Menimbang Risiko Paparan Covid-19 pada Anak di Sekolah
Kendati risiko penularan Covid-19 terhadap anak rendah, intensitas kontak fisik di sekolah tak dapat dihindari. Kontak fisik adalah sarana penyebaran virus korona baru. Sekolah sebaiknya tidak dibuka terlebih dulu.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati anak-anak memiliki risiko cukup rendah untuk tertular, sakit, dan meninggal akibat Covid-19, risiko lain tidak bisa diabaikan. Anak riskan menjadi pasien asimtomatik dan menularkan virus ke orang lain. Membuka kembali sekolah dinilai dapat meningkatkan risiko itu.
Ahli epidemiologi Universitas Padjadjaran, Panji Fortuna Hadisoemarto, mengatakan, intensitas kontak fisik di sekolah tidak dapat dihindari. Padahal, kontak fisik dapat menjadi sarana penyebaran virus korona baru. Hal ini merujuk pada penelitian di sebuah sekolah Katolik di Perancis yang memiliki sekitar 25 siswa per kelas. Penelitian menunjukkan bahwa ada ratusan kontak yang terjadi dalam sehari.
”Populasi usia sekolah adalah kelompok berisiko rendah tertular, sakit, atau meninggal karena Covid-19. Namun, intensitas kontak di sekolah dapat menyebabkan jumlah anak yang sakit, sakit berat, dan meninggal relatif tinggi,” kata Panji melalui seminar virtual yang digelar gerakan warga Lapor Covid-19, Kamis (4/6/2020).
Potensi anak terinfeksi dan menjadi orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 tetap ada. Menurut data di China, persentase anak sebagai OTG mencapai 28 persen, sedangkan orang dewasa sekitar 5 persen. Anak pun berisiko menularkan Covid-19, seperti ke kelompok masyarakat berusia rentan.
”Risiko dan manfaat pembukaan sekolah harus dihitung. Saya rekomendasikan agar setidaknya kita bisa menurunkan frekuensi kontak antarsiswa di kelas, misalnya mengurangi jumlah siswa atau membangun ruang kelas baru,” ujar Panji.
Anggapan bahwa anak cukup kebal terhadap Covid-19 tidak benar. Menurut anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Barat, Cissy B Kartasasmita, anak tetap rentan terhadap Covid-19, terlebih yang memiliki penyakit penyerta, misalnya asma, penyakit jantung, dan obesitas.
Menurut dia, angka rata-rata prevalensi Covid-19 pada anak adalah 1-6 persen. Namun, belum ada data yang menunjukkan angka tersebut di Indonesia. Jumlah anak sebagai OTG belum diketahui karena tes usap (swab test) tenggorokan belum menyeluruh.
”Amerika, Inggirs, dan Italia melaporkan kasus anak yang sehat mendadak sakit berat. Hasil pemeriksaan serologi virus korona baru dinyatakan positif. Artinya, anak tersebut pernah terinfeksi Covid-19. Ini menunjukkan bahwa gejala sisa Covid-19 pada anak perlu diperhatikan walau jarang terjadi secara global,” kata Cissy yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Populasi usia sekolah adalah kelompok berisiko rendah tertular, sakit, atau meninggal karena Covid-19. Namun, intensitas kontak di sekolah dapat menyebabkan jumlah anak yang sakit, sakit berat, dan meninggal relatif tinggi.
Kementerian Kesehatan mencatat per 30 Mei 2020 ada 1.851 kasus Covid-19 pada anak berusia kurang dari 18 tahun. Dari jumlah itu, setidaknya ada 29 kasus kematian.
Di sisi lain, data RS Online Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan menyatakan, jumlah kematian pada anak dengan status orang dalam pemantauan (ODP) per 22 Mei 2020 ialah 41 anak. Kematian anak berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) di periode yang sama adalah 383 anak.
Sekolah dinyatakan belum siap dibuka bagi murid dalam waktu dekat. Sebelum dibuka, sekolah harus memastikan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat dan menyediakan infrastruktur penunjang, seperti wastafel dan sabun cuci tangan.
”Kebersihan dalam kelas dan lingkungan sekolah harus dijaga. Selain itu, perlu juga penapisan suhu tubuh, memastikan kebersihan kantin dan toilet, serta menyesuaikan luas ruangan kelas dengan jumlah murid,” kata Cissy.
Guru juga diminta untuk mengawasi sejak siswa tiba, selama pelajaran berlangsung, saat jam istirahat, hingga ketika anak pulang ke rumah. Siswa juga perlu disiapkan oleh keluarganya untuk tertib menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, mengenakan masker, dan tidak melakukan kontak fisik.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menyarankan agar pembelajaran dimulai kembali sekitar Januari 2021. Sembari menunggu, guru akan diberi pelatihan tentang teknologi dan cara mengajar yang menyenangkan untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ).
”Butuh ruang untuk mengembangkan kompetensi guru di masa ini. PJJ tidak efektif karena masih ada guru yang tidak punya kemampuan di bidang teknologi. Menurut survei kami, ada 74 persen responden yang setuju bahwa PJJ membuat siswa stres,” kata Ramli.
Orangtua menolak
Pendiri komunitas Parenting Indonesia Support Group #SekolahdiRumah, Tenik Hartono, menolak memasukkan anaknya ke sekolah dalam waktu dekat. Sikap itu juga ditunjukkan oleh para orangtua murid lain yang terhabung dalam sebuah forum di Facebook.
”Lebih baik orangtua ikut terlibat mengajari anak di sekolah. Kita harus belajar lagi sebagai orangtua. Ini tugas kami mendampingi anak,” kata Tenik.
Menurut survei yang diunggah komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, di laman Facebook, ada 66 persen orangtua yang tidak setuju dengan wacana pembukaan sekolah. Survei dilaksanakan pada 26-28 Mei 2020. Ada 196.559 orangtua murid se-Indonesia yang berpartisipasi dalam survei ini.
Survei juga dilakukan pada siswa dan guru. Di survei yang menyasar siswa, ada 9.643 anak yang terlibat dan 63,7 persen di antaranya menyatakan setuju dengan wacana pembukaan sekolah. Sementara itu, 54 persen dari 18.111 guru setuju dengan wacana tersebut.