Tetap Produktif, tetapi Harus Patuhi Protokol Kesehatan
Penerapan kebijakan normal baru dinilai memberi kesempatan masyarakat untuk produktif. Akan tetapi, kegiatan produktif tersebut harus disertai dengan sikap disiplin dan mematuhi protokol kesehatan yang ketat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Penerapan tatanan hidup normal baru diharapkan mendorong masyarakat di Tanah Air untuk bisa produktif. Namun, aktivitas dalam situasi pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru tersebut menuntut semua pihak tetap mematuhi protokol kesehatan dengan ketat.
Ajakan Presiden Jokowi kepada seluruh masyarakat untuk hidup berdampingan dengan Covid-19 hendaknya dipahami secara bijak oleh masyarakat. Hidup di tengah pandemi Covid-19 bukan berarti pasif dan tidak berbuat apa-apa.
”Ini artinya, bukan sikap menyerah. Hidup berdampingan dengan Covid-19, maknanya masyarakat dapat kembali produktif, tetapi dengan tetap mengedepankan kepatuhan terhadap protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Menteri Sosial Juliari P Batubara saat membuka diskusi tanpa tatap muka bertema ”Dukungan Psikososial dalam Merespons Pandemi Covid-19: Penyesuaian Menuju ’New Normal’”, Sabtu (6/6/2020) pekan lalu.
Kebijakan penerapan tatanan normal baru, menurut Juliari, merupakan cerminan ikhtiar bangsa di tengah pandemi Covid-19. Tatanan dunia baru itu tak bisa dihindari. Sebaliknya semua pihak harus siap karena tatanan normal baru membutuhkan kedisiplinan yang tinggi dan persiapan mental yang tinggi.
”Sikap disiplin dan patuh terhadap kebijakan pemerintah menjadi kunci. Selama penerapan tatanan normal baru masyarakat harus tetap mengenakan masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak sosial. Dengan demikian, upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 bisa terus berjalan,” kata Juliari.
Karena itu warga diharapkan tetap disiplin, masyarakat juga harus terus mencari solusi, termasuk berperan aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi demi keberlangsungan hidup. ”Ini yang lebih penting, dibandingkan persiapan yang lebih bersifat fisik. Kedisiplinan persiapan mental yang sangat baik ini sudah lakukan berapa bulan terakhir ini,” kata Juliari.
Sikap disiplin dan patuh terhadap kebijakan pemerintah menjadi kunci. Selama penerapan normal baru, warga harus tetap mengenakan masker, rajin mencuci tangan, dan jaga jarak sosial.
Diskusi yang diselenggarakan Badan Pendidikan Penelitian dan Penyuluhan Sosial (BP3S) bekerja sama dengan Konsorsium Pekerja Sosial Indonesia (KPSI) dan Ikatan Pekerjaan Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) juga menghadirkan sejumlah pembicara Achmad Yurianto (Jubir Gugus Tugas Covid-19) dan sejumlah psikolog.
Pada diskusi tersebut, Yuliari menjelaskan tentang pedoman dalam mengembalikan pemerintah menuju penerapan normal baru. Hingga Jumat pekan lalu, dia menyebutkan, sejumlah provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Banten, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Kasus yang terkonfirmasi sebanyak 29.521 kasus, dengan 1,770 orang meninggal, 9.443 (sembuh), 49.320 (orang dalam pengawasan), dan 13.592 (pasien dalam pemantauan).
Soal prediksi Covid-19 di Indonesia, Yuliari mengutip informasi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) yang menyatakan puncak pandemi diperkirakan pertengahan Juni dan berakhir Agustus apabila diikuti intervensi moderat. Apabila tidak, skenario terburuk adalah akhir pandemi belum dapat diprediksi.
Konsekuensi jangka panjang
Indra Nurpatria, psikolog dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta, dalam materinya ”Pedoman Dukungan Psikososial Dan Kesehatan Jiwa (Iasc Guidelines) Dalam Merespon Kenormalan Baru” menyatakan, pandemi Covid-19 memberikan konsekuensi jangan panjang dalam berbagai aspek.
Sebagai contoh, dalam kehidupan sosial, dampaknya pada memburuknya jejaring sosial, kondisi ekonomi, dan situasi setempat, serta kemungkinann meningkatnya kondisi emosi, kemarahan, dan sikap agresif terhadap pemerintah.
Dari sisi masyarakat, di rumah tangga berpotensi munculnya kemarahan dan agresif ke pada anak, pasangan suami istri, dan anggota keluarga lainnya, yang bisa meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara itu, stigma terhadap pasien yang bertahan hidup juga terjadi sehingga terjadi penolakan oleh masyarakat, serta kondisi emosi dan kemarahan terhadap pekerja di garda terdepan.
Psikolog Miryam Nainggolan juga mengungkapkan kondisi psikososial yang tidak tertangani dengan baik mengakibatkan masalah psikologis dan sosial lainnya. Selain itu, masalah psikososial dapat menghambat seseorang dalam melaksanakan fungsi sosialnya.
”Karena itu, perlu dukungan psikososial untuk meminimalisasi atau memulihkan dampak psikologis dan memperbaiki kondisi sosial di lingkungan sebagai akibat dari pandemi Covid-19,” katanya.
Miryam juga berharap pada masa normal baru saat ini, akan ada perubahan perilaku. Bahkan, sikap yang sudah terbangun selama pandemi Covid-19 mengarahkan setiap orang untuk melakukan perilaku yang diyakini akan memberikan dampak positif.