Jadilah ”Laki-laki Baru”, Jangan Takut Tinggalkan Budaya Patriarki
Bagaimana mengatasi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT dengan korban perempuan? Salah satunya, dengan cara mengubah cara berpikir laki-laki agar lebih menempatkan perempuan, terutama istri, dengan penuh penghargaan.
Kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi momok bagi perempuan. Namun, hanya sedikit perempuan yang bisa keluar dari situasi buruk itu. Meski berulang kali mengalami kekerasan, mayoritas mereka kembali lagi kepada pasangannya sehingga lingkaran kekerasan pun berlanjut. Perlu mendorong laki-laki untuk meninggalkan budaya patriarki.
Dwi Sujatmiko (35), warga Dusun Dringo, Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah seorang petani sekaligus peternak.
Selama ini dia berpikir bahwa laki-laki adalah pemimpin yang berkuasa atas perempuan. Laki-laki atau suami adalah pengambil keputusan dalam keluarga, dan istri harus mengikutinya. Posisi suami berada satu tingkat di atas istrinya. Urusan pekerjaan domestik dilimpahkan ke tangan perempuan.
Namun, itu pandangan tujuh tahun silam. Kini, perspektif yang sangat lekat dengan budaya patriarki itu sudah berubah. Dia memilih menjadi laki-laki baru, meninggalkan ”zona nyaman” yang selama ini menempatkan laki-laki dalam relasi kuasa atas perempuan.
”Kalau ingat zaman dulu, bagaimana laki-laki memperlakukan pasangannya, sebenarnya saya malu,” ujar Sujatmiko saat diminta memberi testimoninya dalam diskusi webinar ”Beradaptasilah dengan Krisis: Keluarga di Tengah Pandemi Covid-19”. Diskusi itu digelar Rifka Annisa dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumat (15/5/2020).
Bagaimana Sujatmiko berubah? Lelaki itu menikah tahun 2010. Pada akhir tahun 2013, tanpa sengaja dia mengikuti ”Kelas Ayah”. Ini adalah program yang diselenggarakan Rifka Annisa, organisasi nonpemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Lelaki itu merupakan angkatan pertama.
Seusai mengikuti Kelas Ayah, Sujatmiko mulai membangun komitmen dengan istrinya, Rina Dwi Wajyuni (35), untuk mengubah cara hidup mereka selama ini. Laki-laki itu tidak sungkan berbagi peran saat berada di rumah. Apalagi, Rina kemudian mengikuti ”Kelas Ibu”, yang juga dihelat Rifka Annisa.
Sejak itulah urusan memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, termasuk mencuci dan menyetrika pakaian, juga mengurus anak, bukan lagi pekerjaan yang ”tabu” bagi Sujatmiko. Semua dikerjakannya, tanpa berpikir itu tugas istri atau suami.
”Dulu saya nyaman dengan budaya patriarki. Pokoke maunya sendiri, wong lanang menangan dewe. Soal apa pun, enggak pake rembukan. Pokoke istri saya harus nurut (Pokoknya maunya sendiri. Laki-laki menang sendiri. Soal apa pun, tidak berembuk. Pokoknya istri harus ikuti),” ujar Sujatmiko dalam obrolan lewat telepon dengan Kompas, Minggu (17/5/2020).
Baca juga: Budaya Patriarki Masih Hambat Kesetaraan Jender
Tantangan dari lingkungan
Menjadi ”laki-laki baru” bagi Sujatmiko ternyata tidak semulus yang dia bayangkan. Dia sempat kesulitan membicarakan dengan istrinya. ”Lucu juga, karena saya harus nyari cara bagaimana ngomong ke istri. Saya sempat ketakutan, tetapi kami berkomunikasi dan membangun komitmen baru, dan peran domestik langsung dipraktikkan. Semua pekerjaan di rumah bisa saya kerjakan. Cuma kalau urusan menyetrika, saya belum mahir, enggak telaten,” tuturnya.
Tantangan kemudian datang dari lingkungan tempat tinggal yang masih sangat kental dengan budaya patriarki. Perubahan Sujatmiko malah dianggap aneh oleh masyarakat sekitar. Bahkan, mertuanya yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya sempat ikut heran dengan perubahannya. ”Dulu awal-awal ketika saya menjemur pakaian atau mengepel, ada yang bilang aku kayak yang di film-film itu loh, suami-suami takut istri,” ucapnya.
Bagi Sujatmiko, proses perubahan menjadi laki-laki baru atau ayah seperti sekarang adalah buah dari ikut Kelas Ayah. Padahal, di awal ikut program itu, dia justru sempat tidak menerima konsep-konsep kesetaraan jender dan materi-materi yang diterimanya.
”Awal-awal waktu membahas masalah laki-laki harus menjadi pemimpin itu kodrat apa enggak, aku selalu ngeyel (bantah), lah wong tidak sesuai dengan yang saya jalani selama ini. Tetapi, setelah itu, kok, makin menarik,” ujar Sujatmiko yang menjadi role model bagi masyarakat dan menjadi fasilitator Kelas Ayah di desanya.
Staf Yayasan Rifka Annisa Niken Anggrek Wulan sedang memberi penjelasan mengenai kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT kepada pengunjung dalam kegiatan Pasar Sepaham yang digelar FISIP UGM Yogyakarta, Sabtu (23/11) sore. Pengurangan masalah KDRT tanggungjawab semua komponen masyarakat.Baca juga: Perempuan Masih Rentan Jadi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Mencegah KDRT
Program Kelas Ayah digagas Rifka Annisa dan Rutgers sejak 2012 setelah melihat 80 persen perempuan korban kekerasan adalah akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Umumnya korban memilih kembali lagi ke pasangannya.
”Hanya sedikit yang memilih jalur litigasi untuk bercerai maupun melaporkan kasusnya kepada kepolisian karena berbagai dinamika dan kondisi psikologis yang dihadapi para korban,” ujar Suharti, pengurus Rifka Annisa, yang juga anggota Forum Pengada Layanan (FPL) untuk perempuan dan anak korban kekerasan.
Ketika korban kembali pada pasangan (suaminya), perlu ada intervensi serius karena mereka rentan mengulangi siklus kekerasan. Maka, Kelas Ayah, yang disusul Kelas Ibu dan kelas untuk remaja laki-laki dan perempuan, digelar di desa-desa.
Awalnya, Kelas Ayah menargetkan memberi konseling bagi laki-laki, pelaku kekerasan, terutama KDRT. Namun, peserta yang datang sedikit. Programnya kemudian dikembangkan dengan mencakup pencegahan di tingkat komunitas untuk mengubah pola relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan melalui pendekatan jender transformatif.
”Kami menyasar akar persoalan kekerasan terhadap perempuan, yaitu ketimpangan jender antara laki-laki dan perempuan. Kelas ayah dan ibu melibatkan pasangan suami dan istri muda, yang usia perkawinan masih di bawah 10 tahun,” papar Suharti, Direktur Rifka Annisa pada periode sebelumnya.
Menurut Manajer Divisi Pengorganisasian Masyarakat Rifka Annisa, Nurmawati, program Kelas Ayah yang dimulai sejak tahun 2013 diikuti peserta dari beberapa desa di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertemuan berlangsung 12 kali dalam setahun.
”Sudah lebih dari 1.000 peserta yang mengikuti kelas ayah, ibu, remaja laki-laki dan perempuan,” kata Nurmawati.
Di Kelas Ayah, para laki-laki mendapat materi terkait konsep diri, yakni bagaimana menjadi laki-laki, memahami seks, jender, dan seksualitas, potret laki-laki dan budaya patriarki, serta jender dan mainan. Ada juga soal pengasuhan, bagaimana menjadi ayah dan pengasuh, serta pengasuhan anak seperti apa sesuai tingkat usia.
Para ayah atau laki-laki diajak kembali membangun relasi yang setara dalam keluarga, dalam bentuk hubungan yang sehat tanpa kekerasan, komunikasi sehat, dan mengelola stres dan rasa marah, berbagi peran dalam pekerjaan rumah tangga. Mereka juga dilatih untuk merencanakan keluarga, termasuk tentang kesehatan reproduksi.
Di Kelas Ayah disediakan ruang yang aman dan nyaman bagi para laki-laki untuk bercerita dengan pendekatan reflektif. Kelas tidak menghakimi, tetapi menanyakan ulang kepada diri mereka sendiri, tentang perilakunya selama ini dan apa dampak negatif bagi keluarga, termasuk istri dan anak.
”Dari situ banyak refleksi yang muncul. Sering kali di Kelas Ayah kami menemukan banyak laki-laki yang menangis. Ada yang bilang, oh ternyata yang mereka lakukan selama ini salah, ternyata ketika bisa berbagi pekerjaan dengan pasangan itu bisa lebih membahagiakan,” kata Suharti.
Mengacu pada pengalaman Sujatmiko, cara berpikir patriarki dapat diubah. Pekerjaan rumah selanjutnya, membongkar norma-norma tradisional yang sarat dengan semangat patriarki, dengan memandang laki-laki sebagai pemimpin di atas perempuan.