Maestro gandrung Poniti (71) meninggal dunia. Selama ini ia menjadi bagian dari tonggak pelestari seni gandrung di tanah Jawa.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Dunia seni budaya Banyuwangi berduka. Maestro gandrung Poniti (71) meninggal dunia seusai menjalani operasi dan perawatan intensif di RSUD Blambangan.
Poniti merupakan satu dari segelintir seniman gandrung yang masih aktif berkesenian. Poniti bukan hanya penari gandrung, melainkan gandrung profesional atau biasa disebut gandrung terop yang biasa tampil menari dan menyanyi.
Di akhir masa hidupnya, Poniti ditemani oleh Slamet Suwito atau yang biasa dikenal dengan sebutan Mameth Ndut yang juga seorang seniman. Berdasarkan penuturan Mameth, Poniti menderita infeksi di bagian mulut.
”Mak Pon (panggilan Poniti) sempat dirawat di Puskesmas Singojuruh sejak Kamis (4/6/2020). Pada Jumat (5/6/2020) Mak Pon dirujuk ke RSUD Blambangan. Mak Pon juga sempat menjalani operasi. Sekitar pukul 12.20 Mak Pon meninggalkan kita semua,” ujar Mameth di Banyuwangi, Senin (8/6/2020).
Mameth merupakan salah satu seniman yang cukup dekat dengan Poniti. Mameth dan Poniti kerap tampil bersama dalam gelaran Tabuhan Soren yang digelar secara rutin setiap Sabtu di RTH Singojuruh.
Di gelaran itu, Poniti rela tidak dibayar. Uang yang terkumpul dari hasil saweran para penonton dikelola oleh karang taruna setempat.
Adlin Mustika (24), pemuda Kecamatan Singojuruh penggagas Tabuhan Soren, menuturkan, awalnya ia dan rekan-rekannya tidak mengikutsertakan Poniti dalam acara rutin kesenian tersebut. Poniti tampaknya tidak berkenan dengan hal itu.
”Mak Pon sempat protes dan menanyakan kenapa ia tidak dilibatkan. Kami tidak melibatkan karena kami merasa tidak mampu membayar Mak Pon. Ternyata, Mak Pon bersedia tampil dan berlatih bersama kami tanpa dibayar,” ujar Adlin.
Kami tidak melibatkan karena kami merasa tidak mampu membayar Mak Pon. Ternyata, Mak Pon bersedia tampil dan berlatih bersama kami tanpa dibayar.
Adlin merasa jiwa seniman Poniti bergetar saat melihat anak-anak muda sedang berupaya melestarikan kesenian tradisionalnya. Itulah yang membuat Poniti rela tampil bersama anak-anak muda secara sukarela.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas turut berduka atas kepergian salah satu maestro gandrung Poniti. Ia mengakui para gandrung senior seperti Poniti memiliki peran penting bagi kelestarian kesenian gandrung di Banyuwangi.
”Para gandrung senior telah meninggalkan fondasi-fondasi penting bagi generasi muda. Semoga arwah Mak Pon diterima di sisi Allah dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Terima kasih atas dedikasi Mak Pon selama ini,” ujarnya.
Usia tak membatasi kecintaan Poniti pada budaya dan profesi yang telah menjadi panggilan hidupnya. Lahir dan besar di Banyuwangi, Poniti tetap setia menjadi gandrung kendati pernah merantau ke Kalimantan dan akhirnya kembali lagi ke bumi Blambangan.
Poniti belajar gandrung sejak 1963 saat masih berusia 15 tahun. Kala itu, Poniti yang kerap bermain di sawah gemar menyanyikan tembang-tembang gandrung. Tak jarang, pematang sawah menjadi ”panggung” bagi Poniti kecil bernyanyi dan menari.
Hingga suatu ketika, ada seorang pemancing yang menilai suara Poniti enak didengar. Poniti lantas disuruh menyanyikan salah satu tembang gandrung berjudul ”Sekar Jenang”. Akhirnya si pemancing menyarankan Poniti menjadi gandrung.
Hal itu membuat Poniti semakin percaya diri. Sejak lama ia memang mengagumi profesi gandrung karena ia biasa menonton gandrung. Poniti masih ingat salah satu gandrung yang kerap ia tonton ialah gandrung Mariana. Akhirnya dari Mariana pulalah Poniti belajar gandrung.
Poniti hanya butuh waktu dua minggu untuk belajar menjadi gandrung. Hingga akhirnya ia menjalani ritual ”meras gandrung”, sebuah prosesi layaknya wisuda bagi seorang gandrung. Hanya gandrung yang telah diperas yang layak tampil dalam sebuah hajatan.
Menjadi gandrung seperti Poniti tidak sekadar bisa menari. Gandrung profesional seperti dirinya juga dituntut menyanyi. Gandrung juga harus mampu tampil semalam suntuk menghibur tamu undangan.
Di masa tuanya, Poniti masih setia menjadi gandrung. Sehari-hari ia menghabiskan hari dengan tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil berukuran 3 meter x 5 meter. Dinding rumahnya masih berupa plester semen kasar tanpa cat. Beberapa pigura yang menempel di rumahnya cukup menggambarkan siapa dan bagaimana kehidupannya dahulu.
Dalam wawancara dengan Kompas, Poniti berharap gandrung bisa lestari. Ia berharap remaja Banyuwangi saat ini tidak hanya bisa menari gandrung, tetapi benar-benar menjadi gandrung yang bisa bernyanyi dan menari.
”Kalau hanya bisa menari untuk apa? Justru yang penting itu sinden yang menyanyikan karena di sana ada pitutur dan wejangan (nasihat). Tanpa lantunan syair itu, gandrung tak ada artinya,” ujarnya.