Krisis akibat pandemi Covid-19 berdampak pada belanja iklan di media massa. Berdasarkan data Nielsen Advertising Intelligence tahun ini hingga Maret belanja iklan masih tumbuh positif, tetapi setelah itu melemah.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belanja iklan di media televisi, radio, ataupun cetak pada 2019 mencapai Rp 168 triliun atau tumbuh 10 persen dibandingkan pada 2018. Hingga Maret 2020, tren belanja iklan di media televisi, digital, dan cetak masih tumbuh positif, tetapi pada April turun karena dampak pandemi Covid-19.
Data Nielsen Advertising Intelligence (Ad Intel) menunjukkan, belanja iklan di media pada Januari 2020 sebesar Rp 15,3 triliun, pada Februari Rp 17,3 triliun, dan pada Maret Rp 20,3 triliun.
”Belanja iklan sempat melemah pada bulan April, khususnya media televisi dan cetak. Namun, pada Mei kembali menguat pada media televisi, sedangkan pada media digital cenderung tetap dan di media cetak turun,” kata Hellen Katherina, Direktur Eksekutif Nielsen Media Indonesia, Selasa (12/5/2020).
Dia mengatakan, pergeseran perilaku dan kebutuhan konsumen selama pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 memicu beberapa merek mengambil kesempatan untuk banyak beriklan, antara lain yang berhubungan dengan layanan internet, layanan daring, serta produk makanan.
”Sekarang ini sebenarnya golden opportunity (kesempatan emas) bagi pengiklan untuk berkomunikasi dengan konsumen,” kata Hellen.
Secara umum, belanja iklan pemerintah dan partai politik turun, sedangkan iklan layanan daring dan peralatan telekomunikasi tetap naik. Mulai tahun ini ada 11 merek berhenti beriklan, antara lain yang berhubungan dengan produk baju, produk kecantikan, olahraga, juga agen dan tiket perjalanan.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia Wenseslaus Manggut mengatakan, sejumlah merek yang tidak beriklan di halaman berita yang terkait Covid-19.
”Mereka exclude by keyword. Artinya sekualitas apa pun kontennya, mereka tidak mau brand mereka muncul di sesuatu yang memunculkan perasaan waspada bagi pembaca,” katanya.
Menekan media cetak
Penurunan belanja iklan tersebut terutama berdampak pada media cetak. Survei yang dilakukan Serikat Perusahaan Pers (SPS) pada 22-23 April 2020 terhadap 44 perusahaan pers anggota SPS menunjukkan, pandemi Covid-19 sangat menekan bisnis media cetak. Sebanyak 44 perusahaan pers tersebut mewakili perusahaan pers di Jakarta dan di daerah dari total 434 anggota SPS.
”Mayoritas perusahaan pers, yaitu 71 persen, omzetnya turun lebih dari 40 persen selama pandemi Covid-19 dibandingkan pada periode sama 2019. Hanya 29 persen responden yang pendapatannya turun di bawah 40 persen,” kata Ketua Harian SPS Januar Primadi Ruswita.
Sejumlah upaya dilakukan agar tetap bertahan di masa krisis Covid-19 ini, beban usaha terbesar akibat dampak krisis terjadi pada faktor gaji karyawan, mencapai 68 persen, disusul biaya cetak sebesar 45 persen. Meski separuh perusahaan pers anggota SPS Pusat telah memotong gaji karyawannya, efisiensi yang dilakukan perusahaan pers terbanyak pada sektor pengurangan volume atau oplah cetak dan pengurangan halaman.
Meski bisnis media cetak sangat tertekan, kata Januar, lebih dari separuh responden tidak berencana merumahkan karyawan tanpa digaji, tetapi ada sekitar 43 persen yang sudah atau sedang mengkaji opsi ini. Sebanyak 38,6 persen responden sudah dan berencana memensiunkan karyawannya, sisanya tidak berencana mengurangi karyawannya.
Mayoritas responden, kata Januar, merasa tidak ada peluang bisnis yang bisa mereka kerjakan selama krisis Covid-19 masih berlangsung. ”Hanya sepertiga perusahaan pers yang masih melihat ada peluang bisnis di masa pandemi Covid-19.
Wenseslaus mengatakan, secara umum bisnis media digital juga turun. ”Kalau situasi seperti ini hingga kuartal pertama tahun depan, mungkin banyak juga yang tidak mampu bertahan sehingga skenario PHK akan terlihat rasional dan realistis,” katanya.