Selama Pandemi Belum Kelar, Banyak Orangtua Ingin Anak-anak Tetap Belajar di Rumah
Banyak orangtua mengkhawatirkan anak-anaknya jika harus kembali belajar tatap muka langsung di sekolah saat pandemi Covid-19 masih belum kelar. Mereka lebih tenang, anak-anak melanjutkan belajar di rumah saja.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Tahun ajaran baru 2020/2021 akan dimulai pada 13 Juli 2020. Meski sejumlah siswa mengaku sudah bosan belajar di rumah, orangtua tetap memilih agar anaknya tidak perlu belajar di sekolah selama masa pandemi belum mereda.
Meski begitu, sistem pemelajaran jarak jauh dinilai perlu diperbaiki. Target yang terlalu tinggi membuat anak kesulitan mengejar pemelajaran yang ditetapkan. Sementara, mereka masih beradaptasi dengan sistem belajar di rumah. Hal ini juga dikeluhkan oleh sejumlah orangtua.
Veronika Nuryanti (41 tahun) mengaku kesulitan untuk bisa mendampingi ketiga anaknya untuk mengejar materi yang diberikan oleh guru kelasnya. Di tahun ajaran baru nanti, anak pertamanya akan berada di bangku kelas X Sekolah Menengah Atas, kemudian anak kedua di bangku kelas VIII Sekolah Menengan Pertama, dan anak bungsunya di kelas dua Sekolah Dasar.
“Untuk anak yang paling tua masih lebih mudah untuk didampingi karena masih bisa belajar secara mandiri. Begitu pula dengan anak kedua. Namun, mendampingi belajar anak saya yang paling kecil agak susah. Saya benar-benar harus bisa menemani karena untuk menggunakan sistem digital pun dia masih kesulitan,” tutur ibu rumah tangga dengan empat anak ini yang kini tinggal di daerah Yogyakarta, saat dihubungi, Minggu (7/6/2020) sore.
Tugas sebagai ibu rumah tangga sekaligus guru bagi ketiga anaknya bukan perkara mudah. Belum lagi, suaminya sudah mulai aktif bekerja. Meski begitu, komunikasi dengan guru dan orangtua murid lain dirasa cukup membantu untuk mendampingi pemelajaran anaknya. Jika tugas yang diberikan terlalu banyak, biasanya orangtua murid akan menyampaikan hal itu ke guru agar bisa dikurangi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ari Supriyanti (36 tahun). Sebagai ibu bekerja, tugas untuk mendampingi belajar anaknya, Brigita (8 tahun) cukup menantang. Pembagian waktu dan tanggung jawab antara pekerjaan rumah, pekerjaan di kantor, serta pendampingan belajar anaknya harus benar-benar diperhitungkan.
“Kadang juga ada beberapa pelajaran yang saya sendiri kurang mengerti. Syukurnya, guru masih menyiapkan modul belajar juga rekaman video terkait pelajaran tersebut. Awal sistem pemelajaran jarak jauh diterapkan memang agak sulit, namun semakin lama sudah lebih terbiasa. Saya biasakan anak punya waktu belajar yang tetap setiap harinya,” ujarnya.
Kesulitan dalam pemelajaran jarak jauh tidak hanya dialami oleh orangtua tetapi juga para murid itu sendiri. Jika disuruh memilih, sebagian dari mereka menilai belajar di sekolah lebih menyenangkan dibanding belajar secara mandiri di rumah.
“Kalau di rumah tidak punya teman. Kadang juga kalau ada pelajaran yang sulit kita juga tidak bisa tanya. Ibu saya juga kadang tidak paham dari pelajaran saya. Jadi selama ini mengandalkan google,” tutur Anastasia Putri Utami (13 tahun), siswa sekolah menengah pertama di Yogyakarta.
Meski berbagai tantangan dialami oleh orangtua dan murid selama pemelajaran jarak jauh dilakukan, mereka tetap memilih untuk belajar di rumah untuk saat ini. Veronika menyampaikan, risiko penularan Covid-19 yang masih tinggi membuat ia ragu jika anaknya kembali masuk ke sekolah dalam waktu dekat.
Menurut dia, memaksa anak untuk menggunakan masker sepanjang hari juga menjaga jarak dengan teman-temannya akan sulit dilakukan. Jika tahun ajaran baru sudah bisa masuk sekolah, ia tetap memilih agar anaknya tetap berada di rumah.
Pertimbangan untuk tetap menjalankan pemelajaran jarak jauh juga disampaikan oleh F Arie (27 tahun), salah satu wali kelas di SMAN 1 Bengkayang, Kalimantan Barat. Menurut dia, kondisi saat ini masih belum aman untuk kembali mengaktifkan sistem pembelajaran di sekolah.
Hal itu terutama untuk menjaga jarak antarmurid, baik di dalam maupun luar kelas. Dengan rata-rata jumlah murid sebanyak 30 anak di setiap kelas, pengaturan satu meja satu bangku akan sulit dilakukan. Kondisi ini justru membuat ruang kelas menjadi sangat sempit.
Meski begitu menurut dia sistem pemelajaran jarak jauh tetap harus dijalankan, pembenahan dalam kurikulum belajar juga tata kelola sistem pemelajaran harus segera dilakukan. Kurikulum yang disusun saat ini sulit diterapkan dengan model pemelajaran jarak jauh.
Selain itu, selama ini tidak ada modul yang jelas yang diberikan pada guru dalam penerapan pemelajaran jarak jauh. “Guru yang harus kreatif. Saya pun akhirnya meminta anak untuk mengunduh aplikasi pemelajaran daring yang ada di Android. Tidak ada standar yang jelas soal penggunaan aplikasi ini. Jika guru tidak kreatif, murid akan tertinggal,” kata dia.
Monitoring dan evaluasi pemelajaran pun kini sulit dilakukan. Jika monitoring hanya dilakukan berdasarkan tugas yang dikumpulkan, itu tidak bisa memastikan murid paham akan materi yang diberikan. Belum lagi bagi anak-anak yang tinggal di daerah dengan jaringan internet yang tidak baik. Mereka akan semakin sulit untuk dipantau.