Dialog Kebudayaan Italia-Bali, Enrico Bonavera dan I Ketut Kodi
Pertunjukan seni topeng bisa menjadi jembatan dialog budaya. Maestro seni panggung Enrico Bonavera dan seniman topeng Bali I Ketut Kodi telah membuktikannya.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
Maestro seni panggung Enrico Bonavera dan maestro topeng Bali I Ketut Kodi tampil bersama dalam ruang virtual. Enrico yang dikenal sebagai salah satu pemain terbaik untuk karakter Harlequin, ikon Commedia dell’arte, berada di Italia.
Sementara Kodi yang juga dikenal sebagai akademisi Institut Seni Indonesia Denpasar, berada di Bali. Dengan penguasaan seni pertunjukan, memakai topeng khas budaya masing-masing, Enrico dan Kodi membawakan kisah pendek bertemakan pandemi Covid-19.
Terhitung ada sekitar tiga penampilan yang keduanya tampilkan di sela-sela webinar ”Mask Encounters: Italian Commedia dell’Arte and Balinese Mask Dance-Drama Topeng in Performance History, Tradition, A Dialogue Between Italy, Bali-Indonesia and Beyond”, Sabtu (13/6/2020) pukul 16.00 hingga sekitar pukul 18.00. Webinar ini diselenggarakan oleh Institut Kebudayaan Italia di Jakarta bekerja sama dengan The Harlequin of Piccolo Theater of Milano, Institut Seni Indonesia Denpasar Bali.
Salah satu penampilan Kodi dengan topeng Bali berwajah orang tua bercerita tentang anjuran hidup berbahagia di tengah pandemi Covid-19. Anjuran ini sering terdengar di masyarakat. Tujuannya adalah agar warga selalu riang gembira. Stres diduga bisa memicu penurunan imun.
Di akhir penampilan, dia berakting mengusir virus korona dari Bali. Sementara dari balik layar Zoom di Italia, Enrico membawakan kisah warga yang resah dengan Covid-19. Dia bahkan memperagakan keresahan itu dengan teriak sambil mengamati kulit di lengannya.
”Kawin” dengan topeng
Kodi mengatakan, penari topeng Bali biasanya harus ”kawin” dengan topengnya. Ada upacara perkawinan penari dengan topeng sehingga ”menyatu”. Artinya, ketika penari tampil, dia bisa menjiwai. Karakter topeng melekat pada diri penari.
Hal senada diceritakan oleh Enrico. Ketika pertama kali dia diberikan topeng buatan Sartory Family dari salah seorang temannya, dia merasa seolah-olah topeng itu menggerakkan dirinya untuk berakting sesuai karakter di topeng itu.
Topeng harus berinteraksi dengan penarinya.
”Topeng harus berinteraksi dengan penarinya,” ujarnya.
Enrico sudah sekitar tiga dekade berkeliling dunia. Dia kerap membawakan karakter Brighella dan Arlecchino dalam ”The Servant of Two Masters” yang disutradarai oleh Giorgio Strehler di Piccolo Theatre of Milano.
Menurut Enrico, ada sembilan karakter pakem dalam Commedia dell’arte. Karakter tersebut telah berlaku selama berabad-abad dan menolak untuk keluar. Kendati demikian, teatrikal komedi itu diperbolehkan improvisasi pengembangan ceritanya.
Selain sitkom atau komedi situasi, Commedia dell’arte mempengaruhi Shakespeare, Molière, opera, vaudeville, teater musikal, dan komedi improvisasi.
Enrico pernah mengisi lokakarya seni pertunjukan di Bentara Budaya Bali pada Agustus 2018. Pada saat itu, dia berbagi pemahaman dan pengalamannya tentang Commedia dell’arte. Dia juga sempat mengeksplorasi koleksi beragam topeng dari seluruh dunia, termasuk topeng Commedia dell’arte di Rumah Topeng Setia Darma, Ubud, Bali.
Kodi menceritakan, sebelum 1992, pertunjukan Topeng Bali selalu mengusung kisah babad di Bali, Jawa, dan wayang. Setelah 1992, pertunjukan diisi dengan cerita yang lebih luas, seperti kehidupan sehari-hari. Topeng Bali memiliki tiga wujud, yakni menutup seluruh wajah, setengah muka, dan menutup sampai mulut.
Menurut dia, salah satu bentuk kemiripan topeng Bali dengan topeng Commedia dell’arte adalah topeng yang menutup sampai setengah muka. Topeng Bali pun mendapat pengaruh dari Itali, terutama sejak Sartory Family berkunjung.
PhD, Balinese mask dance-drama Topeng specialist, Carmencita Palermo, mengatakan, topeng bisa menjadi jembatan kultural dan membuka dialog baru. Dia sendiri berasal dari Italia mulai mencintai pertunjukan topeng Bali sejak tahun 1990.
Pada tahun itu, di Bologna, Italia, dia menyaksikan penampilan seni pertunjukan Bali dan di antara penarinya memakai topeng. Dari sanalah, dia memutuskan pergi ke Bali, Indonesia. Dia sempat bertemu dan belajar langsung dengan ayah Kodi, I Wayan Tangguh, seorang empu membuat topeng Bali asal Banjar Mukti, Singapadu.
Dalam studi meraih gelar PhD di Universitas Tasmania, Australia, Carmenita menulis tesis tentang perwujudan topeng Bali, implikasi kosmologis, dan konteks budayanya.