Saatnya untuk “Panen Raya” atau Justru “Gagal Panen”
Kegiatan yang terpusat di rumah selama pandemi Covid-19 ini merupakan momen untuk memperkuat ketahanan keluarga. Menjaga ketahanan keluarga berarti menjaga ketahanan masyarakat dan pada akhirnya ketahanan negara.
Oleh
Yovita rika
·4 menit baca
Kegiatan yang terpusat di rumah pada masa pandemi Covid-19 sejatinya memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mempererat hubungan antara anggota keluarga. Tersedia waktu lebih banyak untuk melakukan kegiatan bersama, mengganti waktu yang selama ini hilang karena masing-masing anggota keluarga mempunyai kesibukan di luar rumah.
“Dengan di rumah saja, kita (keluarga) sedang ‘panen raya’ dalam keluarga, bonding (ikatan emosional yang kuat) orang tua dan anak karena orang tua yang selama ini sibuk bekerja menjadi lebih terlibat dalam kegiatan anak,” kata Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama yang juga psikolog keluarga, Alissa Wahid, ketika dihubungi Kompas, Kamis (14/5/2020).
Namun sebaliknya, kata Anissa, di rumah saja bisa berarti munculnya konflik baru atau memperuncing konflik yang terjadi sebelumnya antar anggota keluarga, terutama antara suami dan istri. “Bisa gagal panen bagi keluarga yang fundamentalnya memang tidak kuat. Ibaratnya, benihnya bukan benih yang baik,” kata dia.
Kondisi tersebut tak jarang berujung pada kekerasan di dalam keluarga. Psikolog Anak Seto Mulyadi mengatakan, masalah ekonomi yang dihadapi orang tua di masa krisis akibat pandemi ini bisa mengakibatkan orang tua mudah emosi yang membuat anak tertekan, dan tak jarang pula memicu perceraian.
Sebanyak 95 persen keluarga mengalami stress akibat pandemi dan pembatasan sosial (Survei BKKBN)
Survei yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara daring pada April-Mei 2020 terhadap lebih dari 20.000 keluarga di Indonesia menunjukkan, sebanyak 95 persen keluarga mengalami stress akibat pandemi dan pembatasan sosial. Masalah ekonomi, suasana ketidakpastian, hingga pembatasan ruang gerak dan berekspresi menimbulkan tekanan.
Dan, karena hubungan yang tidak setara, stress yang meningkat seringkali mengakibatkan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat, selama 14 Maret 2020 hingga 22 April 2020 terdapat 105 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebanyak 67 di antaranya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Ada kekuatiran, kata Alissa, kasus perceraian meningkat akibat pandemi ini. Selama ini, angka perceraian di Indonesia termasuk tinggi, sekitar 1.000 kasus per hari. “Belum ada datanya, tetapi sudah banyak laporan (kasus perceraian di masa pandemi),” kata Alissa.
Adaptasi
Psikolog klinis dalam bidang konseling perkawinan Sawitri Supardi Sadarjoen mengatakan, semua orang harus menyesuaikan diri dalam kenormalan baru akibat pandemi Covid-19 ini, tak terkecuali suami istri dalam keluarga. Jika selama ini rata-rata 8-9 jam suami istri terpisah karena salah satu atau dua-duanya bekerja di luar rumah, kini hampir setiap waktu selalu bersama.
“Dalam kondisi seperti ini, butuh kemampuan adaptasi dari masing-masing, lebih mencermati apa yang dilakukan pasangan. Masalah muncul karena kondisi ini membuka peluang untuk melihat hal-hal yang biasanya tidak terlihat, yang kurang pas, sehingga memicu konflik,” kata Sawitri diskusi daring bertema Merawat Perkawinan di Masa Covid-19 yang diselenggarakan Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia bersama Penerbit Buku Kompas pada Sabtu (16/5/2020).
Diskusi tersebut sekaligus bedah buku karya Sawitri yang berjudul “Merawat Perkawinan, Menyikapi Badai Rumah Tangga” terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Sawitri yang diterbitkan dalam rubrik Psikologi di harian Kompas. Buku ini mencakup segala sisi masalah suami istri yang melibatkan anak dan pihak ketiga, mulai dari keluarga hingga atasan di kantor.
Untuk menyelesaikan permasalahan suami-istri, kata Sawitri, harus dimulai dari usaha untuk saling introspeksi diri dan menilai perilaku diri (self evaluation), dan waktu yang tepat adalah sebelum tidur selama sekitar 10-15 menit. Masing-masing pihak mengevaluasi perbuatan atau perilaku selama sehari.
“Tanpa itu kita tidak bisa memilah mana perilaku yang pas dan mana yang tidak pas. Perilaku yang kurang positif harus dihindari ke depan, demi ketahanan keluarga yang dibina, jika ingin keluarga bertahan dan menjadi keluarga yang utuh,” kata dia.
Jika upaya itu sudah dilakukan tetap tidak membuahkan hasil, atau bahkan tidak bisa melakukan evaluasi diri, berarti pasangan suami istri itu membutuhkan bantuan orang lain, dalam hal ini konselor profesional. Perceraian bukan solusi terbaik, yang harus dilakukan adalah evaluasi menyeluruh.
Sebagai agen pembangunan, keluarga harus dijaga ketahanannya. Ketahanan keluarga menentukan ketahanan masyarakat dan pada akhirnya ketahanan negara. Sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Kopenhagen, tujuan dan sasaran pembangunan sosial membutuhkan upaya terus-menerus untuk mengurangi dan menghilangkan sumber utama tekanan sosial dan ketidakstabilan keluarga dan masyarakat.