Peran keluarga sangat sentral dalam penanganan krisis pandemi Covid-19. Selain memberikan layanan kesehatan dan bantuan ekonomi, pemerintah perlu memberikan dorongan untuk menguatkan ketahanan keluarga di masa sulit ini.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membangun ketahanan keluarga sangat penting untuk menunjang keberhasilan penanganan krisis akibat pandemi Covid-19. Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat sehingga masalah yang terjadi di dalam keluarga jika tidak tertangani dengan baik akan berdampak ke masyarakat dan bisa menjadi masalah sosial.
Keluarga menanggung beban krisis pada masa pandemi Covid-19 ini, mulai dari melindungi anggota keluarga dari bahaya, merawat anak-anak, hingga pada saat yang sama tetap menjalankan tanggung jawab pekerjaan mereka. ”Keluarga menjadi sangat penting sekali saat ini,” kata psikolog sosial Universitas Indonesia, Bagus Takwin, Sabtu (16/5/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Pandemi benar-benar mengguncang kehidupan manusia. Banyak keluarga yang rontok akibat komplikasi ekonomi, sosial, dan psikologis dari penyakit itu. Namun, tak sedikit juga keluarga yang mampu bertahan, mengatasi kesulitan, bahkan mengubahnya menjadi energi positif dan produktif.
Simak saja kisah keluarga tangguh asal Depok, Jawa Barat: seorang ibu, Maria Darmaningsih (64), bersama dua putrinya, Ratri Anindyajati (33) dan Sita Tyasutami (31). Masing-masing adalah kasus 2, 1, dan 3 yang dinyatakan positif langsung oleh Presiden Joko Widodo, didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, di Istana Negara, 2 Maret 2020.
Saat diumumkan, ibu dengan dua putri itu terpukul berat. ”Jeder. Jantung serasa copot,” kata Maria. Tidak hanya tertekan akibat terinfeksi virus korona baru yang belum ada obat dan vaksinnya, tapi terutama mereka terbebani oleh ekspos media tentang privasi keluarga itu. Mereka stres lahir batin.
Sres kian meningkat saat mereka kemudian dirawat di ruang isolasi di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta. Ketiga perempuan itu berada dalam satu rumah sakit, tapi tidak bisa saling bertemu. Tekanan berlanjut saat kasus bertambah dan beberapa di antara pasien positif itu kemudian meninggal. Saat bersamaan, informasi tentang Covid-19 masih membingungkan.
Tak mau larut dalam kesedihan, Maria bersama Ratri dan Sita berusaha saling menguatkan. Lewat telepon seluler, mereka janjian bermeditasi bersama. Itu dilakukan secara rutin, terutama malam hari. Setelah isolasi dan pengobatan, juga meditasi demi meditasi itu, mereka kemudian dinyatakan sembuh, pertengahan Maret, bahkan kemudian ditampilkan dalam konferensi pers terbuka.
Bantuan pelayanan kesehatan dan ekonomi memang mulai bermunculan selama pandemi. Akan tetapi, di luar bantuan-bantuan itu, diperlukan pula upaya untuk membantu keluarga yang rentan akibat pandemi.
Tidak semua keluarga bisa mengatasi permasalahannya sendiri. Bagi keluarga-keluarga tertentu, terutama keluarga yang rentan, mereka perlu dibimbing dan diberi tahu bagaimana cara mengatasi permasalahan.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Augustina Situmorang, mengatakan, tidak semua keluarga bisa mengatasi permasalahannya sendiri. Bagi keluarga-keluarga tertentu, terutama keluarga yang rentan, mereka perlu dibimbing dan diberi tahu bagaimana cara mengatasi permasalahan.
”Pemerintah harus menyeimbangkan penanganan kesehatan dan hal-hal lainnya. Kalau masalah ekonomi, sudah banyak bantuan, tetapi kalau bantuan dalam konteks untuk membangun keluarga, menjaga ketahanan negara, belum ada. Sekarang waktunya,” ucapnya.
Menurut dia, hampir setiap kementerian mempunyai program tentang keluarga. Inilah saatnya untuk berkolaborasi membantu masyarakat mengatasi dampak krisis yang juga mengancam ketahanan keluarga ini.
Bagus menambahkan, pemerintah perlu membuat publikasi penerangan yang memberikan arah kepada masyarakat untuk meningkatkan ketahanan keluarga di masa krisis ini. ”Pemerintah bisa bekerja sama dengan psikolog, ahli kesejahteraan sosial untuk membantu keluarga-keluarga mengatasi krisis yang terjadi di dalam keluarga akibat pandemi ini. Pemerintah bisa masuk melalui media sosial, bukan hanya memberikan informasi terkait Covid-19,” ucapnya.
Setiap anggota keluarga juga harus mempunyai kesadaran baru ketika tinggal bersama dalam waktu lama di rumah. Komunikasi harus dibuka satu sama lain.
Berbagi peran
Momen bersama saat pandemi bisa menjadi kesempatan untuk saling menguatkan. Keluarga bisa berbagi peran dalam menjalankan tugas-tugas domestik.
Seperti yang dilakukan pasangan Nurasiah Jamil (29) dan Juhamad (29) di Cilebut, Bogor, Jawa Barat, masa pandemi menjadi momen mereka untuk berbagi peran dalam menjalankan tugas-tugas domestik, salah satunya merawat dan menjaga bayi mereka yang berumur enam bulan.
”Biasanya pagi pukul 08.00 saya mengurus bayi, terus nanti pukul 12.000 suami yang memegang bayi sampai pukul 13.00-an. Selesai shalat saya main-main sebentar sama bayi sambil istirahat, lalu nanti nyambung lagi kerja sampai pukul 16.00, kemudian saya masak,” ujar Nura.
Membangun kedekatan dengan anak di usia emas 0-2 tahun sangatlah penting. Menurut pegiat pengasuhan anak, Maswita Djadja, usia emas jadi penentu tumbuh kembang otak dan emosional anak.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati mengatakan, ketahanan suatu keluarga harus dilihat dari berbagai aspek, mulai dari aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan. ”Keluarga yang ketahanan ekonominya terganggu akan sulit memenuhi kebutuhan pangan. Akibatnya, nutrisi dan gizi keluarga pun tidak terpenuhi. Padahal, pemenuhan gizi sangat diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari potensi penularan penyakit,” ucapnya. (IKA/IAM/SON/TAN/MED)