Dampak pandemi Covid-19 bagi kaum disabilitas, terutama perempuan disabilitas yang menjadi tumpuan keluarga sangat besar. Di tengah peluang kerja yang kian terbatas, mereka tetap berjuang.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·6 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Penyandang disabilitas membuat karya kerajinan pada Ekshibisi Karya Perempuan Se-Indonesia, bagian dari rangkaian Peringatan Hari Ibu Ke-91, yang digelar di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (21/12/2019). Adapun puncak Peringatan Hari Ibu Ke-91 dilaksanakan di Kota Lama Semarang, Minggu (22/12/2019).
Semenjak pandemi Covid-19 berlangsung di DKI Jakarta, klinik pijat milik Istiqomah (46) di Jalan Raya Tanggung Barat Lama, Kelurahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sepi. Bahkan lebih dari dua berlalu, tidak ada satu pun pelanggan yang datang. Perempuan disabilitas netra ini terpaksa harus mencari cara untuk bertahan hidup, bersama Desti (21) putrinya.
Bagi perempuan disabilitas yang juga kepala keluarga, seperti Istiqomah, kebijakan pembatasan sosial berskala besar sangat memukul kehidupan mereka. Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, Istiqomah harus berjuang keras dan bersaing dengan tempat refleksi modern maupun pijat daring.
Kini, di masa pandemi, Istiqomah benar-benar terpuruk. Praktis, lebih dari dua bulan tanpa pendapatan apapun. Perempuan yang ditinggalkan suaminya ini berusaha bangkit dengan segala cara. Ketika usaha pijatnya tutup karena pandemi, dia mencoba banting stir. Dibantu putrinya yang duduk di semester enam sebuah perguruan tinggi di Jakarta, dia sempat membuat minuman tradisional seperti jamu. Tapi hasilnya tidak seberapa, karena yang jualan serupa banyak.
“Saya akhirnya terpaksa ngutang ke tetangga dan saudara. Karena kami harus membayar kontrakan, listrik, air, beli gas, dan kebutuhan sehari-hari. Belum lagi beli kuota internet untuk anak saya kuliah. Pokoknya, gimanalah caranya, nyari sana sini, pinjam dulu, agar bisa terbayar kontrakan dan lain-lain,” ungkapnya, Selasa (12/5/2020).
Untuk bertahan hidup, Istiqomah bersyukur mendapat bantuan sembako dari sejumlah pihak. Sebelumnya, dia dan anaknya pernah hanya makan nasi, sambal, dan kerupuk. Padahal, sebelum pandemi, setidaknya ia bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp 3 jutaan sebulan.
“Tapi sekarang sama sekali berhenti. Sementara kalau seperti kami disabilitas netra, pijat adalah pekerjaan yang paling mungkin. Tapi kan untuk sekarang enggak bisa, karena harus jaga jarak,” kata dia.
Sebagai perempuan disabilitas yang tinggal berdua dengan anaknya, tidak mudah bertahan di masa pandemi ini. Untuk pulang ke kampung orang tuanya di Kudus, juga tidak mudah. “Harapan kami yang bantuan dari pemerintah. Siapa tahu bisa meringankan beban kami, kaum difabel. Kami mendengar ada bantuan tunai. Sebab, kami sangat membutuhkan untuk membeli gas, air minum, dan kebutuhan hari-hari,” kata Istiqomah.
Istiqomah hanyalah salah satu potret dari perempuan disabilitas yang juga kepala keluarga yang berusaha bertahan di masa pandemi Covid-19 ini. Masih ada ribuan bahkan jutaan perempuan disabilitas, dengan ragam disabilitas (fisik, mental, dan intelektual) yang menghadapi kondisi sulit.
Bagi disabilitas netra, pandemi Covid benar-benar memukul kehidupan mereka. Apalagi, ruang lingkup bekerja bagi disabilitas sempit
Trias Tuti Handayani (50) pengurus Yayasan Tunanetra Swabyma yang beranggotakan sekitar 200 disabilitas netra, mengungkapkan bagi disabilitas netra, pandemi Covid benar-benar memukul kehidupan mereka. Apalagi, ruang lingkup bekerja bagi disabilitas sempit.
“Sekitar 90 persen disabilitas netra hidupnya dari pijat, ada juga pelaku seni jalanan dan pedagang kerupuk keliling. Semuanya mengandalkan upah harian. Itu semua terdampak dengan Covid-19. Kami tidak bisa bekerja apa-apa,” papar Tuti yang tinggal di daerah Bekasi, yang lingkungannya terdapat lebih dari 20 keluarga disabilitas netra yang mayoritas bekerja sebagai tukang pijat.
Namun, semenjak awal Maret 2020, hampir semua klinik dan panti pijat di daerah mereka ditutup. Selama ini mereka mendapat bantuan sembako dari pihak swasta, karena bantuan sosial (bansos) pemerintah tidak menyasar mereka. Alasannya, karena mereka rata-rata pendatang dan tidak masuk dalam data penerima bansos.
“Kondisi sekarang mungkin beras ada, tapi uang tidak punya, bayar kontrakan keteteran, belum beli gas, sayuran, dan pulsa untuk sekolah anak-anak. Maaf, kadang habis dapat sembako, terpaksa dijual lagi,” kata Tuti.
Kondisi memprihatinkan
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu mengungkapkan perempuan disabilitas menghadapi situasi dan kondisi yang sulit. Dari penilaian cepat yang dilakukan saat membagikan bantuan sembako kepada sejumlah perempuan disabilitas, Maulani mendapatkan sejumlah informasi tentang situasi perempuan disabilitas yang memprihatinkan.
“Sudah banyak yang harus makan mie instan setiap hari, karena tanpa terasa uang belanja sehari-sehari sangat menyusut, tanpa disadari terus menurun. Beberapa barang berubah harga. Padahal para ibu yang menyandang disabilitas, terutama mereka yang bergantung akses keluar dari rumah dengan bantuan orang lain, tidak bisa ke warung sendiri sehingga harus memberi upah orang untuk belanja,” ujar Maulani.
Sementara bantuan sosial melalui warga tidak kunjung juga tidak menyasar semua penyandang disabilitas. Maulani mencontohkan, dari 181 penyandang disabilitas yang menerima bantuan sosial dari HWDI mereka mengakui belum mendapat bantuan dari pemerintah desa/kelurahan setempat. Padahal kartu tanda penduduk dan kartu keluarga mereka sudah cukup lama dikumpulkan, seperti yang diungkapkan perempuan disabilitas di Bekasi dan Tangerang.
“Penyandang disabilitas sangat lemah, dan hanya sedikit yang bisa mengakses program pemerintah untuk kesejahteraan sosial antara lain Program Keluarga Harapan, Sembako, bantuan langsung tunai, padat karya, dan lain-lain. Hambatan utama yang dihadapi penyandang disabilitas adalah mobilitas, interaksi sosial, ekonomi, dan medis,” tandasnya.
Meski rentan tertular virus korona baru, hingga kini, menurut Maulani, berapa banyak disabilitas yang terjangkit masih sulit ditelusuri karena tidak terdata di Gugus Tugas Covid-10 atau pun Kementerian Kesehatan. Pendataan di Gugus Tugas tidak memasukan variabel disabilitas.
Ia mencontohkan, ada penyandang disabilitas yang bekerja di Jakarta yang terkena virus korona baru, namun kesulitan mencari pengobatan hingga harus berobat ke rumah sakit di daerah Banten. Ketika ada penyandang disabilitas terpapar Covid-19, menurut Maulani, pelayanan di rumah sakit terkesan tidak siap.
“Perawatannya belum akomodatif terhadap penyandang disabilitas. RS tidak siap dengan harus adanya pendamping, maupun alat penyampaian informasi komunikasi. Akibatnya pelayanan perawatan terkesan diskriminatif,” ujar Maulani.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Nurjanah (16), kanan, dan Novi (13) membaca buku panduan mitigasi salam huruf braille di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (6/2/2020).
Panduan perlindungan
Terkait kondisi perempuan disabilitas, sebenarnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah meluncurkan Panduan Perlindungan Khusus dan Lebih Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas di Masa Pandemi Covid-19. Panduan tersebut meliputi berbagai intervensi dalam beberapa tahapan mulai dari pencegahan, penanganan, pemulihan, pemberdayaan hingga monitoring evaluasi.
“Kami berharap panduan tersebut menjadi pedoman bagi Gugus Tugas Penanganan Covid-19, para pembuat kebijakan, masyarakat, dan relawan agar mengetahui adanya kebutuhan khusus dan berbeda dalam penanganan Covid-19 pada perempuan disabilitas,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, KemenPPPA Vennetia R Danes.
Perlindungan terhadap perempuan disabilitas menjadi penting, menyusul sejumlah temuan lapangan tentang kondisi perempuan penyandang disabilitas saat pandemi Covid-19. Temuan antara lain, perempuan disabilitas sebagian adalah kepala keluarga, dan pencari nafkah dalam keluarga. Perempuan disabilitas yang selama ini bekerja di berbagai sektor informal dan formal, tidak bekerja, dan kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK)
Selain itu, juga ditemukan perempuan disabilitas belum diperhatikan berkaitan dengan kebutuhan khususnya dalam situasi Covid-19 terutama yang berkaitan dengan alat reproduksi dan proses reproduksi (hamil dan melahirkan). Di luar itu, perempuan disabilitas juga masih membutuhkan bantuan lain selain bentuk paket dari bansos sembako, yaitu vitamin dan kebutuhan lain untuk tetap mempertahankan imunitas.
Karena di masa pandemi Covid-19, perempuan disabilitas menjadi lebih rentan terpapar Covid-19. Beberapa perempuan disabilitas masih harus menjalankan peran domestik dan publik untuk memastikan keluarganya dapat tercukupi kebutuhan pokoknya.
Sementara kebijakan menjaga jarak, pembatasan sosial dan penutupan berbagai akses, menjadi masalah besar bagi sejumlah perempuan disabilitas yang berprofesi sebagai pemijat atau membuka warung makan.
Saat berada di rumah, karena pembatasan sosial, perempuan disabilitas juga posisinya rentan mengalami kekerasan, terutama saat kondisi rumah tangga tidak memiliki pemasukan finansial. Tekanan ekonomi, juga akan berdampak pada perempuan disabilitas yang tidak bekerja dan selama ini bergantung kepada pasangan atau anggota keluarganya, sehingga mereka juga rentan mengalami kekerasan.
Maka, situasi dan kondisi perempuan disabilitas saat pandemi Covid-19 tidak bisa diabaikan, apalagi jumlah perempuan disabilitas di Tanah Air cukup besar. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik 2018 jumlah penyandang disabilitas dengan usia 2 tahun ke atas mencapai 37.137.518 jiwa. Lebih dari setengah jumlah tersebut adalah perempuan disabilitas.