Lansia Masih Terlupakan, Perlindungan Sosial Belum Komprehensif dan Inklusif
Di tengah pandemi Covid-19, warga lanjut usia seringkali terlupakan untuk mendapatkan pelayanan yang selayaknya. Padahal, saat ini ada 1,2 juta lansia yang tidak dapat beraktivitas secara mandiri.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Setiap tahun jumlah warga lanjut usia yang miskin dan rentan terus bertambah sekitar 1 juta jiwa. Namun, hingga kini mereka belum mendapat perhatian dan perlindungan. Di tengah pandemi covid-19, belum ada perlindungan khusus untuk lanjut usia.
Padahal saat ini di antara warga lanjut usia (lansia) yang jumlahnya sekitar 26 juta jiwa, terdapat 2 juta warga lansia (usia di atas 65 tahun) yang hidup dalam kemiskinan. Sebanyak 1,7 juta lansia tidak mandiri secara kognitif, yang di antaranya terdapat 1 juta perempuan lansia.
Situasi dan kondisi lansia tersebut terungkap dalam Diskusi Daring “Mereka yang Terlupakan:Lansia dan Covid-19” yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Jumat (5/6/2020). Dalam diskusi tersebut baik pembicara maupun peserta mengakui bahwa lansia sering terlupakan, bahkan mungkin sengaja dilupakan.
Diskusi menghadirkan pembicara Maliki, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kementerian PPN/Bappenas; Mulyadi Sumarto, Dosen dan Peneliti PSKK UGM; Iwu Dwisetyani Utomo Fellow School of Demography Australian National University; dan Probosuseno, Ahli Geriatri RSUP Dr Sardjito dan Dosen FKK KMK UGM.
Maliki menyatakan, ada 16 persen perempuan lansia saat ini yang hidup sendiri. Meskipun dari sisi usia perempuan lansia jauh lebih panjang masa hidupnya dengan usia harapan hidupnya, tetapi dari usia harapan hidup sehat perempuan masih sangat mengkhawatirkan. Jika hidup sendiri, perempuan lansia sangat rentan terhadap berbagai situasi.
Saat ini sebanyak 1,2 juta lansia yang tidak dapat beraktivitas secara mandiri dan mengalami kekerasan persisten
Dari sisi kemandirian, saat ini sebanyak 1,2 juta lansia yang tidak dapat beraktivitas secara mandiri dan mengalami kekerasan persisten (terus-menerus). “Dengan efek kerja dari rumah, banyak sekali lansia yang biasanya tinggal dengan keluarga. Pada saat normal biasanya anak-anak bekerja di luar dan tiba-tiba rumah banyak orang, tentu efeknya menjadi cukup besar,” ujarnya.
Padahal dalam kondisi normal saja, terdapat 11,3 persen lansia mengalami depresi baik ringan, berat maupun sangat berat. Ketika masa pandemi dan kebijakan kerja di rumah, membuat lansia tinggal sama-sama seluruh generasi dengan ruang yang terbatas dikhawatirkan meningkatkan depresi lansia. Di sisi lain, sejumlah lansia kesepian, karena anak-anaknya tidak dapat melihat atau mengunjungi orangtuanya secara reguler menyusul pembatasan sosial.
Tak ada data kondisi riil
Sementara itu, menurut Maliki, untuk melakukan intervensi terhadap lansia, saat ini tidak ada data yang lengkap terkait kondisi riil lansia, seperti kesehatan, mental, dan perawat. Padahal untuk melakukan respon cepat dibutuhkan data lengkap.
Oleh karena itu, saat ini perlu diciptakan upaya perlindungan sosial dan adaptif bagi lansia. Selain belum mendapat perlindungan sosial yang komprehensif, saat ini lansia belum mendapatkan kebebasan finansial dalam penyaluran bantuan sosial, karena mungkin selama ini (keuangan) dipegang oleh kepala rumah tangga atau anaknya.
“Dengan adanya 1,2 juta lansia yang tidak kapabel, mereka betul-betul membutuhkan perawatan dari perawat yang sebagian besar adalah anak-anak mereka. Perlu ada penyesuaian pelayanan perawatan pada saat pandemi atau bencana,” katanya.
Terkait perlindungan sosial, Mulyadi Sumarto berpendapat, secara umum permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam distribusi perlindungan sosial adalah karena lemahnya komitmen pemerintah pada upaya mewujudkan hak sosial warga negara.”Lemahnya komitmen ini nampak pada rendahnya anggaran pemerintah pada program perlindungan sosial,” katanya.
Padahal di kawasan negara berkembang, organisasi kesehatan dunia (WHO) dan organisasi buruh internasional (ILO) berharap setiap negara menganggarkan dana perlindungan sosial. Indonesia termasuk yang paling rendah di ASEAN, bahkan lebih rendah dibanding Filipina yang dianggap lebih miskin dibanding Indonesia.
Thailand mampu menganggarkan sekitar 4,5 persen, Malaysia (hampir 4 persen), Philipina (sekitar 2 persen). Sedangkan Indonesia belum pernah menyentuh angka 2 persen. Lansia hanya menerima 200.000 per bulan karena minimnya anggaran pemerintah.
Probosuseno mengingatkan pentingnya perhatian dan perawatan terhadap lansia agar tetap sehat dan bahagia di masa tua. Hal itu sangat penting, karena saat ini banyak lansia yang terlantar. Hingga tahun 2010 ada 2.852.606 lansia yang terlantar.
Perempuan paling dominan
Adapun Iwu wisetyani menyatakan, anak perempuan cukup dominan dalam merawat lansia.Bahkan sejak kecil anak perempuan mempunyai beban untuk keluarganya, sampai dewasa dan berkeluarga pun masih menghadapi beban ganda, mengurus keluarganya sendiri, karier dan merawat orangtuanya atau mertuanya.
Situasi tersebut bisa menimbulkan konflik, terutama ketika anak perempuannya berada pada situasi ingin berkarier atau merawat orang tuanya. Perawatan lansia juga menjadi persoalan, seiring banyaknya orang muda bermigrasi ke kota. Kondisi tersebut mendorong lansia-lansia di desa untuk mandiri, dan tetap bekerja.
“Temuan utama kami menunjukkan bahwa peran anak perempuan dalam merawat orang tua mereka menjadi sangat menonjol selama lansia dalam kesehatan yang buruk, atau berada pada kondisi yang paling rentan, dan dukungan dari pasangan tidak lagi tersedia,” kata Iwu.
Meski demikian, Iwu mencontohkan, di desa ketika ada lansia yang sakit, maka keluarganya akan berembuk untuk menentukan salah satu anaknya yang akan merawat, dan biasanya pilihan tersebut jatuh pada anak perempuan, meskipun biaya ditanggung bersama.