisar Rp 100.000 sehari. Menurut Falerie, akhir-akhir ini hanya ada satu atau dua orang yang membeli seragam sekolah.
”Dari dulu, setiap hari pasti ada aja yang beli seragam. Yang beda hanya jumlahnya,” ujarnya.
Khusus untuk penjualan seragam, omzetnya bisa mencapai lebih dari Rp 500.000 per hari. Saat ini, omzetnya hanya berkisar Rp 100.000 sehari.
Alat tulis
Sementara itu, penurunan omzet juga dirasakan para pemilik toko alat tulis. Salah satunya Yeli (31), pemilik toko alat tulis Ridho Stationary yang berlokasi di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Menurut dia, fase normal baru belum dirasakan normal baginya.
”Aduh, jangan ditanya deh. Tahu sendiri kan sekarang belajar juga daring semuanya,” ujarnya.
Pada hari normal, omzet Yeli bisa mencapai Rp 500.000 per hari. Saat ini, omzetnya tidak menentu, yakni Rp 100.000-Rp 200.000 sehari. Menurut dia, barang-barang yang masih laku terjual selama pembelajaran daring antara lain kertas karton, lem, dan buku satuan.
”Kebetulan selama pandemi masih jualan terus. Tapi barang yang laku paling ya itu-itu saja,” katanya sambil menunjukkan tumpukan buku-buku baru yang masih menggunung.
Untuk dapat bertahan di tengah pandemi, Yeli bahkan harus menjual air minum galon dan elpiji di dalam tokonya. Ia bersyukur hal itu dapat membantu pendapatannya selama masa sulit di era pandemi Covid-19.
”Cara bertahannya ya dengan jualan air minum galon dan elpiji seperti ini saja. Lumayanlah pendapatannya selama pandemi kemarin,” katanya.
Imam (40), penjual alat tulis di Pasar Palmerah, hanya bisa pasrah menanti pembelajaran di sekolah dibuka kembali. Pendapatannya melesu sejak Covid-19 mulai mewabah pada Maret 2020.
Menurut dia, menjelang pergantian tahun ajaran baru seperti ini, biasanya tokonya ramai pembeli, tetapi tahun ini tidak terjadi. ”Omzet selama pandemi ini Rp 200.000 juga sudah bagus. Kalau normal bisa sampai Rp 600.000,” katanya.