Keputusan pembukaan sekolah harus menjamin keamanan siswa, baik dari ancaman penularan Covid-19 maupun akses pemelajarannya. Normal baru pendidikan harus menjamin kedua hal itu.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Protokol kesehatan yang disusun bagi warga sekolah di SMK Kosgoro, Kota Bogor, Kamis (4/6/2020). Sekolah ini menyiapkan infrastruktur dengan protokol kesehatan dan membuat prosedur kesehatan dan jarak sosial, serta penanganan kesehatan jika terjadi kegawatdaruratan dengan pihak pusekesmas terdekat.
Pandemi Covid-19 pernah menyebabkan 199 negara menutup sekolah, baik untuk sebagian maupun seluruhnya, yang berdampak pada lebih dari 1,5 miliar siswa atau hampir 90 persen siswa di dunia termasuk sekitar 60 juta siswa di Indonesia. Seiring penurunan kasus Covid-19, sejumlah negara mulai membuka kembali sekolah-sekolah.
Berdasarkan data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), paling tidak 12 negara telah membuka kembali sekolah mereka sejak akhir April 2020. Namun, beberapa negara menutup kembali sekolah yang dibuka karena muncul kasus Covid-19 baru di sekolah yang dibuka, seperti di Korea Selatan, Perancis, dan Finlandia.
Hingga awal Juni ini, berdasarkan data perwakilan PBB untuk Anak-anak (Unicef), sebanyak 70 negara telah mengumumkan rencana membuka sekolah kembali. Di Indonesia, setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan tahun ajaran 2020/2021 tetap dimulai pada minggu ketiga Juli 2020, masyarakat kini menunggu apakah sekolah juga akan dibuka pada minggu ketiga Juli.
Kapan dan bagaimana sekolah dibuka kembali menjadi keputusan yang tidak mudah, bahkan sensitif. Membuka sekolah di tengah pandemi berisiko, tetapi tetap menutup sekolah berarti membuat sejumlah siswa tetap tertinggal karena terkendala akses internet dan akses perangkat teknologi untuk mengikuti pembelajaran daring.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres baru-baru ini meminta pemerintah dan lembaga donor untuk memprioritaskan pendidikan bagi semua anak, termasuk yang paling terpinggirkan. Dengan lebih dari separoh siswa di dunia tidak memiliki akses komputer, penutupan sekolah yang berkepanjangan akan memperburuk ketidaksetaraan pendidikan, dan ini berarti menjauhkan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) keempat untuk menjamin pendidikan yang adil dan berkualitas.
Bahkan, penutupan sekolah meningkatkan risiko anak-anak yang rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Data Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), sejak ditemukan kasus Covid di Indonesia hingga akhir April terdapat 368 kasus kekerasan dengan korban 407 anak (Kompas, 30/4/2020). Bagi sejumlah siswa, sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga menjadi tempat untuk mendapatkan perlindungan.
Sekolah juga menjadi tempat untuk mendapatkan gizi, kesehatan, dan dukungan emosional bagi sejumlah anak yang kurang beruntung. Program Pangan Dunia (WFP) memperkirakan 370 juta anak kehilangan kesempatan mendapatkan makanan bergizi yang selama ini diberikan di sekolah. Di sejumlah negara termasuk di Indonesia ada program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah.
Isolasi sosial dari teman dan guru karena penutupan sekolah untuk mencegah penularan Covid-19 juga bisa berdampak psikologis pada siswa. Kurangnya kualitas pembelajaran daring juga menambah beban psikologis anak. Tak heran jika sejumlah survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan sebagian besar anak ingin segera kembali ke sekolah.
Namun membuka sekolah bukan masalah sederhana, menimbang manfaat dan risikonya. UNESCO, Unicef, WFP, dan Bank Dunia menekankan, prioritas utama haruslah untuk melindungi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk anak-anak dan guru. Kepentingan terbaik anak-anak dan pertimbangan kesehatan masyarakat berdasarkan penilaian atas manfaat dan risiko terkait pendidikan, kesehatan, dan faktor sosial ekonomi harus menjadi pusat keputusan pemerintah untuk membuka sekolah kembali.
Karena itu, koordinasi dan komunikasi dengan orangtua, guru, siswa, dan masyarakat diperlukan untuk memahami kebijakan, pembiayaan, dan langkah-langkah operasional pembukaan sekolah. Keputusan haruslah bersifat spesifik, termasuk kapasitas sekolah untuk mengurangi risiko penularan Covid-19 dan mempromosikan perilaku sehat dengan protokol kesehatan dan jarak sosial yang ketat
Menjaga keselamatan siswa juga berarti mengurangi jumlah siswa di kelas. Apakah ini akan ditempuh dengan memberlakukan sif masuk sekolah, memprioritaskan kelompok sasaran tertentu misalnya siswa baru atau siswa kelas atas, ataukah pendekatan pembelajaran campuran (blended learning).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pengaturan jarak meja dan jumlah tempat duduk siswa yang terbatas diterapkan di SMK Kosgoro, Kota Bogor, Kamis (4/6/2020).
Keputusan juga harus memfokuskan pada proses pemulihan belajar yang tidak optimal dan bias kelas selama pembelajaran jarak jauh. Mengevaluasi hasil pembelajaran jarak jauh dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi kesenjangan harus seiring. Dukungan kepada guru untuk mengembangkan profesional mereka akan menentukan keberhasilan pembelajaran ke depan.
Dalam normal baru pendidikan, langkah-langkah yang diambil tidak hanya berbeda, tetapi harus lebih baik. UNESCO merekomendasikan, para siswa yang terpinggirkan yang paling berisiko tertinggal selama penutupan sekolah harus diprioritaskan. Perlu pendekatan pembelajaran yang fleksibel dengan memperluas akses mereka pada pembelajaran.
Meski berdampak buruk terhadap pendidikan karena penutupan sekolah, pandemi Covid-19 bisa menjadi titik balik untuk reformasi kebijakan di bidang pendidikan. Penggunaan teknologi yang massif selama penutupan sekolah harus dikembangkan untuk memperkuat pedagogi dan membangun model pembelajaran hybrid dengan mengintegrasikan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh secara daring.
Begitu sekolah dibuka kembali, kata Direktur Global Bank Dunia untuk Pendidikan Jaime Savedra, prioritasnya adalah menyatukan kembali siswa ke dalam tata kelola sekolah yang aman dengan cara yang memungkinkan pembelajaran dapat berlangsung secara optimal, terutama bagi siswa yang paling dirugikan akibat penutupan sekolah. “Ini merupakan momen penting karena merupakan landasan peluncuran normal baru yang harus lebih efektif dan adil,” kata dia seperti dikutip di laman UNESCO.