Krisis Kreativitas dan Kemanusiaan Seniman
Pandemi Covid-19 menyebabkan krisis bagi siapa saja, tak terkecuali seniman. Krisis kreativitas dan kemanusiaan yang mereka rasakan tidak dilawan. Sebaliknya, mereka berdamai dengan cara menemukan ruang berkarya baru.
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 bisa berarti krisis kreativitas bagi seniman. Namun, bisa jadi tekanan ini justru memunculkan ruang berkarya bagi mereka.
Satu model, satu ruas tembok, satu pencahayaan, dan satu kamera. Dengan berbekal peralatan itu, perupa RE Hartanto tetap bisa berkarya.
Satu model itu adalah dirinya. Satu ruas tembok itu adalah dinding studio yang lokasinya hanya tujuh menit dari rumahnya di pusat Kota Bandung. Sementara itu, satu kamera adalah fitur kamera dari ponsel pintar miliknya. Adapun satu pencahayaan yang dia maksud adalah perangkat lampu pemotretan studio. Untuk memotret dirinya, Hartanto meminta bantuan istrinya.
”Saya memaknai pembatasan sosial Covid-19 dari aspek ketidakhadiran. Bagi saya, ketidakhadiran itu menyimpan makna terdalam. Tak apa-apa jika seniman lain membuat karya seni rupa yang terkait langsung dengan pandemi, seperti masker atau virus korona,” ujar Hartanto saat dihubungi Kamis (14/5/2020) dari Jakarta.
Dalam bahasa latin, limbo berasal dari kata limbus yang artinya batas, situasi sementara, dan tidak ada kepastian. Makna tersebut tepat disematkan untuk menggambarkan suasana pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 (RE Hartanto)
Karya yang akan dia buat berbekal satu model yaitu dirinya sendiri, satu ruas tembok, satu pencahayaan, dan satu kamera sebagai ”Self Potraits in Limbo”. Dalam tradisi agama Katolik, limbo adalah tempat bagi orang-orang yang sudah meninggal, belum bisa masuk surga ataupun neraka. Sementara dalam bahasa latin, limbo berasal dari kata limbus yang artinya batas, situasi sementara, dan tidak ada kepastian. Makna tersebut tepat disematkan untuk menggambarkan suasana pembatasan sosial karena pandemi Covid-19.
Dari hasil foto potret tentang dirinya, dia akan melakukan kroping (pemotongan foto), lalu mengolahnya di perangkat lunak Adobe Photoshop. Dari sanalah, dia akan membuat kreasi komposisi sampai menambahkan aneka obyek lain selayaknya melukis figuratif. Dia mengibaratkan mendesain pentas teater, tetapi kali ini ”teater beku”.
”Dua tahun terakhir, karya saya bergerak menuju surealisme. Saya merasa diri saya ini penutur. Seperti membuat film fiksi dengan segala fantasinya, saya pun akan melakukannya di proyek seri ”Self Potraits in Limbo,” ujarnya.
Selain membuat karya seni rupa pribadi, Hartanto juga memberikan kursus melukis dengan menggunakan cat air kepada 133 orang. Kursus itu berjalan secara jarak jauh. Artinya, mengajar berlangsung di ruang virtual yaitu WhatsApp. Informasi pembukaan kelas dan publikasi karya peserta dilakukan melalui akun Instagram. Materi teks dan gambar dia unggah di blog.
Menurut dia, model kursus seperti itu menguntungkan. Dia bisa memperoleh murid dari berbagai lokasi, dari Jakarta hingga Biak. Jumlah peserta kelas pun lebih besar dibanding kelas tatap muka yang biasa dia lakukan, yaitu paling banyak 19 orang.
"Prinsip realisme lukisan mudah tersampaikan sepanjang komunikasi saya ke peserta jelas. Ya, mungkin hal paling dirindukan adalah bertemu teman-teman. Saya rasa semua orang yang patuh pembatasan sosial merasakan hal sama," imbuh dia.
Kegelisahan dalam besi bekas
Seniman Putu Sutawijaya saat dihubungi terpisah, menceritakan, selama dua bulan dia tidak pernah pergi keluar rumah terlalu lama. Kalaupun pergi, hanya ke toko di sekitar rumah atau Sangkring Art Space di Nitiprayan Yogyakarta yang dia dirikan tahun 2007.
Dia tetap melukis. Akan tetapi, belakangan, dia suka mencurahkan fokusnya untuk modifikasi motor dan membuat karya dari besi-besi bekas. Ada kegelisahan yang coba dia salurkan di dua kegiatan itu.
”Pembatasan sosial bagi kebanyakan orang tidak mudah. Banyak yang beranggapan situasinya bak isolasi. Saya menemukan di antara besi-besi bekas yang terkumpul, di antaranya berwarna kemerahan dan bisa disimbolkan sebagai batas,” kata Putu.
Pematung Teguh Ostenrik memilih menjadikan masa pembatasan sosial dengan aksi kemanusiaan memberikan nasi bungkus dan sembako kepada puluhan kepala keluarga yang bermukim di Cilandak Barat dan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Baginya, aksi itu sama dengan berkesenian.
"Hakikat berkesenian sama. Saya melukis di atas kanvas yang tujuannya menginspirasi orang lain dan pembeli lukisan bahagia. Ini kan sama dengan saya membagi-bagikan nasi bungkus dan paket sembako sehingga orang bahagia," ujar dia.
Teguh mengatakan, aksi seperti yang dia lakukan sudah pernah dilakukan oleh seniman terdahulu. Sebagai contoh, tahun 1960-an, seniman asal Jerman, Joseph Beuys, sudah menyebut bahwa masyarakat keseluruhan adalah karya seni terbesar. Joseph Beuys juga menelurkan konsep social scuplture, terlibat dalam gerakan hijau, dan penanaman 7.000 pohon Ek.
Selama 46 tahun, dia bekerja dari rumah/studio. Ketika pembatasan sosial berlangsung karena pandemi, dia pun merasa kondisi itu bukan masalah. Dia mengerjakan segala kegiatan menggaet teman-temannya dari dalam dan luar negeri untuk menyumbang, komunikasi dengan ketua RT, koordinasi masak, sampai pendistribusian bantuan melalui gawai.
Ketika dia jalan pagi dan bertemu tukang sayur serta buah, mereka kemudian dia ajak bergabung menjalankan aksinya. ”Ini bukan urusan baik hati, tetapi saya hanya berpikir realistis. Pandemi Covid-19 menyebabkan krisis bagi sebagian besar orang, seperti kekurangan makan. Kalau perut kosong, terjadi amuk masa, lalu membuat kondisi semakin parah,” ujarnya.
Kurator sekaligus dosen Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, mengatakan, seniman sebenarnya tidak asing dengan situasi krisis apa pun. Pandemi Covid-19 bisa dikatakan sebagai suasana krisis bagi mereka.
Setiap krisis menimbulkan dua persoalan, yakni kreativitas dan kemanusiaan. Untuk persoalan kreativitas, dia memandang, seniman umumnya ”kaget” sebentar lalu segera merespons kondisi krisis dengan kreativitas mereka. Di kalangan seniman, krisis menjadi alat penekan mereka berkarya. Dari krisis lahir estetika baru.
Persoalan kedua adalah kemanusiaan. Seniman meleburkan predikat kesenimanannya ke persoalan kemanusiaan. Aneka cara dilakukan agar bisa membantu sesama di tengah krisis. Menurut dia, hal itu sama positifnya dengan kreativitas yang akhirnya terbangun saat krisis.
Praktik berkesenian para seniman saat ini sedang berada dalam arus perubahan terus-menerus. Perubahan ini sudah termasuk medium berkarya.
Baca juga: Agar Tetap Produktif, Seniman Manfaatkan Platform Digital
Menurut Suwarno, bagi seniman kreatif, perubahan terus-menerus seperti sekarang bisa menjadi kesempatan bagus. Masa pandemi Covid-19 bisa menjadi tantangan baru bagi seniman untuk menyelesaikan ”kesepian”-nya yang menjadi lebih panjang, lalu memiliki waktu memasuki ruang estetik.