Bagi sebagian masyarakat, seperti di Manado, situasi pandemi terasa agak menyiksa karena mengubah gaya hidup dan kebiasaan selama ini. Tapi, kebiasaan baru harus dijalani di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memberikan dampak dalam berbagai kehidupan masyarakat, termasuk mengubah kebiasaan dan gaya hidup. Bagi sejumlah orang, apalagi masyarakat di wilayah Indonesia bagian timur, menjalani normal baru tentu saja tidak mudah. Bagi orang Manado, misalnya, pembatasan sosial dan fisik menjadi tantangan tersendiri.
Betapa tidak. Semenjak pandemi, ada banyak hal yang hilang dalam kehidupan bermasyarakat di daerah yang terkenal dengan nyiur melambai ini. Di Manado dan daerah-daerah Minahasa lebih terasa lagi. Semenjak pembatasan sosial, seiring bertambahnya jumlah warga yang terkena Covid-19, praktis tidak ada lagi kebiasaan kumpul-kumpul.
Bagi orang Manado, situasi pandemi terasa agak menyiksa karena mengubah gaya hidup dan kebiasaan selama ini. Sebab, pandemi Covid-19 bikin orang Manado selama beberapa bulan ini berhenti bapesta deng bahodeng (pesta dan bergaya).
Jangankan menghadiri pesta dan syukuran-syukuran, untuk ”bakudapa” saja, saat ini sangat sulit. Bahkan, ketika ada orang meninggal pun, tidak banyak yang datang karena takut berkumpul dan tertular virus korona baru.
Padahal, yang namanya orang Manado dalam hidup keseharian hampir tak pernah sepi dari kumpul-kumpul. Momen apa saja bisa jadi alasan berkumpul, seperti hari ulang tahun, hari perkawinan, peringatan kematian, lulus sekolah.
”Sudah jo bacirita pesta sekarang, sedang ada orang mati saja bukang lantara Covid-19, torang kurang tako pigi (jangan lagi bicara pesta sekarang, sedangkan ada orang meninggal bukan karena Covid-19, kami takut pergi melayat),” ujar Rolly Lumenta (68), warga Ongkaw II, Sinonsayang, Minahasa Selatan, Minggu (31/5/2020).
Hampir tiga bulan ini tidak ada lagi pesta-pesta atau kumpul-kumpul, bikin ”mati gaya” bagi para suz (sapaan untuk saudara perempuan) dan nona-nona (sapaan untuk perempuan muda) di Manado. Satu-satunya momen untuk berdandan, setidaknya berpakaian rapi, saat ini adalah waktu beribadah. Meskipun berlangsung secara daring dari rumah, bagi jemaat (umat) gereja, saat beribadah harus rapi.
Saat beribadah dari rumah, semua tetap pakai baju rapi, tapi tidak menggunakan gaun/dress yang biasa dipakai saat ke gereja. Bagi ibu-ibu dan perempuan muda, momen ini bisa dipakai untuk setidaknya memoles wajah dengan bedak tipis dan berdandan tipis.
”Masih bagaya sadiki, maar ndak rupa kalau ke pesta atau ke gereja. (Tetap berdandan, tapi tidak seperti ke pesta dan gereja). Untuk sementara yang namanya make-up, apalagi minyak wangi, simpan dulu, nanti pakai kalau sudah bisa keluar rumah,” kata Sriany Wongkar (27), warga Teep, Amurang Barat, Minahasa Selatan.
Tidak hanya urusan berdandan, pandemi juga mengunci kebiasan orang-orang Manado. Salah satunya kebiasaan cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri) dan berangkulan saat bertemu teman, saudara atau kerabat.
Saling tahan diri
Situasi ini tidak hanya dirasakan bagi perempuan di Manado atau di daerah-daerah di tanah Minahasa, tetapi juga bagi kawanua (sebutan orang Manado di perantauan). Pembatasan sosial mungkin saja terasa ”menyiksa” karena saat bertemu mereka harus menahan diri cipika-cipika, dan bersentuhan secara fisik. Semua itu untuk keselamatan dan keamanan diri masing-masing.
”Saya pernah ke gereja mengurus pembagian sembako. Saat bertemu teman-teman pelayanan, sangat ingin sekali cipika-cipiki. Maar langsung dapa inga nimbole, karena musim korona. Akhirnya kurang baku tahan diri. (Tapi langsung teringat jangan lakukan itu karena musim korona. Akhirnya saling menahan diri,” ujar Novy Lumanauw (53), warga Kawanua, yang sudah hampir 30 tahun merantau di DKI Jakarta, Senin (1/6/2020).
Novy yang juga aktivis gereja GPIB Siloam, Jakarta, mengatakan, sejak 22 Maret 2020, dia diam di rumah, karena selain kerja dari rumah, aktivitas gereja pun praktis tidak ada. Beribadah pun dari rumah secara daring. Maka, tidak ada lagi alasan untuk berdandan. Kecuali saat ibadah daring dari rumah, dia berpakaian rapi. Tapi tentu saja penampilannya berbeda jauh ketika ke gereja atau bekerja, cukup pakai baju rapi dan pakai sandal jepit.
”Karena di rumah, ya so nyanda bahodeng. Biasa ke gereja pakai sepatu hak tinggi, baju gagah, dengan babedak, ba semengken, dan pake garis kening. Maar samua itu kurang jadi kenangan, gara-gara korona (karena hanya di rumah, jadi sudah tidak bisa lagi bergaya. Biasa ke gereja pakai sepatu hak tinggi, baju bagus, pakai bedak, lipstik, dan alis kening. Tapi semua itu hanya tinggal kenangan karena korona),” kata Novy.
Ada lagi kebiasaan yang hilang saat pandemi Covid-19, biasanya Novy senang kongko dengan teman-temannya di mal atau restoran. Sekarang semuanya berhenti, semua berganti dengan komunikasi virtual. Dan itu terasa tidak lengkap bagi Novy.
Tidak hanya orang Manado, pembatasan sosial/fisik di masa pandemi juga membuat tidak nyaman bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan kumpul-kumpul.
Tapi bisa jadi, sesungguhnya pandemi Covid-19, dan sekarang memasuki kehidupan normal baru, memberi perubahan yang lebih baik, karena setidaknya bisa ”berhemat” atau menabung karena sementara ini tidak ada pesta-pesta. Beberapa orang Manado mengungkapkan diam di rumah ternyata ”ada juga depe hikmah” (ada juga hikmahnya). Ha-ha-ha.