Anak Berkebutuhan Khusus Semakin Rentan Saat Pandemi
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 menambah kerentanan anak berkebutuhan khusus atau disabilitas. Ditambah lagi, tidak semua orangtua pun memahami cara menyelesaikan persoalan kerentanan yang dihadapi anak.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
Pembatasan sosial karena pandemi Covid -19 menambah kerentanan anak berkebutuhan khusus. Selain terapi, mereka semakin sulit mengikuti pembelajaran sekolah.
Pengajar Program Kelompok Belajar Anak Cerebral Palsy Pusat Rehabilitasi YAKKUM Anisa Yuliana mengungkapkan, sebelum pandemi Covid-19, anak berkebutuhan khusus atau disabilitas sudah kesulitan mengakses pendidikan yang memadai. Jumlah sekolah inklusi, sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi, menunjukkan tren penurunan setiap tahunnya.
Pada 2016, jumlah sekolah inklusi mencapai 159.002 unit dan pada 2017 langsung turun menjadi 131.937 unit. Selang setahun, jumlah sekolah inklusi kembali turun menjadi 104.931 unit pada 2018.
Penurunan itu disebabkan masih kuatnya stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus atau disabilitas.
Dia menduga, penurunan itu disebabkan masih kuatnya stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus atau disabilitas. Selain itu, orang tua anak nondisabilitas, kepala sekolah, dan guru di sekolah inklusi kadang juga memberikan tekanan buruk sehingga anak-anak berkebutuhan khusus atau disabilitas akhirnya kembali ke sekolah luar biasa (SLB).
Dari sisi tenaga pendidik, para pengajar anak berkebutuhan khusus dan disabilitas sangat terbatas baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Selama ini, pelatihan guru untuk anak berkebutuhan khusus atau disabilitas kerapkali diberikan bergiliran.
Dari sisi regulasi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 memperkuat landasan hukum anak disabilitas yang disebut dalam Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Walakin regulasi nasionalnya sudah lama, Anisa mengamati, masih banyak sejumlah pemerintah daerah belum memahami.
"Belum semua pemerintah kabupaten/kota memiliki landasan hukum melindungi hak anak berkebutuhan khusus atau disabilitas," ujarnyadi sela-sela diskusi webinar "Pemenuhan Hak Pendidikan pada Anak Disabilitas", Selasa (2/6/2020), di Jakarta. Webinar ini diselenggarakan oleh Program Peduli di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Baru lima persen
Hingga saat ini, Anisa memperkirakan baru lima persen anak berkebutuhan khusus atau disabilitas di Indonesia mengenyam bangku sekolah.
Segala tantangan tersebut masih mengikuti ketika anak berkebutuhan khusus atau disabilitas berhadapan dengan pandemi Covid-19. Media pembelajaran yang mudah diakses bagi mereka masih jarang. Pengkondisian belajar dari rumah tidak mudah dipahami orang tua.
Tingkatan disabilitas yang beragam seringkali tidak dipahami orang tua. Tingkatan disabilitas itu mempengaruhi tingkat adaptasi anak belajar.
"Begitu kegiatan belajar di sekolah pindah ke rumah, anak berkebutuhan khusus atau disabilitas cenderung bingung. Ini sepertinya sama dengan anak nondisabilitas pada umumnya. Namun, pada anak berkebutuhan khusus atau disabilitas, \'mengkondisikan\' belajar di rumah sama dengan sekolah akan rumit," kata dia.
Sejumlah rumah sakit menutup layanan fisioterapi dan terapi bagi anak berkebutuhan khusus atau disabilitas untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19. Ini berpotensi menyebabkan penurunan kemampuan anak.
Co-Founder & Center Director dari MS School & Wellbeing Center and Discovery Zone Therapy Center, Rosdiana Setyaningrum, menyampaikan, sebagian besar anak berkebutuhan khusus atau disabilitas memiliki gangguan sensorik. Apabila lama tidak terapi, hal itu akan mempengaruhi perkembangan dan kondisi psikologisnya.
Berangkat dari kompleksitas potensi kerentanan yang mungkin dialami anak selama pandemi, dia menyarankan perlunya orangtua punya group dukungan sosial (support group) sehingga mereka tidak stres. Guru, terapis, dan orangtua harus saling berkomunikasi satu sama lain. Hal itu bertujuan memetakan restriksi - restriksi yang mungkin dialami anak, lalu dicarikan solusi.
Rosdiana juga sepakat dengan pandangan Anisa yang menekankan pentingnya \'pengkondisian belajar\' di rumah. Dia menyarankan, orang tua bisa mulai memisahkan ruang bermain dan ruang belajar di rumah. Misalnya, ruang tamu dijadikan \'kelas\' belajar.
"Seandainya sekolah jadi kembali dibuka pertengahan Juli 2020, saya menyarankan agar terapi kepada anak dikedepankan dulu. Proses terapi pun harus mengacu ke protokol kesehatan. Sembari menunggu masa itu tiba, orangtua semestinya harus belajar bisa terapi anak sendiri," tutur dia.