Covid-19 mengancam masa depan lebih dari 80 juta anak Indonesia. Hak mereka atas pendidikan dan kesehatan terenggut. Ancaman hilangnya satu generasi bangsa pun ada di depan mata.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
Sudah lebih tiga bulan, anak-anak Indonesia terkurung dalam rumah. Sekolah, bermain, ibadah, dan bersosialisasi semua dilakukan di rumah. Perubahan ekonomi keluarga membuat status gizi sebagian anak turun. Akses dan layanan kesehatan bagi mereka pun ikut terganggu.
Itu bukan hanya masalah lebih 80 juta (2018) anak Indonesia. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menyebut, 2,34 miliar anak dan remaja kurang dari 18 tahun (99 persen) ada di negara yang menjalankan pembatasan sosial akibat korona dan 1,4 miliar anak (60 persen) ada di negara yang menerapkan karantina wilayah.
”Ancaman hilangnya generasi ada di depan mata,” kata anggota Dewan Penyantun Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia yang juga Wakil Menteri Pendidikan Nasional 2010-2011 Fasli Jalal di Jakarta, Selasa (9/6/2020).
Potensi hilangnya generasi itu bisa dilihat dari meningkatnya kehamilan tidak diinginkan dan terbatasnya layanan pemeriksaan kandungan. Situasi itu menaikkan risiko lahirnya bayi prematur dan mengalami tengkes (stunting) sejak janin yang dicirikan oleh berat lahir kurang dari 2.500 gram atau panjang badan tak sampai 48 sentimeter.
Kondisi itu bisa ditekan jika orangtua memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif pada enam bulan pertama. Namun, cakupan ASI eksklusif hanya 37,3 persen (2018). Menyusui pada masa krisis juga tak mudah, ibu butuh kepercayaan dan dukungan.
Pemberian makanan pengganti ASI yang tepat saat bayi berumur 7-24 bulan juga penting untuk mendukung pertumbuhan maksimal otak. Namun, tutupnya posyandu membuat informasi langsung pengasuhan balita terputus.
Namun, tinggal di rumah saja tetap bisa memberi manfaat positif. ”Ikatan orangtua dan anak bisa lebih baik dan lebih baik lagi jika orangtua mencari informasi pengasuhan di internet,” ujarnya.
Hal itu sepertinya terlalu ideal. Selama pandemi, banyak orangtua stres dengan beban yang mereka hadapi sendiri, mulai dari hilang atau berkurangnya pendapatan hingga meningkatnya beban kerja yang ditanggung.
Bagi anak usia sekolah, proses belajar berubah jadi daring. Itu berlaku dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Repotnya, pengasuhan di PAUD butuh stimulasi khusus hingga semua aspek tumbuh kembang anak: fisik, kognitif, emosi, bahasa, dan sosial, berkembang. Namun, terbatasnya kemampuan orangtua membuat pendampingan yang dilakukan tak optimal.
”Itu akan menurunkan kualitas stimulasi anak usia dini hingga perkembangan otak, emosional, dan sosialnya tak sesuai harapan,” ujar Fasli.
Rentan
Di luar PAUD, belajar di rumah juga menimbulkan persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Mereka yang paling terdampak dari kebijakan ini adalah anak-anak dari kelompok rentan yang tak bisa mengakses internet.
”Pembelajaran daring dilakukan agar hak belajar anak tak terlanggar, tapi ada persoalan perlindungan dan keadilan yang harus diperhatikan,” kata Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia Santi Kusumaningrum.
Mengutip Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, lanjut Santi, ada 31,8 juta anak usia SD sampai SLTA di 15 provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak. Namun, 19,4 juta anak atau 61 persennya tidak memiliki akses internet di rumahnya.
Situasi itu membuat mereka tidak bisa mengikuti pembelajaran daring seperti yang dialami anak-anak seusianya. Kalaupun ada dispensasi hingga mereka semua naik kelas, mereka tetap tertinggal pelajaran yang membuat langkah mereka merengkuh masa depan tak sama.
Penutupan sekolah membuat aktivitas gerak dan interaksi sosial anak terbatas. Kesempatan mereka belajar sinyal sosial, seperti ekspresi wajah, pun turun. Namun, ancaman gangguan mental emosional seperti kesepian, stres hingga depresi justru naik. Peluang untuk mendapatkan tubuh yang fit pun berkurang.
Di sisi lain, melemahnya ekonomi akan menurunkan status gizi anak. Situasi itu dikhawatirkan melanggengkan atau memperparah tengkes yang beberapa tahun terakhir mulai teratasi. Sebelum pandemi, prevalensi tengkes sudah turun dari 30,8 persen (2018) jadi 27,67 persen (2019).
Saat bersamaan, layanan kesehatan anak juga turun. Cakupan imunisasi dasar lengkap per April 2020 hanya 21,2 persen, bandingkan April 2019 sebesar 25,9 persen. Turunnya cakupan itu akan menaikkan risiko kesehatan dan mengurangi produktivitas anak di masa depan.
”Tanpa pandemi pun, Indonesia menghadapi berbagai penyakit menular: diare, demam berdarah, difteri, tuberkulosis, dan infeksi saluran pernapasan akut,” kata Santi.
Karena saat ini semua kegiatan bertumpu di rumah, pendidikan keluarga menjadi penting. Media massa bisa dimanfaatkan pemerintah guna membantu orangtua memiliki pengetahuan pengasuhan yang lebih baik.
Struktur pemerintah paling bawah, lanjut Fasli, seperti dukuh, dusun, rukun tetangga, atau rukun warga bisa dimanfaatkan untuk membantu memetakan kondisi keluarga di wilayahnya. Dana desa bisa dipakai untuk membiayai program kesehatan dan pendidikan anak hingga kualitas mereka tidak turun terlalu besar akibat pandemi.
Selain itu, lanjut Santi, inovasi layanan dasar perlu terus dilakukan. Layanan dasar juga perlu ditata lebih baik hingga mampu jangkau anak-anak rentan, termasuk anak jalanan, anak berkebutuhan khusus, ataupun anak di penjara dan panti. Layanan yang tak bisa dialihkan ke daring, seperti imunisasi, bisa dialihkan jadi layanan bergerak.