Industri Perbukuan Nasional Berada di Persimpangan Jalan
Karakteristik digital menimbulkan dilema bagi industri perbukuan nasional. Peluang bisnis baru terbuka lebar. Akan tetapi, di sisi lain, pelaku industri dihadapkan pada tantangan praktik ilegal yang kompleks.
Oleh
Mediana & M Ikhsan Mahar
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perbukuan Indonesia berada di persimpangan. Peralihan ke digital yang membawa peluang positif belum digarap maksimal, sementara praktik ilegal dan permasalahan semakin kompleks. Kini, situasi kian rumit ketika pandemi Covid-19 membuat toko buku tutup dan penjualan buku merosot.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Pusat Rosidayanti Rosalina, dalam diskusi virtual ”Riwayat Buku dan Kita: Dulu, Hari Ini, dan Nanti”, Minggu (17/5/2020), di Jakarta, mengatakan, sejak 2015, industri perbukuan di Indonesia mendapat dukungan nasional. Dukungan terhadap industri datang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sekaligus Badan Ekonomi Kreatif yang sekarang bernama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Kemdikbud mendukung buku pelajaran, sedangkan Kemenparekraf buku umum. Kegiatan-kegiatan literasi bermunculan di hampir semua daerah. Kode pengidentifikasian buku atau ISBN yang dikeluarkan naik, begitu pula dengan anggota Ikapi.
Diskusi virtual ”Riwayat Buku dan Kita: Dulu, Hari Ini, dan Nanti” diselenggarakan untuk memperingati Hari Buku Nasional tahun 2020. Diskusi digelar oleh Perkumpulan Literasi Indonesia. Hari Buku Nasional bertepatan dengan didirikannya Perpustakaan Nasional.
Namun, memasuki tahun 2020, peluang-peluang positif yang sudah tercipta di tahun sebelumnya dan semestinya bisa dioptimalkan justru terkendala adanya pandemi Covid-19. Dia menyebut berdasarkan survei Ikapi, lebih dari 50 persen anggota mengalami penurunan penjualan. Penurunannya pun ada yang menyentuh hampir setengah dari hari normal. Produktivitas industri buku tergerus. Pemutusan hubungan kerja di beberapa penerbit terjadi. Kondisi ini kemungkinan juga terjadi di sektor industri lainnya.
Mengubah perilaku bisnis ke ranah digital menjadi satu-satunya cara yang bisa diambil di tengah kondisi pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Rosidayanti menyampaikan, sejak 2015, penerbit anggota Ikapi telah mulai melakukan produksi dan penjualan buku secara dalam jaringan. Namun, anggota yang merintis baru sedikit. Omzetnya pun kalah besar dibandingkan dengan penjualan buku secara fisik. Namun, berdasarkan survei yang baru-baru ini dilakukan Ikapi, hasilnya hampir 75 persen anggota telah menjual buku secara daring. Kendati demikian, omzetnya pun belum besar.
”Kami berhadapan dengan penjualan ilegal di pasar virtual, seperti buku bajakan,” katanya.
CEO Aksaramaya Lasmo Sudharno menyampaikan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, buku digital menjadi punya dasar hukum. Dalam UU itu, buku disebut sebagai karya tulis yang diterbitkan dalam bentuk cetak dan elektronik. Pengembang buku elektronik berhak mendapatkan akses dan pembinaan berusaha, membentuk himpunan organisasi usaha, dan mendapatkan imbalan jasa. Pengembang buku elektronik wajib memiliki izin usaha, menjaga kerahasiaan dan melindungi naskah buku yang didigitalkan, dan menerapkan manajemen hak digital.
Dia menyebutkan, salah satu permasalahan transformasi buku fisik ke digital adalah konten mudah dialihmediakan, diubah, dan diganti sehingga praktik ilegal terjadi di mana-mana. UU No 3/2017 menjadi dasar hukum buku digital. Teknologi digital untuk melindungi hak kekayaan intelektual yang juga ikut berkembang seiring pasar daring sebenarnya bisa dioptimalkan untuk menekan praktik ilegal.
Lasmo menekankan, buku digital mendorong pergeseran cara pandang secara menyeluruh terhadap industri perbukuan, mulai dari tata letak, naskah, editing, sampai kanal pendistribusian. Teknologi analisis data berukuran besar sebenarnya dapat dioptimalkan untuk mengetahui kapan naskah buku layak cetak dan menemukan pembaca yang tepat.
Sejak 2014, Aksaramaya bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional, penerbit, dan dinas perpustakaan di daerah untuk enkripsi konten buku fisik ke format digital. Aksaramaya juga membantu pengembangkan layanan perpustakaan secara daring.
”Tantangan pengembangan buku digital adalah industri perbukuan baru sebatas mengubah format fisik ke digital. Buku digital seharusnya lebih jauh dari itu, yakni konten sesuai tuntutan perubahan perilaku membaca. Pembaca sekarang suka konten buku kaya ilustrasi dan audiovisual,” ujarnya.
Pengelola Sahabat Gorga, Yona Primadesi, mengemukakan, buku digital telah berkembang lebih maju di negara lain. Tahun 2007, misalnya, Amazon sudah mengembangkan Kindle, perangkat untuk membaca buku digital atau e-reader. Pelaku industri permainan pun ikut masuk ke industri buku digital.
”Sejumlah warga di dunia menyadari buku digital lebih efisien dan bisa dibawa ke mana-mana,” ujarnya.
Yona juga mengatakan pentingnya menganalisis manfaat pengalaman membaca sehingga pembahasan buku digital tidak melulu berkutat pada akses infrastruktur. Ini dikarenakan muncul isu bahwa orang hanya bisa tahan membaca buku digital selama 15 menit.
Ketua Perkumpulan Literasi Indonesia Wien Muldian menyampaikan pendapat senada dengan Lasmo dan Yona. Mengembangkan buku digital baru sebatas memindahkan konten buku fisik ke digital. Padahal, banyak peluang bisa digarap, seperti penerbit membina komunitas atau klub pembaca dari penulis populer di ranah virtual.
Dia mengamati, persoalan pasar digital buku amat kompleks. Ada sejumlah pihak yang berlatar belakang bukan penerbit dan profesi penulis, tetapi kini mudahnya menulis sampai menerbitkan buku secara mandiri. Lalu, buku itu mengantongi ISBN dengan mudahnya dan dijual secara daring. Ditambah lagi, muncul percetakaan yang mau menerima cetak dalam volume sesuai permintaan.
Koordinator Books for Indonesia dan Program Let\'s Read di The Asia Foundation, Aryasatyani Sintadewi, membenarkan banyak peluang bisa digarap oleh industri perbukuan nasional, apalagi setelah keluar UU No 3/2017. Salah satunya adalah pendistribusian buku anak-anak menjadi lebih mudah dan efisien. Dia mencontohkan pengalaman di laman Let\'s Read yang mengakomodasi buku bacaan dengan aneka topik dan bahasa untuk anak-anak usia sampai kelas IV sekolah dasar. Orangtua pun tidak harus registrasi dulu.
Candra Gautama, editor senior Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), mengungkapkan, penjualan buku menurun drastis dalam empat bulan awal 2020 sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Ia mengungkapkan, pada Januari, penjualan buku menyumbangkan 98 persen pendapatan KPG, kemudian menurun menjadi 85 persen pada Februari.
Penurunan kembali terjadi ketika kasus Covid-19 terjadi di Indonesia pada Maret. Pada momen itu, keuntungan penjualan buku hanya 55 persen. Lalu, kemerosotan tajam terjadi pada April dengan angka keuntungan hanya 27 persen ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masif dilakukan.
Dampak Covid-19 juga terjadi bagi penjualan secara daring. Peningkatan penjualan daring KPG juga mengalami penurunan pada periode Februari hingga April. Pada Februari peningkatan penjualan daring mencapai 1.000 persen, kemudian menurun menjadi 300 persen pada Maret, dan 180 persen pada April.
Adapun sejumlah buku terbitan KPG yang terlaris di antaranya Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini karya Marchella FP, Sapiens versi bahasa Indonesia karya Yuval Noah Harari, dan Laut Bercerita karya Leila S Chudori.
”Industri buku juga mengalami kerontokan karena kultur membaca belum tumbuh di masyarakat kita sehingga ketika Covid-19 berdampak pada bidang ekonomi otomatis buku menjadi barang tersier. Tetapi, kita melihat kondisi pandemi ini menghadirkan tantangan prioritas bagi industri buku, yaitu agar bisa survive dan menyiapkan manusia sebagai human capital,” ujar Candra, Minggu (17/5/2020), di Jakarta.
Menurut dia, kebiasaan baru manusia untuk beraktivitas dari rumah hingga menjaga jarak sosial akan membentuk kebiasaan baru yang memerlukan waktu satu tahun untuk menghadirkan kehidupan ”normal baru”. Atas dasar itu, kata Candra, industri buku juga akan menyesuaikan diri untuk menghadirkan gagasan-gagasan segar yang dibutuhkan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan di masa mendatang.
”Kita tengah menyiapkan mental secara industri dan personal dengan kebiasaan kehidupan baru. Oleh karena itu, kita berambisi agar industri buku bisa menjadi king of content yang mampu menghadirkan informasi yang jernih serta menjadi gelanggang kerja kreatif dan kebaikan,” kata Candra.