Pemulung sesungguhnya bagian penting dari ekosistem pengelolaan sampah karena turut mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah. Namun, nasib mereka masih terpinggirkan. Mereka perlu diberdayakan.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Posisi pemulung sebagai kelompok yang rentan perlu diberdayakan. Tak hanya dijangkau bantuan sosial pemerintah, mendesak juga mereka memperkuat mereka sebagai bagian penting dalam ekosistem pengelolaan sampah. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan.
Dari sisi pemulung, mereka berharap lebih diperhatikan, terutama saat situasi sulit selama pandemi Covid-19. Program pemberdayaan akan meningkatkan kemampuan mereka sekaligus memberikan alternatif penghasilan. Hanya, tak semua pemulung tergabung dalam organisasi sehingga sulit dijangkau komunitas maupun pemerintah.
Teteh (34), warga Pagedangan, Tangerang, Banten, mengaku hampir 10 tahun memulung. Dia belum pernah bergabung dengan asosiasi pemulung dan didata pemerintah.
Dia berharap ada kepedulian negara pada dirinya. Wabah Covid-19 membuat dia kesulitan menjual barang bekas yang terkumpul, seperti botol plastik, botol kaca, kardus, dan koran. ”Saya tertarik kalau pemerintah mau bikin program pemberdayaan,” kata Teteh, Selasa (12/5/2020), di Tangerang.
Kondisi serupa dialami Supatun (51), pemulung asal Pati, Jawa Tengah, yang sudah 10 tahun memulung. Dia juga belum terjangkau program pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Selama pandemi, dia terseok-seok mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Keterbatasan biaya membuatnya tidur di kolong Jembatan Kampung Melayu, Jakarta Timur, bersama belasan pemulung lain. ”Berharap ada (pemberdayaan). Dilatih apa saja supaya bisa produktif,” ujarnya.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) Bagong Suyoto, berharap pemulung bekerja siang-malam membantu pengelolaan sampah berbasis 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali) dan recycle (mendaur ulang sampah. ”Pemulung membantu pemerintah mengelola sampah dengan prinsip 3R, tetapi belum ada penghargaan,” ujarnya.
Pekerjaan pemulung perlu diakui sebagai bagian dari 3R sehingga mereka terintegrasi dengan sistem pengelolaan sampah perkotaan. Semua pemulung didata dan dijangkau berbagai pelatihan dan bantuan untuk memperbaiki derajat dan tingkat hidup pemulung. Tambah pengetahuan dan akses teknologi untuk mereka. Pemerintah juga perlu mendekatkan pemulung dengan lembaga keuangan agar mereka tidak terjerat rentenir dan bisa mengembangkan ekonomi produktif.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar mengakui bahwa pemulung bersama bank sampah dan tempat pengelolaan sampah terpadu 3R membantu pengurangan timbulan sampah yang menjadi beban di tempat pemrosesan akhir atau TPA (tempat pembuangan akhir). Ada sejumlah surat Direktorat Jenderal Pengeloaan Sampah, Limbah, dan B3 kepada kepala-kepala daerah untuk memasukkan pemulung dan ekosistemnya (termasuk pelapak dan penggiling) sebagai bagian dari pengelolaan sampah di daerah.
”Dalam menghitung neraca pengelolaan sampah daerah dari hulu ke hilir, sektor informal (peran pemulung) harus dimasukkan,” kata Novrizal.
Penghitungan neraca pengelolaan sampah tersebut menjadi amanat dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pada tahap awal, pemda diminta untuk mendaftar pemulung-pemulung setempat. Ini termasuk daya tampung atau pun ”sampah” plastik, kertas, dan logam yang dikumpulkan di pelapak.
Setelah terdaftar, pemerintah daerah bisa memberikan pengakuan kepada pemulung sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah dengan memberikan identitas, alat pelindung diri, dan seragam. ”Ini supaya pemulung bisa bekerja tanpa ketakutan dan dikejar-kejar,” ujarnya.
Untuk kepentingan jangka pendek, terutama selama pandemi Covid-19, Kementerian Sosial (Kemensos) menyediakan tempat penampungan sementara bagi kelompok telantar, termasuk pemulung. Di Ibu Kota, misalnya, program ini digelar bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan menyediakan lima gelanggang olahraga (GOR), yaitu GOR Karet Tengsin di Jakarta Pusat, GOR Cengkareng di Jakarta Barat, GOR Ciracas di Jakarta Timur, GOR Tanjung Priok di Jakarta Utara dan GOR Pasar Minggu di Jakarta Selatan.
Kini, tercatat 1.146 orang yang ditampung Selain itu, ada juga balai rehabilitasi sosial Kemensos, seperti Balai Rehsos Mulya Jaya, Pasar Rebo, Jakarta Timur. ”Negara harus hadir, kita tidak lagi melihat dia pendatang atau penduduk asli, punya kartu tanda penduduk atau tidak, tinggal di kolong jembatan bahkan tempat kumuh sekalipun harus dibantu oleh siapapun,” kata Menurut Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Harry Hikmat.