Hentikan Kontroversi Tahun Ajaran Baru, KPAI Berharap Presiden Beri Arahan
KPAI beharap, Presiden Joko Widodo mengarahkan pembukaan tahun ajaran baru per 13 Juli 2020 dengan memerhatikan keselamatan anak. Jika pandemi Covid-19 masih berlanjut, maka dilanjutkan pula belajar jarak jauh.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS––Memasuki penerapan kehidupan normal baru, Komisi Perlindungan Anak Indonesia meminta pemerintah dalam satu satu komando Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan anak dalam masa pandemi Covid-19. Lembaga independen negara ini juga berharap arahan Presiden terkait pembukaan tahun ajaran baru di sekolah maupun di madrasah akan menghentikan kontroversi soal apakah pembelajaran tetap dilaksanakan tatap muka langsung atau tanpa tatap muka (daring).
“Kami mendukung arahan Presiden bahwa skema pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan harus melalui kajian, kehati-hatian dan keputusan yang cermat. Pembukaan tahun ajaran baru baik di sekolah maupun madrasah dapat dimulai, namun skema pembelajaran tatap muka agar ditunda hingga kondisi benar-benar aman untuk keselamatan anak usia sekolah,” ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto lewat telepon, Minggu (7/6/2020).
Susanto menegaskan, arahan Presiden sangat penting, agar ada satu komando terkait pembukaan di tahun ajaran baru. “Memang harus dari Presiden, untuk menghindari kontroversi di masyarakat. Sebab, publik agak sedikit salah persepsi, terkait pembukaan tahun ajaran baru. Jadi ini untuk menghindari bias, mispersepsi, kontroversi, lebih baik (arahan) dari Presiden,” tegas Susanto.
Susanto menegaskan, Jumat (5/6/2020) pekan lalu, KPAI secara resmi mengirim surat kepada Presiden Jokowi yang berisi masukan dan pertimbangan kepada Presiden, terkait persiapan penerapan normal baru. “Isu perlindungan anak sangat strategis dan melibatkan lintas kementerian/lembaga, sehingga dibutuhkan upaya langsung dari Presiden, sehingga itu akan lebih efektif. Contohnya, pembukaan tahun ajaran baru di satuan pendidikan seperti pesantren. Itu ‘kan bukan hanya terkait dengan Kementerian Agama, tetapi juga menyangkut aspek kesehatan dan aspek lainnya,” kata Susanto.
Oleh karena itulah, KPAI menilai tahun ajaran baru di lembaga pendidikan pesantren dapat dimulai sesuai jadwal, namun pembelajaran tatap muka agar ditunda. Penundaan tatap muka, karena pertimbangan situasi dan kondisi di pesantren rentan terdampak dan berpotensi menimbulkan klaster baru, pandemi Covid-19.
Sebab, lanjut Susanto, berdasarkan data Kemenag, pesantren di Indonesia sangat banyak yaitu 28.194 pesantren dengan jumlah santri 18 juta anak, dan didampingi 1,5 juta guru. Sementara dari jumlah tersebut, 5 juta santri mukim. Hal ini juga berlaku bagi satuan pendidikan berbasis asrama lainnya.
Sederhanakan kurikulum
Karena itulah, terkait dengan pembukaan tahun ajaran baru pada Juli 2020 mendatang, KPAI meminta pemerintah harus memastikan anak tetap belajar secara optimal dengan melakukan sejumlag langkah strategis. Selain menyederhanakan kurikulum dengan menyesuaikan kondisi anak dalam situasi Covid-19, pemerintah hendaknya memberikan subsidi kuota internet, infrastruktur, dan fasilitas untuk belajar berbasis daring.
“Sebagai contoh, di Propinsi Papua, terdapat 608.000 siswa atau 54 persen yang tidak terlayani pembelajaran daring,” kata Susanto.
Kendati demikian, KPAI mengingatkan bahwa dalam situasi Covid-19 saat ini, harus juga diwaspadai dampak penggunaan internet bagi anak-anak. Saat ini intensitas anak mengakses internet sangat tinggi, sehingga menimbulkan potensi anak terpapar dari dampak negatif digital.
Oleh karena itu, pemerintah melalui kementerian/lembaga terkait agar memastikan adanya upaya pencegahan anak dari konten-konten negatif baik pornografi, radikalisme, dan kekerasan, serta pencegahan dan penanganan kejahatan siber. Di sisi lain terus mendorong munculnya konten-konten positif bagi anak.
Untuk mendukung optimalisasi layanan pendidikan bagi anak di desa, terutama anak usia sekolah yang terkendala akses layanan pendidikan, KPAI juga meminta pemerintah mengalokasikan sebagian dana desa.
Sementara itu, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam keterangan pers yang disampaikan secara terpisah, Minggu (7/6/2020) petang menyampaikan pandemi Covid-19 yang berdampak pada perekonomian keluarga membuat sejumlah orangtua kesulitan membayar uang sekolah (sumbangan pembinaan pendidikan) dari anaknya.
KPAI menerima keluhan dari orangtua yang anaknya yang bersekolah di sekolah swasta, tidak diijinkan pihak sekolah untuk ikut ujian kenaikan kelas karena menunggak atau belum membayar SPP.
“Kami menerima pengaduan dari orangtua yang anaknya sekolah di wilayah Jakarta, Tangerang Selatan, dan Bekasi, bahwa pihak yayasan tetap menuntut orangtua membayar penuh SPP jika anaknya ingin ikut Penilaian Akhir Semester (PAT) atau ujian kenaikan kelas,” ujar Retno.
Retno menyayangkan hal tersebut, dan menduga hal tersebut sebagai strategi pihak yayasan untuk menekan orangtua agar ada uang masuk ke kas sekolah/yayasan. “Hak Anak untuk ujian wajib dipenuhi pihak sekolah, meskipun orangtua menunggak SPP selama pandemik covid 19. Hak anak dilindungi oleh UU Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak,” tegas Retno yang menerima pengaduan selama periode 28 Mei-5 Juni 2020.
Ia menegaskan, membayar SPP memang kewajiban orangtua, namun ketika orangtua tidak bisa membayar karena kesulitan secara ekonomi, hak anak untuk ujian harus tetap dipenuhi oleh pihak sekolah. Sekolah adalah lembaga pendidikan yang bersifat sosial, bukan mencari keuntungan semata.
Retno memahami, ketika sekolah juga mengalami kesulitan keuangan karena tunggakan SPP para orangtua siswa akibat pandemi. Dalam kondisi tersebut, dana BOS dari APBN dapat dipergunakan secara fleksibel sesuai kebutuhan sekolah. “Dinas Pendidikan setempat seharusnya dapat memediasi permasalahan ini,” tambahnya.
Mediasi menurut Retno harus dilakukan, agar harapan dan kenyataan kepentingan para pihak terlindungi. Dan, pemerintah daerah sebagai pihak yang paling berwenang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Apalagi, pemda memiliki kewenangan melakukan monitoring penggunaan dana BOS, BOSDA dan bahkan perpanjangan izin operasional sekolah swasta setiap 5 tahun sekali.
Selain kasus tunggakan SPP, KPAI juga menerima pengaduan lagi terkait kebijakan penetapan zonasi di DKI Jakarta yang hanya 40 persen dari yang seharusnya minimal 50 persen menurut Permendikbud No. 44 Tahun 2019 tentang PPDB, serta pengaduan terkait penggunaan indikator seleksi berupa usia (semakin tua usia, peluang diterima semakin besar), karena ada siswa yang masih 14 tahun mau masuk ke jenjang SMA.
Pengaduan lain dari keluarga sedang menjalani isolasi di RS Wisma Atlet yang kebingungan mendaftarkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi karena mereka sekeluarga sedang diisolasi.