Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus Lemah, Publik Galang Petisi
Kasus kekerasan seksual di kampus terus terulang. Upaya penanganan kasus yang minimal mendorong penyintas dan kelompok peduli hak korban membuat petisi dalam jaringan agar masyarakat ikut tergugah kesadarannya.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama tiga tahun terakhir, platform Change.org Indonesia mencatat ada 10 petisi bertemakan penanganan kekerasan seksual di kampus. Petisi tersebut mendapat dukungan publik lebih dari 700.000 tanda tangan.
Associate Campaigner Change.org Indonesia, Ori Sidabutar, saat dihubungi Selasa (12/5/2020), di Jakarta, mengatakan, pembuat petisi beralasan mekanisme pelaporan kasus kekerasan seksual di kampus belum berpihak pada korban. Mereka akhirnya membutuhkan perhatian publik agar lebih sadar dengan kekerasan seksual. Harapannya, apabila publik mengalami atau pernah menyaksikan kasus, publik berani berbicara.
Kalaupun ada korban berani melapor ke aparat penegak hukum, mereka malah disalahkan. (Ori Sidabutar)
”Kalaupun ada korban berani melapor ke aparat penegak hukum, mereka malah disalahkan,” ujar dia.
Ori lantas mencontohkan petisi ”I am Bunga” yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum Padang. Petisi itu baru dibuat baru-baru ini dan berkisah mengenai Bunga, mahasiswa di salah satu universitas di Sumatera Barat, mendapat pelecehan seksual dari dosennya. Kasus terjadi sekitar 15 Januari 2020.
Saat melapor, Bunga, orangtua, dan teman-temannya malah diancam oleh pimpinan universitas. Petisi mendapat dukungan 25.761 tanda tangan.
Pada awal Mei 2020, petisi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus kembali muncul. Komunitas Peduli Perempuan memulai petisi di Change.org yang intinya agar Australia Awards Indonesia mencabut beasiswa IM. Saat ini, IM tengah menempuh pendidikan strata dua di University of Melbourne. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta melaporkan, IM melakukan kekerasan seksual terhadap sekitar 30 perempuan.
Menurut Ori, Komunitas Peduli Perempuan terdiri dari empat penerima beasiswa Australia Awards Indonesia. Mereka adalah Hani Yuliandrasari, Illian Deta Arta Sari, Retno Agustin, dan Freddy Reynaldo. Komunitas itu menyebut IM dikenal sebagai mahasiswa berprestasi sehingga membuat korban sempat ragu-ragu melapor.
Selama kurun waktu 7-11 Mei 2020, petisi yang dibuat Komunitas Peduli Perempuan mendapat dukungan lebih dari 8.000 tanda tangan. Selain cabut beasiswa, Komunitas Peduli Perempuan juga menuntut agar Australia Awards Indonesia menerapkan zero tolerance kepada pelaku pelecehan seksual.
Namun, petisi itu mendapat bantahan dari pelaku. Ori mengatakan, dalam salah satu pemberitaan di ABC, Sabtu (9/5/2020), IM membantah semua dugaan atas tindakannya di Indonesia dan Australia.
”Sebagai platform terbuka, Change.org kerap memperoleh dua petisi pro dan kontra untuk satu isu. Pengambil keputusan yang dicantumkan di petisi bisa menanggapi secara langsung,” katanya.
Ori menambahkan, Change.org memfasilitasi advokasi yang dilakukan Koalisi Gerak Perempuan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendukung penanganan kekerasan seksual yang lebih berpihak pada korban di kampus. Fasilitasi itu telah dimulai sejak Februari 2020.
Sedang susun regulasi
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud Aris Junaidi saat dikonfirmasi mengatakan, selama dua bulan terakhir, Kemdikbud sedang menyusun regulasi terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Regulasi yang dia maksud bisa berupa peraturan ataupun keputusan menteri.
Dia mengklaim tidak memiliki data laporan jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Hanya saja, Aris mengetahui beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah memiliki peraturan rektor, salah satunya Universitas Gadjah Mada.
Sementara itu, Retno Agustin, salah satu dari empat penerima beasiswa Australia Awards Indonesia yang tergabung dalam Komunitas Peduli Perempuan, mengatakan, tidak mudah bagi korban kekerasan seksual segera buka suara ke orang terdekat dan bahkan melapor ke aparat penegak hukum. Korban butuh dipulihkan dari trauma. Akan tetapi, kampus dan aparat penegak hukum tidak paham.
Dia menceritakan, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta merilis laporan 30 korban kekerasan seksual IM pada akhir April 2020. Lalu, dia bersama tiga orang sesama penerima beasiswa Australia Awards Indonesia membuat petisi pada 7 Mei 2020. Dia menjalin komunikasi aktif dengan kelompok mahasiswa Indonesia di Australia untuk bersama-sama berjuang membuka kasus. Sebanyak lima dari 30 korban pernah kuliah di Australia.
”Melalui petisi, kami ingin mendidik publik bahwa kekerasan seksual itu nyata. Pelakunya bisa siapa saja. Dalam konteks petisi yang kami buat, IM dikenal sebagai mahasiswa berprestasi sejak kuliah di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,” kata Retno.
Sekretaris Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah 5 Yogyakarta Bhimo Widyo Andoko menyampaikan, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM, alumni Universitas Islam Indonesia, telah ditangani oleh pihak kampus.
Pimpinan kampus berkomitmen menghormati segala proses hukum yang sedang berjalan sampai diperoleh kepastian tentang kebenarannya. Selain itu, kampus akan mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang disematkan kepada IM pada 2015, setelah mempelajari keterangan yang diberikan oleh korban atau penyintas.