Kritis Bermedia Sosial
Membangun media sosial yang sehat berarti menciptakan iklim masyarakat yang kritis. Ini dilakukan dengan menumbuhkan pola pikir kritis melalui pendidikan.
Penelitian Dewan Pers pada November 2019 menunjukkan, hampir 70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial. Berkelindan dengan rendahnya tingkat literasi atau minat baca dan literasi digital masyarakat, media sosial pun menjadi sumber utama penyebaran hoaks.
Di Indonesia, 81,7 persen hoaks menyebar melalui Facebook dan sekitar 57 persen menyebar melalui Whatsapp. Hoaks juga menyebar melalui Instagram, Line, dan Twitter.
Paling tidak dua tahun terakhir, berdasarkan catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), hoaks membanjiri masyarakat melalui media sosial. Pada 2019, bersamaan dengan pelaksanaan pemilihan umum, rata-rata terdapat 100 hoaks per bulan, 60 persen di antaranya soal politik. Saat ini, rata-rata lebih dari 100 hoaks per bulan, sebagian besar terkait pandemi Covid-19.
Hoaks dan informasi salah yang rutin membanjiri platform media sosial berisiko menyatukan berita nyata/benar dengan berita palsu di benak publik. Fenomena clickbait di dunia digital yang bertujuan menarik pembaca untuk meng-klik berita-berita di media daring memperkeruh kondisi ini.
Masyarakat kita ini telanjur ramai-ramai bergerak menggunakan media sosial, tetapi belum tahu bagaimana membaca informasi yang benar. (Septiaji Eko Nugroho)
”Masyarakat kita ini telanjur ramai-ramai bergerak menggunakan media sosial, tetapi belum tahu bagaimana membaca informasi yang benar. Butuh tingkat literasi yang lebih, literasi digital,” kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Berbeda dengan membaca buku, membaca informasi di media sosial membutuhkan kemampuan lebih. Ada tanggung jawab untuk mengonfirmasi informasi tersebut dari berbagai macam sumber. Alasan mendasar, informasi yang menyebar melalui media sosial tidak semuanya melewati proses konfirmasi dan verifikasi, bahkan sering kali tidak jelas sumbernya dari mana.
Garuda Sugardo, anggota Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional, dalam diskusi daring beberapa waktu lalu, mengatakan, kita harus melakukan sejumlah saringan ketika menerima informasi di media sosial. Saringan itu mulai dari mengecek kebenaran informasi, mengabaikan informasi yang tidak mengandung 5W 1 H (rumus penulisan berita sesuai standar jurnalistik), mengabaikan informasi jika ada permintaan untuk menyebarkan, jika pun informasi itu benar harus dipikirkan dulu perlu disebar atau tidak, dan hanya menyebar informasi yang bermanfaat.
Anjuran untuk ”saring sebelum sharing” telah berkali-kali didengungkan, terutama menjelang Pemilu 2019, sebagai upaya menangkal kampanye hitam dan penyebaran hoaks. Tak kurang-kurang pemerintah, lembaga, dan para pegiat media sosial menyosialisasikan ajakan ini ke masyarakat. Namun, upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan, hoaks tetap cepat beredar di media sosial.
Literasi digital
Dengan tingkat literasi atau kemampuan membaca yang rendah, kata Septiaji, sulit mengharap masyarakat mempunyai pengetahuan dan kecakapan menggunakan media digital dan memanfaatkan informasi yang menyebar melalui media digital secara sehat dan bijak. Literasi digital ini harus dibangun agar masyarakat dapat menggunakan media sosial dengan baik.
”Membaca buku cukup dengan teknik vertical reading. Ini tidak bisa digunakan di media sosial atau media daring. Masyarakat harus paham dengan apa yang disebut teknik lateral reading, melakukan konfirmasi informasi ke berbagai sumber. Ini cara membaca yang wajib digunakan jika berselancar di dunia maya. Banyak masyarakat yang belum paham ini, tetapi mereka mengandalkan media sosial,” paparnya.
Solusinya, kata Septiaji, harus menyeluruh dan komprehensif, tidak bisa parsial. Pertama, melalui pendidikan, yaitu dengan menumbuhkan pola pikir kritis. Selama ini pendidikan belum berhasil membangun budaya kritis sehingga banyak orang pandai tetapi tidak kritis.
”Itu yang menyebabkan mengapa hoaks menyebar juga di kalangan orang berpendidikan tinggi. Kami berupaya memengaruhi lingkungan kampus dan sekolah, guru harus menjadi agen untuk membangun iklim bermedia sosial yang sehat. Di Jepang, misalnya, literasi digital inheren (melekat) dalam pelajaran bahasa. Menumbuhkan pola pikir kritis ini memang jangka panjang, tetapi harus dilakukan,” ujarnya.
Upaya kedua adalah melalui pendekatan budaya dengan melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan budayawan. Memengaruhi masyarakat untuk bermedia sosial dengan kritis dan membangun media sosial yang sehat bisa dilakukan melalui tokoh-tokoh tersebut.
”Budaya verifikasi ini, kan, sebenarnya ada dalam budaya bangsa kita. Di Jawa, misalnya, ada kata waskita yang berarti bersikap jangan sampai merugikan orang lain. Pemerintah hendaknya merangkul budayawan untuk mengartikulasikan nilai-nilai ini. Juga melalui lembaga agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, telah menerbitkan pedoman bermedia sosial yang baik,” tuturnya.
Pada 2017, MUI menerbitkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Penerbitan fatwa ini didasarkan pada kekhawatiran maraknya ujaran kebencian dan hoaks melalui media sosial yang bisa menimbulkan konflik dan memecah belah masyarakat.
Baca juga: Tingkatkan Literasi Digital untuk Perangi Hoaks di Media Sosial
Dalam jangka pendek, kata Septiaji, pemerintah harus proaktif mengomunikasikan informasi yang benar untuk menangkal informasi salah dan hoaks yang berkembang di masyarakat melalui media sosial. ”Sekarang ini, terkait pandemi Covid-19, informasi jangan hanya menyangkut angka, tetapi juga terkait apa yang berkembang di masyarakat. Informasi yang salah harus segera dikonfirmasi, kalau perlu didiskusikan ke publik,” ujarnya.