Remaja Rentan Mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online
Kalangan remaja dan anak muda rentan mengalami kekerasan berbasis gender online di media sosial. Untuk itulah, mereka harus berhati-hati mengungkapkan identitas diri.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Seiring penguasaan teknologi di kalangan remaja dan anak muda, mereka rentan mengalami kekerasan berbasis gender online terutama yang terjadi di media sosial. Perlindungan terhadap remaja, serta kesadaran remaja untuk menjaga privasi digital sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender di dunia digital.
Kepala Sub Divisi Digital At-Risks SAFEnet Ellen Kusuma mengatakan, ada kecenderungan jumlah kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) meningkat di kalangan remaja.
“Bukan berarti orang dewasa tidak mengalami kekerasan, tetapi untuk kalangan muda, mereka lebih sering berinteraksi menggunakan media sosial dan teknologi digital. Bahkan penggunaan mobile aplikasi ponsel bisa berbeda dengan generasi di atasnya. Ini membuat remaja punya potensi tinggi mengalami kekerasan,” katanya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan layanan kesehatan ramah remaja Unala Youth, pada Senin (2/6/2020).
Dikutip dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 dalam kurun waktu 12 tahun (dari 2011 – 2019), kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen (hampir 800 persen) atau meningkat delapan kali lipat. Kekerasan terhadap anak perempuan pada 2019 melonjak sebanyak 2.341 kasus, dari tahun sebelumnya sebanyak 1.417. Sementara itu, pengaduan kasus cyber crime melambung sebanyak 300 persen, dari 97 kasus pada 2018 menjadi 281 kasus pada 2019. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban
Ellen menuturkan dirinya belum bisa menyebutkan jumlah peningkatan kasus KBGO pada remaja karena data terbaru akan dirilis pada 23 Juni 2020. Tetapi, dari laporan yang diterima Safenet sudah terlihat berbagai kasus KBGO yang sering menimpa remaja, seperti praktek doxing, atau melacak identitas seseorang di dunia maya dengan tujuan untuk menyerang dan mencari kelemahan seseorang dengan maksud dan tujuan negatif.
Contohnya, ketika ada peristiwa pelecehan seksual oleh remaja, orang-orang berbondong-bondong melacak dan mengekspos data pribadi pelaku melalui sosial media, termasuk nama lengkap, asal sekolah atau kampus, dan akun media sosialnya. Meski perbuatan pelaku tidak bisa dibenarkan, tetapi menyebarkan data pribadi pelaku dengan tujuan menghakimi dan menghukum seseorang tanpa melalui proses hukum yang berlaku juga melanggar aturan. Peristiwa lain yang sering dialami remaja adalah menjadi korban digital exhibitionism, atau melihat seseorang dengan sengaja memamerkan organ seksual melalui platform digital.
“Bukan berarti orang dewasa tidak mengalami kekerasan, tetapi untuk kalangan muda mereka lebih sering berinteraksi menggunakan media sosial dan teknologi digital. Bahkan penggunaan mobile aplikasi ponsel bisa berbeda dengan generasi di atasnya. Ini membuat remaja punya potensi tinggi mengalami kekerasan,” kata Ellen Kusuma.
Dari berbagai “modus” ini, remaja bisa mengalami dampak psikologi seperti stres dan tertekan, tidak nafsu makan yang juga kemudian mengganggu kesehatan; dampak sosial yaitu jadi suka menyendiri dan mengurung diri; dan dampak ekonomi seperti remaja yang biasanya berjualan daring terpaksa menutup akun jualan sehingga kehilangan pemasukan.
Ellen menjelaskan, tantangan utama yang dihadapi remaja dan dewasa adalah masih banyak orang yang belum paham bahwa dirinya sedang menjadi korban kekerasan berbasis gender online karena pengetahuan dasar tentang privasi, konsen, gender dan seksualitas yang masih minim. Selain itu, banyak juga yang tidak tahu akses ke lembaga yang menyediakan bantuan perlindungan.
“Edukasi tentang privasi, konsen, gender, seksualitas, dan dunia digital biasanya tidak masuk dalam kurikulum nasional sehingga pengetahuan remaja terkait hal ini, termasuk juga KBGO, tidak bisa dipukul rata,” jelasnya.
Ridwan, dari Forum Anak Kota Yogyakarta, menuturkan, kekerasan pada platform digital dialami tidak hanya oleh remaja perempuan tetapi juga laki-laki. “Kami sering mengalami data pribadi seperti foto-foto tersebar di grup komunikasi dengan tujuan untuk menjatuhkan seseorang. Selain itu adapula sindirian yang disampaikan melalui status sosmed,” katanya.
Menurut Ridwan, hal itu bisa merugikan untuk orang yang datanya tersebar, atau juga orang lain yang tidak berkaitan. “Sindiran di media sosial sering kali justru membuat orang lain yang tidak berkaitan jadi merasa tersinggung. Konten jahat yang tersebar sangat tidak menguntungkan karena membuat psikologi seseorang terganggu,” jelasnya.
Hati-hati
Ellen menjelaskan, semakin canggih teknologi maka semakin “telanjang” data tersebar di internet. Data yang tersebar itu, sifatnya abadi. “Bisa dihapus, tetapi sulit,” kata dia.
Ellen menyarankan agar remaja lebih hati-hati dalam membagikan data pribadi di internet. “Dalam membagikan citra diri di platform digital, perhatikan level keamanan dan kenyamanan kita. Ketika ingin membagikan data pribadi atau foto milik orang lain, perhatikan pula konsen (persetujuan) dari orang itu dan juga level keamanan dan kenyamanan milik orang lain,” jelasnya.
Sexual Reproductive Health Officer Unala Putri Khatulistiwa mengatakan, belum semua remaja menyadari ada pelecehan atau kekerasan berbasis gender. “Beberapa anak muda sudah sadar ada kekerasan ketika melihat video atau foto mengenai perempuan yang dilecehkan tersebar di dunia maya. Tetapi, masih banyak pula yang tidak menyadari dan menganggap pelecehan itu sesuatu yang lucu dan layak ditertawakan,” ujarnya.