Lahat, Negeri Seribu Megalit yang Butuh Terobosan
Kabupaten Lahat di Sumatera Selatan punya sejumlah situs megalitikum berusia ribuan tahun. Koleksinya bahkan tidak kalah dibandingkan situs ternama di Pulau Paskah, Chile. Sayangnya, warisan itu belum dikelola optimal.
Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, adalah daerah yang menyimpan kekayaan peninggalan megalitikum terbanyak di Indonesia. Namun, pengelolaan warisan budaya berusia 3.000 tahun silam di daerah itu cenderung jalan di tempat. Untuk itu, patut ada terobosan agar kekayaan sejarah itu bisa terus lestari dan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat dan daerah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring bertema ”Cahaya Negeri Seribu Megalit menuju Masyarakat Adil dan Sejahtera” yang digelar Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Kamis (11/6/2020). Hadir sebagai pembicara Wakil Bupati Lahat Haryanto, Kepala BPCB Jambi Iskandar Mulia Siregar, Kasubag Tata Usaha BPCB Jambi Kristanto Januardi, pendiri Komunitas Kandang Kebo sekaligus dosen Politeknik Akademi Pariwisata Indonesia Maria Tri Widayati, dan pendiri Komunitas Panoramic of Lahat Mario Andramartik.
Lahat terletak 222 kilometer ke arah barat dari ibu kota Sumatera Selatan, Palembang. Secara geografis, kabupaten berpenduduk 423.424 jiwa itu berada di wilayah sekitar Bukit Barisan selatan. Secara topografi, daerah ini berbukit-bukit dengan ketinggian 100-1.700 meter dari permukaan laut. Daerah ini juga memiliki banyak sungai dan air terjun. Sungai terbesar adalah Lematang yang turut membentuk kebudayaan setempat.
Untuk ke daerah yang ditetapkan sebagai ibu kota Afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, dan Basemah sejak 20 Mei 1869 itu, pengunjung bisa menggunakan transportasi darat dengan waktu tempuh sekitar lima jam dari Palembang. Pengunjung juga bisa menggunakan transportasi udara sekitar satu jam dari Palembang.
Orang-orang Lahat tergolong dalam Suku Basemah atau suku berbudaya dan penutur bahasa Melayu Tengah. Selain di Lahat, Suku Basemah juga tersebar di wilayah Pagar Alam, Muara Enim, dan Empat Lawang. Suku Basemah dikenal sebagai suku yang punya budaya megalitikum kental yang diprediksi telah ada sejak 3.000 tahun silam.
Dari semua wilayah yang dihuni Suku Basemah, Lahat menjadi tempat dengan koleksi peninggalan megalitikum terbanyak dan terlengkap. Bahkan, pada 2012, Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) menobatkan Lahat sebagai kabupaten dengan koleksi peninggalan megalitikum terbanyak di Indonesia, yakni memiliki 1.025 peninggalan megalitikum di 44 situs.
Terbaik di dunia
Pada 2007, buku Lonely Planet berjudul "Indonesia" menilai bahwa peninggalan megalitikum Lahat sebagai yang terbaik di dunia. Peninggalan megalitikum itu memang sangat beragam yang sedikitnya ada 13 jenis, mulai dari arca, menhir, bilik batu, lumpang batu, lesung batu, dolmen, tetralit, hingga tempayan kubur.
Peninggalan megalitikum di Lahat sudah menyita perhatian dunia sejak akhir abad ke-19. Paling tidak, laporan mengenai keberadaan peninggalan-peninggalan itu sudah dibuat oleh perwira Belanda, Letnan Infanteri Ullman, ketika bertugas di wilayah Basemah.
Dalam laporannya berjudul Hindoe-Beelden in de Binnenlanden van Palembang pada 1850, Ullman mengabarkan batu-batu megalitikum itu sebagai peninggalan Hindu di pedalaman Palembang. Namun, teori itu dibantah pemerhati sejarah Hindia-Belanda, Van der Hoop, yang menyatakan batu-batu tersebut adalah peninggalan zaman batu besar dalam laporannya berjudul Megalithic Remains in South Sumatra pada 1932.
Menurut Kristanto, peninggalan megalitikum Lahat mengusung peradaban tinggi. Mayoritas peninggalan itu dibuat dengan karya seni tinggi. Kebanyakan karya itu berupa ukiran yang detail, khas, dan natural, seperti menggambarkan manusia lengkap dengan pakaian, hiasan, dan senjata. Beberapa karya dipahat dalam bentuk flora dan fauna, seperti harimau dan gajah. Ada pula karya yang dituangkan dalam bentuk lukisan pada bilik batu.
”Warisan budaya megalitikum Lahat ini unik karena tidak ada di daerah lain. Ini menunjukkan pula betapa nenek moyang orang Lahat dan Basemah sudah memiliki kemampuan untuk membuat karya indah dan peradaban tinggi sejak dulu. Bukan hanya kebanggaan Lahat dan Basemah, itu semua sudah menjadi kebanggaan Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Kesadaran Masyarakat untuk Melaporkan Benda Bersejarah Rendah
Hambatan pelestarian
Sayangnya, popularitas peninggalan megalitikum Lahat kalah populer dari candi-candi di Pulau Jawa, apalagi patung Moai atau patung Rapa Nui di Pulau Paskah, Chile. Berdasarkan pengalaman Kompas memantau sejumlah situs megalitikum di Lahat, peninggalan-peninggalan itu banyak yang kurang terawat.
Beberapa peninggalan hanya teronggok dimakan waktu di sejumlah ladang sawah, kebun, hutan, ataupun di sekitar permukiman warga. Tak sedikit yang sudah hancur dan lenyap. Tak sedikit pula akses transportasi menuju situs-situs di daerah itu berkondisi buruk sehingga sulit dijangkau. Jika pun sudah berpagar dan bernaungan, peninggalan-peninggalan itu tidak didukung atraksi menarik sehingga sepi kunjungan wisatawan.
Mario mengatakan, ada tiga tantangan utama dalam pelestarian peninggalan megalitikum Lahat, yakni kurang sinergitas pengelolaan antara pemerintah daerah dan pusat serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk turut menjaga. Selain itu, keterbatasan anggaran juga membuat perawatannya tidak optimal.
Dari semua itu, menurut pantauan lapangan Mario, kurangnya kesadaran masyarakat menjadi masalah terbesar. Padahal, masyarakat sejatinya garda terdepan atau pihak yang bersentuhan langsung dengan benda-benda warisan budaya itu.
Akibatnya, selain faktor alam, faktor manusia pula yang membuat sejumlah peninggalan rusak. ”Kalau peninggalan itu rusak dan hilang, yang rugi adalah Lahat secara keseluruhan. Sebab, peninggalan itu merupakan identitas dan kebanggaan daerah,” katanya.
Mario adalah salah seorang tokoh Lahat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap peninggalan megalitikum Lahat. Setelah 13 tahun merantau dan mengunjungi 202 kota wisata dari 100 negara, dia kembali ke Lahat pada 2008 dan mulai fokus untuk mendata serta mempromosikan peninggalan-peninggalan tersebut ke masyarakat lokal, nasional, hingga internasional.
Tanpa sinergitas dalam pengelolaan, BPCB Jambi sulit untuk melakukan pelestarian secara optimal.
Berkat upayanya, Mario pernah mendapatkan sejumlah pengakuan, seperti dinobatkan sebagai Tokoh Inspirasi Sumsel 2016 serta Tokoh Penggerak Kebudayaan dan Kepariwisataan Sumsel 2016. Sementara itu, pada 2012, komunitas Panoramic of Lahat yang didirikannya sejak 2010 mendapatkan penghargaan Muri sebagai kolektor data megalitikum terbanyak se-Indonesia.
Perlu sinergitas
Kristanto menuturkan, BPCB Jambi menilai tantangan utama pelestarian peninggalan megalitikum Lahat terletak pada pembagian hak pengelolaan. Sebab, merawat ataupun menjaga peninggalan-peninggalan itu butuh biaya besar. Apalagi, peninggalan-peninggalan itu cenderung menyebar luas. ”Tanpa sinergitas dalam pengelolaan, BPCB Jambi sulit untuk melakukan pelestarian secara optimal,” tuturnya.
Selama ini BPCB Jambi sudah berusaha melakukan pelestarian yang mencakup tanggung jawabnya, mulai dari pendataan, ekskavasi, studi penataan, pemagaran, pencungkupan, penempatan juru pelihara, pemetaan, hingga pembuatan dokumentasi. Namun, itu saja tidak cukup karena hanya meliputi wilayah atau zona inti peninggalan.
BPCB Jambi harus mendapatkan dukungan pula dari pemerintah daerah hingga masyarakat setempat. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk membuat akses yang memadai agar lokasi peninggalan-peninggalan itu mudah dijangkau. Masyarakat juga bertanggung jawab untuk turut menjaga. ”Peran serta pemerintah daerah dan masyarakat adalah bagian dari komponen inti dalam pelestarian suatu cagar budaya,” ujar Kristanto.
Maria mengatakan, tantangan utama pemeliharaan cagar budaya memang terletak pada pendanaan. Setidaknya butuh biaya sekitar Rp 10 miliar untuk membentuk tim ahli cagar budaya di suatu daerah guna mendukung upaya pelestarian cagar-cagar budaya tersebut.
Wisata minat khusus
Meski demikian, masalah itu bisa diatasi dengan pengembangan program wisata minat khusus berbasis desa. Caranya, pemerintah membina masyarakat desa untuk lebih mengenal sejarah dan cara merawat peninggalan yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Dengan itu, masyarakat diharapkan bisa menjadi penjual cendera mata, pemandu wisata, dan juru pelihara peninggalan tersebut.
Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan infrastruktur pendukung untuk mengembangkan wisata minat khusus tersebut, antara lain, membangun akses jalan yang memadai. Namun, konsep itu harus mengutamakan upaya pelestarian, khususnya menjaga keaslian dari peninggalan yang ada.
Program itu sudah banyak diterapkan pada situs-situs sejarah yang ada di Jawa. Konsep itu tidak menyalahi aturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ”Apabila konsep ini dijalani dengan tepat, itu bisa memberikan manfaat langsung untuk masyarakat. Dengan begitu, timbul kesadaran masyarakat untuk menjaga peninggalan yang ada. Apalagi, selama ini, kesadaran masyarakat untuk menjaganya rendah karena mereka tidak merasakan manfaat langsung dari keberadaan peninggalan tersebut,” katanya.
Ke depan, kami juga berencana membuat Museum Megalitikum Lahat.
Haryanto menyampaikan, saat ini, pihaknya gencar melakukan pelatihan kepada masyarakat agar bisa berperan aktif mengembangkan dan menjaga warisan megalitikum Lahat di sekitar tempat tinggalnya. Mereka berharap masyarakat bisa mengambil manfaat langsung dari keberadaan peninggalan itu dengan menjual cendera mata, makanan, hingga menjadi pemandu wisata.
”Ke depan, kami juga berencana membuat Museum Megalitikum Lahat. Tujuannya agar kebudayaan megalitikum di sini semakin dikenal oleh masyarakat setempat hingga internasional. Cara itu diharapkan bisa semakin menumbuhkan kebanggaan dan kesadaran untuk melestarikan jejak sejarah nenek moyang orang Lahat,” pungkasnya.
Baca juga: Situs Megalitikum Lahat