KDRT Menghancurkan Impian Tentang Keluarga Bahagia
Mendorong perempuan-perempuan untuk bangkit dan berani berbicara, serta melawan berbagai kekerasan yang dialami, harus menjadi gerakan masif supaya kasus-kasus kekerasan tidak terulang,
Saat memutuskan menikah, IVN (31) berharap akan meraih kebahagiaan bersama suaminya. Namun, impian itu kandas, saat suaminya mulai kasar, kemudian mulai melepas tangan, memukulinya ketika sedang marah. Demi anak-anaknya dia mencoba bertahan. Tapi setelah lima belas tahun berlalu, akhirnya IVN (31), mengambil keputusan berpisah dari suaminya.
Ibu dari tiga anak ini tidak sanggup lagi melanjutkan biduk rumah tangganya. Pertengahan Maret 2020 lalu, di saat semua keluarga diminta diam di rumah karena pandemi Covid-19, perempuan dari salah satu desa di Kecamatan Keterongan, Jombang, Jawa Timur ini, justru menggugat cerai sang suami.
“Saya sudah lelah, sejak pacaran hingga menikah dia selingkuh. Orangnya sangat kasar, bukan hanya kata-kata kasar, dia juga sering memukul. Anak pertama baru berusia dua tahun, saya sudah dipukul sampai kepala benjol. Saya pernah diseret, tanganku diplintir,” ujar IVN kepada Kompas, melalui telepon, Kamis (14/5/2020).
Meski bertahun-tahun mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), IVN tetap berusaha mempertahankan perkawinannya.
Meski bertahun-tahun mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), IVN tetap berusaha mempertahankan perkawinannya. Karena, anak-anaknya masih kecil, dan berharap suaminya suatu saat berubah. Tapi itu tidak pernah terjadi. Belakangan anak-anaknya melihat langsung, perbuatan KDRT yang dilakukan suaminya, bahkan kedua anaknya pernah ditendang suaminya.
“Aku kadang berpikir, kok aku kayak gini ya, diam saja diperlakukan begitu. Tapi aku tetap bertahan, karena kasihan sama anak-anak terutama yang kecil, selalu bertanya bapaknya,” katanya.
Selama pernikahan, IVN berusaha bekerja untuk menutupi pendapatan suaminya yang tidak pernah cukup untuk membiayai keluarganya. Sejak menikah IVN dan suaminya selama ini tinggal di rumah orangtua IVN. Saat ini, anaknya yang sulung kelas II SMP, yang kedua masih Taman Kanak-Kanak, dan yang bungsu hampir lima tahun.
Pertengahan Maret lalu menjadi puncak pertengkaran IVN dan suaminya, saat tagihan utang di bank tidak bisa dibayar. Gara-gara bertanya kepada suaminya kapan utang bank dibayar, IVN akhirnya mereka bertengkar keras, dan KDRT kembali dialami IVN. Tak sanggup lagi menghadapi kelakuan suaminya, akhirnya IVN meminta suaminya keluar dari rumah orangtuanya, dan menggugat cerai. Saat ini, IVN tengah menanti putusan pengadilan.
Kelakuan suami tak pernah berubah
Bertahun-tahun menjadi korban KDRT juga dialami Nur (48) warga Serang, Banten. Sekitar 29 tahun yang lalu, Nur yang bekerja di sebuah pabrik menikah dengan suaminya yang juga atasan di tempatnya bekerja. Namun, baru setahun perkawinan, dia mengetahui suaminya punya perempuan lain. “Suami saya menikahi karyawan yang masih berusia 19 tahun,” ujarnya.
Meski memiliki dua anak, kelakuannya suaminya tidak pernah berubah. Bahkan saat melahirkan anaknya kedua, Nur harus melahirkan sendirian di rumah mertuanya di Bandung, tanpa ditemani suaminya.
Hingga suatu saat, sekitar tahun 1998, suaminya jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit jiwa. Demi anak-anaknya yang masih balita dan bayi, Nur tetap mengurus suaminya, bahkan merawat di rumah hingga sembuh. Ketika suaminya sakit, Nur membangun usaha sendiri hingga kehidupan mereka cukup mapan.
Saat suaminya sembuh, Nur mengajak suaminya ikut dalam bisnis yang dikelolanya, tapi ternyata justru membuat suaminya kembali pada kelakuan lamanya. Tidak hanya memiliki perempuan lain, suaminya menghancurkan bisnis keluarganya. Puncaknya, tahun 2010, suaminya menggadaikan rumah yang mereka bangun.
“Sampai di titik itulah, aku akhirnya menggugat cerai dan pergi meninggalkan rumah. Saat itu anakku sudah SMP dan SD,” ujar Nur yang setelah meninggalkan rumah bergabung dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A).
Selama perkawinan, bukan hanya kekerasan psikis, Nur sering mengalami kekerasan fisik dari suaminya. Salah sedikit saja, tangan suaminya pasti mendarat di tubuhnya. “Dia sering memukul saya. Punggung saya pernah dipukul hingga tulangnya retak. Akhirnya saya sadar, dia bukan imam yang baik. 15 tahun itu waktu yang cukup buat bersabar. Saya berusaha mengubah keadaan lebih baik, tapi tidak pernah berhasil,” kata Nur, yang setelah bercerai sempat terpisah dengan dua putrinya. Kini kedua putrinya sudah bekerja.
Kekerasan berjenjang
Harapan membangun keluarga yang bahagia juga pernah menjadi impian BDH (48) saat menikah dengan suaminya pada tahun 1998. Perempuan yang berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah ini, yang sempat menempuh kuliah di sebuah perguruan tinggi, memulai rumah tangganya dari nol. Saat itu, suaminya pedagang pakaian, hingga bisnisnya berhasil.
Namun, situasi mulai berubah, ketika suaminya mulai menjadi pejabat publik. Sejak itulah, kekerasan dalam rumah tangga dimulai. Awalnya hanya sebatas, kekerasan verbal. Namun, belakangan, saat anak pertama lahir, dia mengetahui suaminya berselingkuh. Tapi dia memaafkan suaminya.
“Kelemahanku enggak bisa tegas. Saya selalu memaafkan dia, apalagi anak-anak masih kecil. Kalau dia mau jujur dan janji tidak ulangi, saya maafkan,” ujarnya.
Ia menuturkan, KDRT dialaminya sepanjang masa perkawinannya. Semakin parah, ketika suaminya mendapat jabatan sebagai salah satu pejabat publik. Namun, bentuk KDRT berjenjang. Awalnya hanya marah dan tidak bicara, tapi kemudian kekerasan verbal hampir selalu dilakukan.
“Gradasinya naik pelan-pelan. Ketika mulai kekerasan verbal, apapun kesalahan saya pasti diomelin, satu dua kalimat binatang sering keluar. Belakangan mulai banting-banting barang-barang di rumah,” katanya.
Sampai akhirnya, setelah memasuki usia perkawinan ke-15, derajat KDRT dari suaminya meningkat. Putrinya sudah duduk ke kelas I SMP dan kelas 1 SD. BDH mulai alami kekerasan fisik, ditampar dan diludahi. Awalnya tidak diketahui anak-anak dan keluarnya, tapi belakangan dilakukan secara terbuka. Saking ketakutannya, BDH sering tidur bersama anak-anaknya.
Tidaknya di depan anak-anak, KDRT dilakukan suaminya di depan ibu BDH. “Dia akhirnya tidak bisa kontrol, ketika berantem di kamar, dia malah memanggil ibuku. Hatiku hancur. Selama ini, biar dipukul diapain, saya berusaha tidak dilihat anak-anak dan orangtua,” kata BDH yang juga diusir suaminya dari rumahnya.
Tidak tahan dengan semua itu, tahun 2014 BDH menggugat suaminya ke pengadilan. Namun proses panjang harus dilewatinya bertahun-tahun. Dia dan anak-anaknya harus melanjutkan hidup sendiri di Jakarta. Saat di pengadilan pengadilan memutuskan suaminya bersalah, tapi selama bertahun-tahun vonisnya tidak dieksekusi. Suaminya baru dihukum setelah tidak menjadi pejabat publik.
“Jangan menganggap biasa, KDRT. Ketika itu diabaikan, kita tidak pernah tahu kapan itu meledak,” kata RBH yang kini menjadi aktivis yang menyuarakan penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Apa yang dialami IVI, Nur, dun BDH, adalah potret kecil kekerasan yang dialami para perempuan di Tanah Air. Impian untuk mewujudkan keluarga bahagia, saat membangun bahtera rumah tangga, kandas dan pudar, menyusul berbagai kekerasan yang dialami para perempuan.
Fenomena gunung es
KDRT hingga kini masih menjadi fenomena gunung es, ada begitu banyak perempuan memilih bungkam, tidak berani melaporkan kasus yang dialaminya. Mereka bertahan dalam penderitaan panjang, dengan berbagai alasan, Alasan terbesar, adalah demi anak-anak. Beberapa bertahan, karena tidak memiliki posisi tawar secara ekonomi, dan alasan lain.
KDRT, hanyalah salah satu bentuk kekerasan yang menimpa perempuan, dari sejumlah daftar kekerasan yang selama ini menghancurkan kehidupan perempuan dan anak-anak perempuan.
Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2019 yang diluncurkan Maret 2020, dengan judul Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan, membuktikan perempuan terjerat dalam lingkaran kekerasan terhadap perempuan selama bertahun-tahun.
Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 79 persen (hampir 800 persen), yang berarti kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. kekerasan perempuan masih merupakan fenomena gunung es. Karena dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.
Dari Catahu Komnas Perempuan 2019, terlihat ranah yang paling berisiko bagi perempuan, yaitu kekerasan dalam ranah personal, yaitu di antaranya perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT) dan dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran) yaitu sebesar 75 persen atau
sebesar 11.105 kasus.
Baca juga: Kasus KDRT Masih Membayangi Perempuan
Ranah pribadi setiap tahunnya secara konsisten menempati angka tertinggi kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan selama 5 tahun terakhir dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual.
Ini membuktikan, bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi perempuan, justru menjadi tempat yang tidak aman bagi perempuan.
Bukan hanya itu, meski sudah 16 tahun diundangkan, ternyata Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 belum menghadirkan perlindungan yang berarti bagi para perempuan, dan belum memberikan efek jera bagi pelaku KDRT.
Maka, mendorong perempuan-perempuan untuk bangkit dan berani berbicara, serta melawan berbagai kekerasan yang dialami, harus menjadi gerakan masif, yang melibatkan semua pihak, agar daftar perempuan yang mengalami kekerasan tidak terus menggunung.