Pembahasan pembentukan Radio Televisi Republik Indonesia tidak kunjung usai. Selain tertundanya proses legislasi undang-undang, kendala pembentukan terletak pada belum optimalnya persiapan RRI dan TVRI.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika pembahasan pembentukan Radio Televisi Republik Indonesia berlarut-larut. Selain mandeknya pembahasan rancangan undang-undang, kesiapan Lembaga Penyiaran Publik RRI dan TVRI untuk menyatu juga belum matang.
Pengamat media Universitas Islam Indonesia, Masduki, dalam webinar ”Prospek Radio Televisi Republik Indonesia sebagai Pengelola Multipleksing”, Kamis (11/6/2020), mengatakan, bentuk kesiapan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI bisa berupa pengajuan terlebih dulu draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI). Dua isu pokok dalam draf adalah pilihan model lembaga penggabungan atau peleburan dan mekanisme transisi. Setelah itu, audit menyeluruh atas tata kelola dari lembaga independen.
”Bentuk kesiapan lainnya bisa berupa gerakan pemanasan yang menunjukkan koordinasi atau kebersamaan. Selama masa pandemi Covid-19, konten disinformasi dan hoaks melimpah ruah sehingga kedua LPP semestinya bisa bekerja sama membuat sistem clearing content,” ujarnya.
Masduki mencontohkan pula bentuk gerakan pemanasan bisa dilakukan dengan saling berkunjung dan belajar satu sama lain. Pertemuan seperti itu akan menyatukan pola pikir dan budaya satu sama lain.
Dinamika yang tak kalah menyita perhatian adalah diturunkannya status RUU RTRI dari daftar RUU prioritas menjadi jangka panjang. Ditambah lagi, perdebatan model pengelolaan multiplexing yang sarat kepentingan ekonomi politik. Padahal, kondisi eksternal sekarang sudah berkembang sangat cepat, misalnya dunia media yang semakin berbasis internet.
”Kalau menangkap semangat publik, berarti semangat LPP RRI dan TVRI adalah untuk mentransformasi diri dari lembaga milik negara dan pemerintah ke arah publik,” katanya.
Manajer Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Darmanto mengatakan pandangan senada. Dari sisi LPP, mereka seharusnya menyodorkan naskah akademik dan draf RUU RTRI sebagai sandingan versi DPR. Hingga saat ini, draf RUU sandingan hanya dari Rumah Perubahan LPP. Semestinya, RRI dan TVRI juga menyiapkan skema atau model penyatuan.
Dari sisi pemerintah, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk memperkuat eksistensi LPP dengan membentuk UU RTRI bersama DPR. Dia mengamati, pemerintah justru tidak tampak komitmennya. Sementara dari sisi legislator, Darmanto berpendapat perlunya segera membahas draf RUU RTRI yang sejak 2012 sudah menjadi agenda legislasi.
”Sementara itu, alasan mereka (DPR) yang tampak adalah penundaan pembahasan RUU RTRI adalah karena RUU Penyiaran pengganti UU No 32/2002 masih stagnan sehingga belum ada pasal payung untuk membahas UU RTRI,” kata Darmanto.
Tergantung proses politik
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, mengatakan, urgensi RTRI adalah peleburan. Peleburan LPP tidak akan menghilangkan nilai historis dari LPP masing-masing. RRI berjasa membantu menyiarkan perjuangan kemerdekaan bangsa, sedangkan TVRI berjasa mengisi pembangunan.
Jika RTRI mengusung peleburan, berarti memuat sejumlah tantangan yang menurut dia harus diantisipasi. Sebagai contoh, peleburan budaya kerja, manajemen, pengelolaan kelembagaan, dan model bisnis yang tidak akan mudah.
”Belum lagi tantangan harus mengesampingkan ego sektoral di internal (LPP),” katanya.
Adapun menyangkut perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang RTRI, Sukamta mengakui bahwa hal itu tergantung dengan proses politik. Dinamika politik bisa membawa pembahasan berlangsung cepat atau malah mungkin berjalan sebaliknya.
Anggota Dewan Pengawas LPP RRI, Hasto Kuncoro, membenarkan hingga sekarang, draf RUU RTRI versi RRI belum ada. Meski begitu, RRI berkomitmen mendukung pembentukan RTRI beserta undang-undangnya. Komitmen itu bahkan telah tercantum dalam rencana strategis RRI periode 2016-2021 dan pada Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
Dewan Pengawas RRI ataupun TVRI telah bertemu sekitar Oktober 2019 di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Menurut dia, pertemuan itu menghasilkan keputusan menyepakati adanya RTRI.
”Sama seperti pernikahan, kami (Dewan Pengawas RRI dan Dewan Pengawas TVRI) sudah sepakat menikah. Akan tetapi, waktu ijab kabuldan rencana punya anak belum tahu seperti apa,” ujar dia.
Hanya saja, Hasto menekankan, diksi RTRI yang dikedepankan adalah penggabungan kelembagaan, bukan peleburan. Peleburan hanya menyangkut manajemen dan tata kelola agar lebih efisien. Tatanan teknis operasional RRI tetap bertahan.
Dia menyarankan perlunya undang-undang khusus tentang LPP sehingga dapat menjadi solusi permanen bagi permasalahan yang dihadapi RRI ataupun TVRI. Misalnya, isu perekrutan sumber daya manusia. Pemakaian kelembagaan berupa LPP menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepemilikan di dalamnya.
Sementara terkait dengan isu pilihan model pengelolaan multiplex, Hasto mengatakan, RRI konsisten memilih single mux. Model ini sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 dan prinsip keadilan pendapatan negara terjamin.