Selama Pandemi, Diperkirakan Ribuan Anak Menjadi Yatim atau Piatu
Ketika jumlah penderita Covid-19 yang meninggal bertambah, maka bertambah pula kemungkinan anak-anak kehilangan ayah atau ibunya, bahkan keduanya. Selama pandemi ini kian banyak anak yang menjadi yatim piatu.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas warga yang tengah mencari pusara kerabatnya yang ketika meninggal dimakamkan dengan protokol Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, Senin (25/5/2020). Tradisi ziarah kubur masih dilakukan warga meskipun sudah ada imbauan untuk tidak berkerumun pada masa pembatasan sosial berskala besar di Jakarta. Aturan itu diberlakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona baru yang terus memakan korban. Berdasarkan data yang dikeluarkan Gugus Tugas Covid-19, Senin (25/5/2020), kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 22.750 orang, sementara yang meninggal 1.391 orang dan sembuh 5.642 orang.
Pandemi Covid-19 tidak hanya mengganggu tumbuh kembang anak secara umum, tetapi juga merenggut kebahagiaan sebagian anak yang kehilangan orangtua akibat terkena penyakit itu. Meski belum ada angka yang pasti, selama pandemi berlangsung di Tanah Air, diperkirakan ribuan anak di Tanah Air saat ini menjadi yatim atau piatu, atau bahkan yatim piatu.
”Covid-19 memutuskan harapan dan impian. Berpotensi menghilangkan kesempatan dan impian bagi kita semua, tetapi terutama bagi anak-anak untuk bertumbuh sehat, belajar, dan berkarya bagi bangsa kita,” ujar Selina Patta Sumbung, Ketua Dewan Pengurus Selina Patta Sumbung, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Sayangi Tunas Cilik/Save the Children Indonesia, pada peluncuran ”Gerakan#PulihBersama agar Anak Terlindungi dan Indonesia Maju”, Kamis (11/6/2020), secara daring.
Pada peluncuran Gerakan#PulihBersama yang digelar Save the Children Indonesia (SCI) bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), ditandai diskusi seri pertama bertema ”Anak-anak yang Kehilangan atau Terpisah dengan Orangtua di Masa Pandemi Covid-19”. Hadir sebagai pembicara mewakili KPPPA, Rohika Kurniadi Sari (Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Kesejahteraan, Kedeputian Tumbuh Kembang Anak, Kementerian PPPA, dan Tata Sudrajat (Deputy Program Impact and Polucy, SCI), dan Andri Yoga Utama (Program Manager Family First SCI).
Selina menegaskan, kejadian pandemi Covid-19 yang melanda kehidupan masyarakat saat ini memperburuk kondisi sebelumnya yang belum sepenuhnya baik, terutama anak-anak. Bahkan dalam temuan Penilaian Kebutuhan Cepat (Rapid Need Assessment) SCI menemukan kondisi pemenuhan hak anak-anak di Tanah Air mengalami tantangan yang berat pada masa-masa pandemi saat ini.
Ia mengutip data dari situs covid19.go.id yang menunjukkan, hingga 8 Juni 2020, terdapat 2.531 anak atau 7,9 persen dari anak terinfeksi Covid-19. Sebanyak 28 kasus di antaranya tercatat sebagai kasus kematian serta 1.809 (9,4 persen) anak dalam perawatan atau isolasi.
Dunia yang kita bayangkan tidak seperti dunia yang dihadapi anak-anak, khususnya pada masa pandemi ini. Selina mengimbau semua pihak agar tidak menyerah, tetapi terus berupaya dan bekerja keras memperjuangkan dan memastikan hak-hak anak terpenuhi, dapat sintas, serta mendapatkan perlindungan di masa pandemi ini.
Untuk itu, lewat kampanye Gerakan#Pulih Bersama dengan tagline #ProtectAGeneration dan #MinutesToSurvive, Selina mengharapkan upaya-upaya untuk mengatasi isu-isu terkait pemenuhan hak anak mendapat perhatian yang luas dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Warga berdoa di depan pusara kerabatnya yang saat meninggal dimakamkan dengan protokol Covid-19, Senin (25/5/2020). Tradisi ziarah kubur masih dilakukan warga meskipun sudah ada imbauan untuk tidak berkerumun pada masa pembatasan sosial berskala besar di Jakarta. Aturan tersebut diberlakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona baru yang terus memakan korban. Berdasarkan data yang dikeluarkan Gugus Tugas Covid-19, Senin (25/5/2020), kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 22.750 orang, sementara yang meninggal 1.391 orang, dan sembuh 5.642 orang.
Di tengah diskusi tersebut, seorang ibu DR (45), warga Jakarta, menyampaikan testimoni saat suaminya meninggal karena Covid-19 dan dia harus menguburkan suaminya sendirian tanpa ditemani keluarga. Dia menyatakan betapa beratnya menghadapi kondisi tersebut, tetapi dia berjuang untuk bangkit meskipun dirinya sendiri harus diisolasi selama dua pekan di Wisma Atlet, sementara dia punya tiga anak.
”Dua belas hari di Wisma Atlet adalah waktu terpanjang dalam hidup saya karena pada saat itu saya harus menyembuhkan diri saya. Saya harus menunda duka saya. Bila saya berduka, menangis, dan berpikir keras, bagaimana saya mesti menyekolahkan tiga anak, semua permasalahan yang ada,” ujar DR.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Warga tiba di TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, untuk menziarahi kerabatnya yang saat meninggal dimakamkan dengan protokol Covid-19, Senin (25/5/2020). Tradisi ziarah kubur masih dilakukan warga meskipun sudah ada imbauan untuk tidak berkerumun pada masa pembatasan sosial berskala besar di Jakarta.
Tata dalam materi berjudul ”Anak yang Kehilangan Orangtua karena Covid-19” menyatakan, dari data yang diperoleh hingga 4 Juni lalu, terdapat 1.721 orang yang meninggal karena Covid-19 sehingga diperkirakan ribuan anak kini menjadi yatim atau piatu.
”Sejauh ini kita hanya mendapat angka berapa yang dirawat, meninggal, sembuh, dan sebagainya. Tetapi sebenarnya di balik angka-angka itu, ada data lain atau situasi lain yang tidak boleh kita abai, yakni kalau kita menghitung misalnya dari jumlah meninggal 1.721 orang, paling tidak sebenarnya kita bisa mengatakan jumlah yang sama ada 1.721 anak menjadi yatim atau piatu,” katanya.
Bagaimana menghitungnya? Menurut Tata, penduduk Indonesia kalau dibagi dalam unit keluarga, secara statistik, satu keluarga umumnya terdiri dari lima orang (ayah, ibu, dua atau tiga anak-anak). Karena itu, jika dari korban yang meninggal 1.721 orang, kebanyakan berusia di atas 30 tahun dan berkeluarga dan mempunyai anak (setidaknya seorang) di bawah 18 tahun, itu berarti ada satu anak menjadi yatim atau piatu.
”Persoalannya sejauh ini, berapa banyaknya, data itu tidak keluar. Ini menjadi tantangannya. Jadi harus kita buka, dan mencari di mana keluarga-keluarga itu, dan bagaimana negara, organisasi masyarakat bisa membantu keluarga-keluarga tersebut menghadapi sityuasi yang sangat sulit ini,” kata Tata.
Rohika dalam paparannya menyebutkan, saat ini 30 persen penduduk Indonesia adalah anak-anak yakni sekitar 79,5 juta (Profil Anak 2019) dan jumlah keluarga 81,2 juta (Supas 2015). Hak-hak anak dilindungi oleh peraturan yang berlaku, yakni setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, bertumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Menghadapi kondisi anak-anak yang menjadi yatim atau piatu di saat pandemi Covid-19, dia meminta semua pihak berkolaborasi mendukung anak-anak tersebut. Namun, yang pertama harus dipastikan siapa anggota keluarga yang mengurus anak-anak tersebut ketika salah satu orangtua meninggal dan yang lainnya dirawat.
”Pandemi merenggut masa pengasuhan mereka. Kalau orangtua meninggal, maka perlu dipastikan siapa keluarga penggantinya. Ketika menjadi yatim atau piatu, pemenuhan hak mereka harus dikedepankan. Kondisi psikologis, fisik, dan pengasuhan harus kita perhatikan,” kata Rohika.