Kisah Ibu Berjuang Mengurus Anak-anak Setelah Suaminya Meninggal akibat Covid-19
Covid-19 merenggut kehidupan sebagian warga. Ketika suami meninggal akibat penyakit ini, istrinya langsung menanggung beban hidup dan mengurus anak-anaknya. Ini kisah ibu yang berjuang setelah kehilangan suaminya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sekitar empat bulan terakhir terus meninggalkan kepedihan dan trauma mendalam bagi sejumlah keluarga. Bencana kemanusiaan yang datang tiba-tiba dan merenggut dengan cepat anggota keluarga yang dikasihi menghancurkan kebahagiaan keluarga, bahkan memupus impian anak-anak di masa mendatang.
Sejumlah perempuan (ibu) harus siap menerima kenyataan ketika sang suami yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga terkena Covid-19 kemudian meninggal. Maka, bertahan dan melawan virus korona baru tersebut, memulihkan diri, dan bangkit menjalani hidup menjadi pilihan sejumlah perempuan yang kini menjadi kepala keluarga.
”Covid-19 merenggut begitu saja semua rencana yang ada di keluarga kami. Begitu menakutkan kena Covid itu. Tiba-tiba yang sehat bisa ambruk seambruk-ambruknya,” ujar DR (45), ibu tiga anak yang tinggal di Jakarta, dalam testimoninya melalui suara, pada peluncuran ”Gerakan#PulihBersama agar Anak Terlindungi dan Indonesia Maju”, Kamis (11/6/2020), secara daring.
DR menyampaikan kisah itu dengan suara terbata-bata pada acara yang digelar Save the Children Indonesia (SCI) bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), yang ditandai diskusi seri pertama bertema ”Anak-anak yang Kehilangan atau Terpisah dengan Orangtua di Masa Pandemi Covid-19”, Kamis (11/6/2020). Dia berharap kisahnya dapat memberikan semangat kepada para ibu yang mengalami kondisi seperti dirinya.
Melalui testimoninya, DR menyampaikan bagaimana perasaannya saat dia hanya sendirian ketika pemakaman suaminya yang terkena Covid-19. Tidak ada saudara-saudara yang menguatkan. Kendati hancur hatinya, dia tetap bertahan.
Bahkan, setelah pemakaman suaminya, dia langsung menuju ke Wisma Atlet dan meminta diisolasi di rumah sakit darurat itu. Anak-anaknya dijaga oleh dinas kesehatan dan keluarganya. Niatnya cuma satu: memastikan anak-anaknya selamat. Kendati ingin memeluk anak-anak yang sedang hancur hati karena kehilangan ayahnya, DR tidak melakukan itu.
”Saya yakin, saya terpapar (Covid-19). Jadi, saya harus menyiapkan anak-anak. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa mereka harus bersiap-siap akan kehilangan saya juga. Jadi, saya sudah sampai membuat wasiat karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” ungkap DR.
Meski hatinya diselimuti duka yang mendalam, selama 12 hari di Wisma Atlet, DR berusaha melawan semua kepedihan tersebut. Demi untuk memulihkan dirinya dan memastikan dirinya bebas dari Covid-19 saat bertemu ketiga anaknya, terutama anak bungsunya yang masih berusia 13 tahun, dia bertahan.
”Saya harus menyembuhkan diri saya karena, katanya, jika saya berduka dan menangis, itu akan membuat imun tubuh saya susah banget keluar. Jadi yang saya lakukan adalah saya menunda duka saya setelah suami saya pergi,” paparnya.
Di saat duka belum terhapus, saudaranya memintanya untuk memindahkan sekolah anak-anaknya ke sekolah negeri karena khawatir DR tidak mampu membiayai sekolah mereka. Kabar itu tentu saja membuat anak-anaknya tidak siap. Dia mencoba meyakinkan anak-anaknya bahwa situasi tidak sama lagi ketika ayah mereka masih hidup. Maka, dia pun meminta anak-anaknya menunda mimpi-mimpi mereka.
Sebagai ibu tunggal, DR berusaha kuat. ”Apa harapan masa depan saat ini? Tidak ada sama sekali. Saya menjalani hidup saya, mencoba berpikir keras, bagaimana menyekolahkan tiga anak dan bagaimana saya harus menyelesaikan semua permasalahan yang ada,” ungkap DR.
DR hanyalah salah satu dari ibu di Tanah Air yang harus kehilangan suami dan ayah dari anak-anaknya. Kisah yang dialami DR juga diangkat Save the Children Indonesia (SCI) dalam kampanye Gerakan#Pulih Bersama dengan tagar #ProtectAGeneration dan #MinutesToSurvive.
Tata Sudrajat, Deputy Program Impact and Polucy SCI, mengungkapkan, selama masa pandemi diperkirakan ada ribuan anak yang kehilangan orangtua. Setidaknya jika mengacu dari data yang diperoleh hingga 4 Juni, terdapat 1.721 orang di Indonesia yang meninggal karena Covid-19.
Kehilangan orangtua, atau menjadi anak yatim atau piatu, pada masa pandemi Covid-19 juga terungkap dalam Hasil Survei Penilaian Cepat Kebutuhan Dampak Pandemi Covid-19 yang dilakukan Save the Children Indonesia pada Mei 2020.
Saat ini, 60 persen lebih kasus Covid-19 terjadi pada orang-orang usia produktif (30-45 tahun). Di usia ini umumnya orang Indonesia telah menikah dan memiliki 1 sampai 3 anak. Artinya, ada jutaan anak yang terdampak langsung karena orangtuanya terinfeksi, diisolasi, dirawat di rumah sakit, atau bahkan meninggal.
Perlindungan terhadap anak yang orangtua tunggal atau pengasuh tunggalnya menjalani pemeriksaan medis ditetapkan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) yang harus menjalani perawatan dalam isolasi, serta anak yang salah satu atau kedua orangtuanya meninggal karena Covid-19, sudah diatur oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Sejak 30 April 2020 sudah diterbitkan Protokol Pengasuhan bagi Anak Tanpa Gejala, Anak dalam Pemantauan, Pasien Anak dalam Pengawasan, Kasus Konfirmasi, dan Anak dengan Orangtua/Pengasuh/Wali Berstatus Orang dalam Pemantauan, Pasien dalam Pengawasan, Kasus Konfirmasi, dan Orangtua yang Meninggal karena Covid-19.
Salah satunya mengatur dinas-dinas terkait yang menyelenggarakan urusan sosial, petugas dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak serta konselor psikologis dari Pusat Pembelajaran Keluarga melakukan penelusuran dan penilaian anak dan keluarga, perencanaan dan pelaksanaan pengasuhan, termasuk mengidentifikasi dan menyediakan pengasuhan oleh kerabat atau tetangga di desa. Pengasuhan terhadap anak dilakukan dalam jangka pendek ataupun jangka panjang diatur dalam protokol tersebut.
KPPPA beberapa waktu lalu juga meluncurkan Gerakan Bersama Jaga Keluarga Kita (Berjarak) atau Aksi #Berjarak. Salah satu sasaran aksi paling utama adalah kelompok rentan terdampak Covid-19. Dalam aksi itu salah satu yang perlu dipantau jika ada perempuan yang suaminya meninggal kemudian mendadak harus menjadi kepala keluarga.
Karena itu, data anak-anak yang ayah/ibunya meninggal ataupun ayah/ibunya dalam isolasi (tidak berada dalam satu rumah lagi) sangat penting. Jika ada kasus seperti itu, Dinas PPPA harus segera turun memberikan dukungan bagaimana pengasuhan pengganti dengan cara mencarikan keluarga terdekat, melakukan tes, serta memastikan kebutuhan spesifik anak terpenuhi.
Pertanyaannya, bagaimana memastikan protokol tersebut benar-benar telah diimplementasikan agar jangan ada satu pun anak-anak menjadi yatim atau piatu, telantar, dan mengalami penderitaan ganda karena pandemi Covid-19?
Cukup sudah kesedihan mereka yang kehilangan orangtua. Jangan biarkan pandemi Covid-19 benar-benar menghancurkan impian dan masa depan anak-anak Indonesia. Mari, selamatkan anak-anak Indonesia.