Pengunjung Membawa Mikroorganisme ke Batuan Candi Borobudur
Lumut yang menempel pada sebagian permukaan batuan Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, diketahui telah bercampur dengan beraneka ragam mikroorganisme lain.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Lumut yang menempel pada sebagian permukaan batuan Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, diketahui telah bercampur dengan beraneka ragam mikroorganisme lain. Tambahan mikroorganisme lain ini berdampak buruk, mempercepat terjadinya pelapukan batuan candi.
Pengkaji Pelestarian Cagar Budaya Balai Konservasi Borobudur (BKB) M Habibi, mengatakan, keberadaan sebagian mikroorganisme tersebut terlihat aneh karena tidak berasal dari lingkungan sekitar candi.
“Ada mikroorganisme yang diketahui biasanya ada di hutang mangrove, dan ada yang biasanya hidup dan ada di laut. Dimungkinkan, mikroorganisme yang tidak berasal dari lingkungan sekitar candi tersebut, adalah mikrorganisme bawaan dari pengunjung yang lalu lalang di bangunan Candi Borobudur,” ujarnya, dalam acara conservation showcase yang diselenggarakan oleh BKB secara daring, Senin (11/5/2020). Temuan aneh lainnya, adalah adanya mikroorganisme yang biasanya menjadi penyebab penyakit pada manusia.
Ada mikroorganisme yang diketahui biasanya ada di hutang mangrove, dan ada yang biasanya hidup dan ada di laut. Dimungkinkan, mikroorganisme yang tidak berasal dari lingkungan sekitar candi tersebut, adalah mikrorganisme bawaan dari pengunjung yang lalu lalang di bangunan Candi Borobudur (Habibi)
Mikroorganisme tersebut dimungkinkan menempel pada lumut di batuan, karena adanya sentuhan tangan atau pijakan alas kaki pengunjung.
Temuan mikroorganisme unik tersebut, didapatkan dari hasil penelitian BKB bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agustus 2019, pada sisi barat bangunan Candi Borobudur. Dimungkinkan, kondisi serupa juga terjadi pada lumut yang menempel pada bangunan Candi Borobudur di sisi lainnya.
Mengacu pada kondisi tersebut, maka lumut dan tumbuhan lain yang menempel pada bangunan candi, mendesak untuk segera dibersihkan. Semula, pembersihan organisme dilakukan dengan bahan-bahan kimia.
Namun, sesuai dengan rekomendasi dari UNESCO untuk memakai bahan-bahan alami, maka sejak tahun 2014, BKB pun terus intens melakukan riset dan kajian, untuk mencari bahan pembersih yang lebih ramah lingkungan. Bahan-bahan alami yang pernah digunakan dan diuji coba antara lain adalah cengkeh, temulawak, nilam, terpentin, dan sereh wangi.
Dari hasil kajian tersebut, minyak atsiri dari sereh wangi disimpulkan sebagai bahan terbaik untuk mengatasi lumut dan lichen pada batuan.
“Tidak hanya sekedar membersihkan, minyak atsiri sereh wangi juga terbukti mampu memperlambat pertumbuhan jamur,” ujar Leliek Agung Haldoko, Pengkaji Pelestarian Cagar Budaya BKB, yang terlibat dalam pengujian bahan-bahan alami untuk pembersihan lumut di Candi Borobudur.
Minyak sereh wangi
Awal 2020, minyak atsiri sereh wangi tersebut pernah diujikan pada batu-batu lepas dari Candi Borobudur. Hanya dalam waktu enam jam saja, minyak atsiri yang telah disemprotkan menyebabkan lumut mengering, berubah warna dari hijau gelap menjadi coklat kemerahan, sehingga mudah dibersihkan dengan sikat. Berselang satu bulan kemudian, batuan tersebut tidak ditumbuhi lumut.
Mengacu pada keberhasilan di tahap pengujuan tersebut, BKB memutuskan untuk mulai mengaplikasikannya pada batuan di bangunan Candi Borobudur, pada tahun 2021.
“Kami akan memulai mengaplikasikannya secara bertahap, mulai dari batu-batu polos di bagian bawab bangunan candi, baru selanjutnya secara bertahap akan dipakai untuk pembersihan lumut di bagian bangunan di atasnya,” ujarnya.
Minyak atsiri dari sereh wangi akan digunakan untuk membersihkan lumut dan lichen. BKB belum akan memakai bahan tertentu untuk membersihkan algae karena hingga saat ini belum menemukan bahan alami yang tepat untuk jenis organisme tersebut.
Untuk sementara ini, minyak sereh wangi yang akan digunakan direncanakan dalam bentuk mikroemulsi. Namun, ke depan, BKB akan mengupayakan memproses minyak tersebut dalam bentuk nanoemulsi.
“Dengan membersihkan menggunakan cairan nanoemulsi, dengan ukuran partikel yang sangat kecil, maka pembersihan pun bisa dilakukan secara lebih optimal mulai dari dalam fragmen batuan hingga yang ada di permukaan,” ujarnya.
Nanoemulsi adalah droplet dengan ukuran partikel 0-10 nanometer, sedangkan mikroemulsi ukuran partikel 20-200 nanometer.