Pemelajaran jarak jauh memberikan kemerdekaan kepada guru untuk memberikan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan kepada siswa. Pada prinsipnya, ini sesuai konsep merdeka belajar.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengumumkan kebijakan merdeka belajar pada Desember 2019, pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana kesiapan sekolah dan guru untuk melaksanakan kebijakan ini. Mereka merupakan aktor utama kebijakan merdeka belajar.
Kebijakan merdeka belajar mengembalikan Ujian Sekolah Berstandar Nasional bagi siswa sekolah dasar kepada esensinya, yaitu penilaian akhir jenjang oleh guru dan sekolah. Kelulusan siswa menjadi wewenang sekolah berdasarkan penilaian oleh guru.
Kemudian, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai pengganti ujian nasional di jenjang pendidikan menengah diharapkan mendorong guru menggunakan metode pengajaran yang efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Ini menuntut guru dapat memberi pengajaran yang inovatif dan berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan.
Untuk itu, penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang selama ini dinilai membebani guru dengan tugas administratif pun disederhanakan. Tujuannya agar guru mempunyai lebih banyak waktu untuk menyiapkan dan mengevaluasi proses pemelajaran.
Adapun kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru yang bertujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan, menuntut guru efektif menghadapi siswa yang heterogen. Guru dituntut mampu menggunakan berbagai strategi dan pendekatan dalam mengajar anak-anak dengan kemampuan berbeda.
Empat kebijakan tersebut bermuara pada penyiapan siswa yang berdaya saing di era 4.0, yaitu siswa yang berkemampuan pikir kritis, analitis, berkarakter, dan bahagia. Tantangannya memang meningkatkan pemelajaran siswa yang masih rendah, yang antara lain tercermin dari hasil Program Asesmen Pelajar Internasional (PISA) tahun 2018 di mana Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara.
Dan, kemampuan guru sangat menentukan. Guru yang fokus pada pembelajaran siswa, guru yang menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bisa mencari materi yang pas dan sesuai tingkat kompetensi siswanya. Guru yang otonom dan merdeka dalam mengajar, tanpa harus menunggu perintah karena gurulah yang seharusnya paling tahu kebutuhan siswanya.
Kompetensi guru
Siapkah guru melaksanakan tugas-tugas tersebut? Ada yang siap, tetapi mungkin lebih banyak yang tidak. Menilik hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada 2015, satu-satunya UKG yang pernah dilaksanakan secara nasional, nilai rata-rata guru 53,02 atau di bawah standar kompetensi minimum yang ditargetkan sebesar 55.
Bahkan, kompetensi bidang pedagogik, yaitu kemampuan guru mengelola kelas dan menyiapkan strategi pembelajaran, rata-rata hanya 48,94. Artinya, banyak guru belum mencapai kompetensi minimal yang diperlukan untuk memfasilitasi pemelajaran yang berkualitas.
Hasil studi yang dilakukan program Research on Improving System of Education (RISE) di Indonesia pada 2018 mendukung hal itu. Hanya 12,43 persen guru SD yang merasa telah menguasai literasi, dan 21,27 persen guru SD yang merasa telah menguasai berhitung. Artinya, banyak guru yang merasa tidak kompeten dalam mengajar literasi dan berhitung di tingkat dasar, dua dari tiga bidang yang menjadi parameter dalam penilaian PISA.
Padahal, kompetensi guru berkorelasi positif dengan profesionalitas guru, dan dua hal ini memegang peran penting untuk memfasilitasi pemelajaran yang berkualitas, terlebih dalam konsep merdeka belajar. Kemdikbud pun mengakui hal ini, dan telah menyiapkan program peningkatan kualitas guru.
Namun, pelatihan belum terlaksana, datang pandemi Covid-19 yang memberi tantangan guru lebih besar lagi karena harus memberikan pemelajaran jarak jauh secara daring. Metode yang belum pernah dilakukan. Tanpa persiapan, dan dengan segala keterbatasan, guru harus memberikan pembelajaran yang menyenangkan, yang dalam metode tatap muka saja belum tentu dapat terlaksana.
Dalam kondisi darurat ini, sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Belajar dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, guru diberi kebebasan memberikan pemelajaran tanpa terbebani tuntutan menuntaskan capaian kurikulum. Pemelajaran difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup, aktivitas dan tugas pemelajaran pun dapat bervariasi sesuai minat dan kondisi siswa.
Sejatinya, itulah makna merdeka belajar, yaitu guru yang otonom dan merdeka dalam memberikan pemelajaran. Dan sesuai konsep merdeka belajar, pemelajaran harus memberikan kebebasan berpikir dan belajar siswa tanpa dibebani oleh nilai ataupun ranking.
Memang masih banyak guru yang belum dapat memenuhi hal tersebut. Ini tecermin dari hasil survei yang dilaksanakan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada pertengahan April lalu atau sekitar sebulan pelaksanaan pemelajaran jarak jauh.
Namun, meski masih banyak guru yang terbebani tuntutan menuntaskan kurikulum (53 persen dari 602 responden), sejumlah guru (22,6 persen) tidak lagi mengejar ketercapaian kurikulum. Sisanya (24,4 persen), akan menyelesaikan target pencapaian kurikulum apa adanya.
Di tengah keterbatasan dan minimnya persiapan pemelajaran jarak jauh, sebagian besar guru tetap bersemangat memanfaatkan aplikasi daring, serta merasa ingin tahu dan mendalami aplikasi daring. Bahkan, mayoritas guru (68,3 persen) belajar secara mandiri untuk menggunakan aplikasi daring agar pemelajaran bisa efektif, tak membebani siswa, dan menyenangkan bagi siswa.
Di luar survei itu, sejumlah guru berupaya membuat modul pembelajaran yang dapat dipahami siswa, termasuk siswa yang terkendala akses sumber daya digital, modal utama pemelajaran daring. Sejumlah guru juga berinisiatif mendatangi siswa yang sama sekali tidak bisa mengakses sumber daya digital serta pemelajaran melalui radio dan televisi, semata demi keberlanjutan pendidikan siswanya.
Meski belum sempurna, guru yang yang tidak terpaku pada aturan (menuntaskan capaian kurikulum), guru yang mengambil langkah pertama dan tidak menunggu perintah, guru yang melakukan perubahan, guru yang mandiri, serta pemelajaran yang berpusat pada anak dan sesuai kebutuhan anak merupakan modal kemerdekaan belajar.
Pemelajaran jarak jauh di masa pandemi ini menjadi ajang pemelajaran bagi guru dan sekolah untuk melaksanakan merdeka belajar. Dan, guru yang merdeka akan memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan kemampuan pemelajaran sesuai perkembangan teknologi.