Tetap Berdaya dan Berbagi di Masa Pandemi Covid-19
Upaya mengawal dan mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah terkait perlindungan dan kesejahteraan lansia harus terus dilakukan, apalagi di masa pandemi Covid-19 ini.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Masa tua atau lanjut usia bukan berarti berhenti bekerja dan beraktivitas. Bagi sejumlah warga lanjut usia, terutama yang kondisi ekonominya pas-pasan, bekerja justru menjadi kekuatan dalam mengisi hari-hari di masa tua. Namun, pandemi Covid-19 yang melanda DKI Jakarta kemudian meluas ke daerah-daerah ternyata berdampak besar bagi kehidupan para lanjut usia.
Sejumlah warga lanjut usia (lansia) berusaha tetap produktif dan mandiri di masa tua. Bahkan, di masa pandemi Covid-19, beberapa perempuan lansia tetap berdaya. Beberapa perempuan lansia mengembangkan tananam obat keluarga (toga) serta sayur-sayuran. Hasil panen dari tanaman tersebut dibagikan untuk para lansia.
Perempuan lansia yang produktif juga tidak tinggal diam ketika melihat banyak lansia (terutama di daerah pelosok) yang tidak mengetahui soal Covid-19. Mereka turun membagikan informasi tentang Covid-19, serta membagikan masker, sabun cuci tangan, dan bantuan dari sejumlah lembaga. Seperti yang dilakukan Sri Muhayati (79), warga DI Yogyakarta, dan Maria Cornelia Sanu (72), warga DKI Jakarta.
Meski jalan saya sudah tidak normal, saya berusaha mendatangi mereka dan membagikan bantuan dari beberapa lembaga kepada teman-teman lansia. (Sri Muhayati)
”Banyak dari daerah terpencil tidak tahu-menahu soal Covid-19, dan kondisi mereka sangat memprihatinkan. Makanya, meski jalan saya sudah tidak normal, saya berusaha mendatangi mereka dan membagikan bantuan dari beberapa lembaga kepada teman-teman lansia,” ujar Sri Muhayati saat berbagi cerita lansia pada diskusi secara daring bertema ”Lansia Penyintas di Masa Pandemi Covid-19” yang digelar oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), Selasa (9/6/2020).
Sejumlah lansia penyintas ikut bergabung dalam diskusi tersebut, membagikan situasi dan pengalaman sebagai lansia. Muhayati, yang juga penyintas dari Kiprah Perempuan (Kipper) Yogyakarta, menuturkan, sebelum pandemi, dia dan beberapa lansia sering berkeliling mengunjungi lansia dan melakukan pengukuran tensi darah serta membagikan vitamin. Akan tetapi, sekarang, semua peralatan rusak dan sulit mendapatkan vitamin.
”Maka saya berusaha mengumpulkan cerita-cerita zaman dulu tentang obat herbal sehingga kita tidak mesti tergantung dengan obat kimia dari apotek,” ujar Muhayati yang kemudian membuat minuman herbal bagi para lansia.
Maria Cornelia Sanu (72), ibunda dari Stevanus Sanu yang menjadi korban saat kerusuhan Mei 1998 di Mal Klender, Jakarta, juga menuturkan, di masa pandemi Covid-19 ini, menanam adalah hal yang sangat menghibur dirinya. Dia kemudian mendaur ulang tanaman obat keluarga yang sebelumnya sempat mati karena dia jatuh sakit. Dia menanam kembali jahe merah, kunyit putih, dan beberapa tanaman obat.
”Setelah saya sehat, saya daur ulang tanaman toga, seperti jahe merah, kunyit putih, dan tanaman lain. Selama bercocok tanam, hati saya gembira karena ini satu-satunya cara menghibur saya. Sebagian tanaman banyak teman lansia yang minta, seperti lemon cina untuk jantung, daun mint untuk dicampur teh, dan daun insulin juga,” kata Maria.
Berusaha bangkit walau terpuruk
Bukan hanya perempuan lansia, laki-laki lansia pun ikut bangkut. Sugiyanto (78) misalnya, Lansia asal Karanganyar, Jawa Tengah, ini mengakui, meskipun perekonomiannya sempat terpuruk di awal masa pandemi Covid-19., dia tetap berusaha bangkit.
Pandemi Covid-19 yang mengharuskan adanya pembatasan sosial berdampak pada usaha ternak burung puyuh yang selama ini menjadi penopang utama perekonomian keluarganya. Awal Maret 2020 seharusnya masa panen telur puyuh, tetapi keburu pandemi Covid-19 terjadi. Pedagang-pedagang kecil yang biasa mengambil telur puyuh di tempatnya tidak datang lagi karena mengira burung puyuh juga bisa menularkan virus korona baru.
”Dulu telur puyuh cepat laku, bahkan tiap tiga hari diambil bakul (pedagang). Tetapi, setelah ada covid-19, semua mandek, tidak bisa laku karena semua takut sehingga kami harus keliling cari bakul. Namun, ketika sudah ketemu, ternyata mereka minta direbus,” ujar Sugiyanto saat berbicara pada diskusi secara daring bertema ”Lansia Penyintas di Masa Pandemi Covid-19” yang digelar oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), Selasa (9/6/2020). Sejumlah lansia penyintas yang ikut bergabung dalam diskusi tersebut membagikan situasi dan pengalaman sebagai lansia.
Sugiyanto yang juga lansia dari Sekretariat Bersama (Sekber 65), korban tragedi 1965, menuturkan, demi mendapatkan penghasilan, Sugiyanto mengikuti permintaan pedagang. Telur puyuh kemudian direbus, lalu dia menemui pedagang. Telur yang tidak laku juga dikemas dalam bungkusan kecil-kecil lalu dititipkan ke penjual hik (pedagang makanan dan minuman tradisional di pinggir jalan yang dibuka di malam hari).
Dengan cara itu, dia bisa bertahan sampai saat ini. ”Sampai sekarang masih berjalan walaupun pas-pasan karena harga pakan melonjak, harga telur puyuh malah drop. Walaupun untung, cuma sedikit,” katanya.
Upaya dari Maria, Muhayati, dan Sugiyanto untuk tetap berdaya di masa pandemi Covid-19 setidaknya memotivasi para lansia lain yang juga sangat terpuruk saat ini. Beberapa lansia yang hidupnya secara ekonomi bergantung dari dukungan anak-anak kini juga terganggu.
Jika sebelumnya para lansia banyak ditopang oleh anak-anaknya yang bekerja di toko, perusahaan swasta, buruh, membuka warung kecil-kecilan, atau beternak, saat ini banyak yang kesulitan ekonomi karena kondisi ekonomi anak-anak mereka terganggu, bahkan ada anak yang dulu bekerja kini di-PHK (pemutusan hubungan kerja).
Kelompok marjinal
Agustina Hendriati, pengajar Fakultas Psikologi Psikologi Atmajaya, Jakarta, menyatakan kondisi pandemi saat ini sangat memprihatinkan karena merugikan kelompok marjinal, seperti lansia, terutama lansia penyintas (korban berbagai kekerasan).
”Berita gembiranya, di balik semua kesulitan dan hambatan ternyata ada banyak inisiatif dan semangat, percikan positif dari berbagai pengalaman. Kita harus perbesar gaungnya untuk menguatkan kita semua,” kata Agustina yang berharap protokol kesehatan di masa pandemi tetap disosialisasikan kepada lansia karena kondisinya yang rentan.
Melihat kondisi lansia, Adhi Santika, mantan anggota Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia) berpendapat. Terkait status lansia, Adhi mengusulkan perlu ada redefinisi soal kerentanan lansia. Sebab, lansia sebelum Covid-19 sudah rentan dari kondisi fisik, kesehatan, dan psikososial. ”Data menunjukkan presentasi lansia yang kena Covid-19 makin banyak, tidak hanya terpapar, tetapi juga meninggal,” katanya.
Perhatian terhadap lansia, menurut Lilik HS, Program Manager Pundi Insani,sebenarnya untuk perlindungan lansia, sejumlah daerah menginisiasi lahirnya peraturan daerah, peraturan bupati/wali kota, seperti yang dilakukan Kota Solo, Kabupaten Karanganyar, dan DI Yogyakarta. Akan tetapi, peraturan-peraturan tersebut belum sampai pada tataran implementasi. Proses advokasi kebijakan masih panjang.
Maka, mengawal dan mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah terkait perlindungan dan kesejahteraan lansia harus terus dilakukan agar para lansia di Tanah Air yang tahun 2020 ini diperkirakan berjumlah 28 juta jiwa bisa dilindungi negara dan masyarakat. Akan tetapi, hal yang terpenting juga jangan melupakan lansia di masa pandemi dan normal baru saat ini.