Hari Buku Nasional, Minggu, 17 Mei 2020, diperingati saat pandemi Covid-19. Antisipasi pasar yang lesu dan toko buku tutup, penerbit genjot penjualan melalui jaringan internet atau daring.
Oleh
Mediana/ M Ikhsan Mahar / Ilham Khoiri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri perbukuan Indonesia mendapat tekanan dan tantangan berat saat pandemi Covid-19, terutama akibat pasar yang lesu dan toko buku tutup. Untuk mengantisipasi pelemahan ini, para penerbit berusaha menggenjot penjualan buku lewat jaringan internet atau daring.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Pusat Rosidayanti Rosalina, dalam diskusi virtual ”Riwayat Buku dan Kita: Dulu, Hari Ini, dan Nanti” di Jakarta, Minggu (17/5/2020), mengatakan, berdasarkan survei Ikapi, lebih dari 50 persen anggota mengalami penurunan penjualan sampai hampir 50 persen dibandingkan hari normal. Produktivitas industri buku tergerus. Pemutusan hubungan kerja terjadi di beberapa penerbit.
Candra Gautama, Editor Senior Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), mengungkapkan, penjualan buku menurun drastis dalam empat bulan awal 2020. ”Industri buku mengalami kerontokan. Kultur membaca belum tumbuh kuat di masyarakat. Ketika Covid-19 berdampak pada bidang ekonomi, otomatis buku menjadi barang tersier (bukan utama),” katanya.
Direktur Borobudur Agency-Ikapi Thomas Nung Atasana menyatakan, pandemi memukul telak industri buku. Sebagian penerbit terpaksa ”merumahkan” karyawan karena tidak sanggup membayar gaji. Sebagian lain berhenti menerbitkan buku baru, hanya fokus pada penjualan produk lama. Tenaga redaksi didorong membantu promosi dan pemasaran.
Untuk mengatasi situasi ini, banyak penerbit menggenjot penjualan buku secara daring. Namun, saat ini omzetnya masih di bawah penjualan fisik. ”Penjualan daring meningkat pada beberapa penerbit yang sudah punya layanan penjualan daring meskipun tidak signifikan capaiannya,” katanya.
Memperingati Hari Buku Nasional di tengah pandemi Covid-19 ini, lanjut Nung, sungguh merupakan momentum yang tepat untuk berefleksi. Penerbit perlu merekonstruksi model bisnis macam apa yang memungkinkan industri penerbitan buku bertahan dan mungkin berkembang pascapandemi atau beriringan dengan pandemi.
Cara lain untuk bertahan adalah dengan mengembangkan buku digital. CEO Aksaramaya Lasmo Sudharno menyampaikan, kini buku digital punya dasar hukum, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. UU itu menyebut buku sebagai karya tulis yang diterbitkan dalam bentuk cetak dan elektronik.
Namun, penerbitan buku digital mesti dibarengi pembaruan cara pandang industri perbukuan, mulai dari tata letak, naskah, editing, sampai kanal distribusi. ”Konten sesuai tuntutan perubahan perilaku membaca,” ujarnya.
Menurut pengelola Sahabat Gorga, Yona Primadesi, buku digital berkembang maju di negara lain. Tahun 2007, misalnya, Amazon mengembangkan Kindle, perangkat membaca buku digital atau e-reader. Pelaku industri permainan pun masuk ke industri buku digital. ”Sejumlah warga di dunia menyadari buku digital lebih efisien dan bisa dibawa ke mana-mana,” katanya.
Koordinator Books for Indonesia dan Program Let’s Read di The Asia Foundation Aryasatyani Sintadewi melihat distribusi buku digital lebih luwes. Di laman Let’s Read, contohnya, tersedia aneka topik dan bahasa buku anak-anak. Orangtua dapat mengaksesnya tanpa harus registrasi dulu.
Kampaye baca buku
Bagi pegiat industri buku sekaligus CEO Reborn Initiative M Deden Ridwan, Hari Buku Nasional saat pandemi Covid-19 patut dijadikan momen kampanye membaca buku. Ketika pembatasan sosial diterapkan dan warga di rumah saja, para pelaku industri buku dapat menggiatkan membaca buku.
”Ada penerbit buku yang memanfaatkan kondisi wabah dengan menggelar lomba foto membaca buku di rumah. Ini sangat kreatif sekaligus menunjukkan bahwa industri perbukuan itu bukan hanya peristiwa ekonomi, melainkan juga peristiwa budaya,” katanya.