Dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 mulai terasa. Berdasarkan survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak orangtua siswa sudah tidak bisa lagi membayar biaya sekolah untuk anak-anak mereka.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Sejumlah siswa taman kanak-kanak menanam benih padi di Desa Wisata Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (13/12/2019). Wisata pertanian menjadi salah satu paket yang ditawarkan di desa wisata itu.
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran jarak jauh yang berlangsung hampir dua bulan berdampak ekonomi kepada pengajar sekolah pendidikan anak usia dini. Berdasarkan survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 10.601 orang guru di 34 provinsi, sekitar 40 persen menyebutkan orangtua siswa sudah tidak bisa lagi membayar biaya sekolah selama praktik belajar dari rumah.
Sebanyak 21 persen dari 10.601 orang responden guru menyebut orangtua tetap membayar penuh biaya sekolah. Sebanyak 39 persen dari total responden mengatakan orangtua tidak lagi membayar penuh.
Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Muhammad Hasbi dalam diskusi virtual ”Pendidikan yang Membahagiakan Anak di Era Covid-19”, Senin (11/5/2020), di Jakarta, menyampaikan salah satu temuan survei itu. Diskusi virtual diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Aisyiyah.
Berdasarkan kategori wilayah, 93 persen responden guru berasal dari lembaga PAUD daerah non-3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dan 7 persen dari PAUD daerah 3T. Sebanyak 83 persen responden guru berstatus pegawai bukan aparatur sipil negara (ASN) dan 17 persen adalah ASN.
Dari sisi penghasilan, sebelum pandemi, hasil survei menunjukkan, 46,3 persen responden guru menerima gaji kurang dari Rp 500.000, kemudian 23,5 persen menerima Rp 500.000- Rp 1 juta, lalu 22,5 persen memperoleh lebih dari Rp 1,5 juta, dan 7,6 persen mendapat Rp 1-Rp 1,5 juta per bulan.
Terkait besaran gaji atau insentif yang diterima saat pembelajaran jarak jauh (PJJ), 51 persen menjawab masih dibayar penuh, 20,5 persen dibayar setengah, dan 28,5 persen tidak dibayar.
Kompas
Rombongan siswa dan guru melintasi jalan kampung di tepi lumbung padi menuju sekolah mereka di Desa Batuhideung, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, Jumat (17/2).
Tidak dibayar
Hasbi mengatakan, jika dampak ekonomi ditelaah lebih jauh berdasarkan asal daerah, kondisi kesejahteraan guru PAUD berbeda-beda. Sesuai pembagian wilayah 3T dan non-3T, misalnya, sebanyak 65,1 persen guru PAUD di daerah 3T menyebut orangtua tidak membayar biaya sekolah selama PJJ. Sementara di daerah non-3T, sebanyak 38,5 persen guru PAUD mengaku tidak dibayar oleh orangtua siswa.
Sebanyak 65,1 persen guru PAUD di daerah 3T menyebut orangtua tidak membayar biaya sekolah selama pembelajaran jarak jauh.
Survei juga berusaha menanyakan sejauh mana dana bantuan operasional penyertaan (BOP) PAUD dan pendidikan kesetaraan dipakai untuk membantu mengatasi persoalan kesejahteraan. Sebanyak 82,9 persen guru PAUD di daerah 3T mengatakan lembaganya telah menerima. Sebanyak 93,3 persen guru PAUD di daerah non-3T menyebut sekolah mereka telah mendapat.
”Terlepas dari persoalan kesejahteraan, hasil survei kami menemukan 82 persen responden guru bersyukur bahwa orangtua terlibat aktif selama PJJ. Kami memahami orangtua tidak memiliki keterampilan pedagogi sehingga berpotensi melanggar hak anak. Kami menyiapkan fasilitator pendampingan sampai rencana pelaksanaan pembelajaran dari rumah,” kata Hasbi.
Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Aisyiyah, Chandrawati, mengatakan, kebijakan relaksasi pemakaian dana BOP PAUD dan pendidikan kesetaraan sudah jelas. Lembaga PAUD di bawah Pimpinan Pusat Aisyiyah berupaya mematuhi kebijakan itu.
Saat ini, bagi Pimpinan Pusat Aisyiyah, hal terpenting adalah selalu menekankan pentingnya pendidikan karakter bagi siswa. Pelaksanaan PJJ penting selalu diisi materi pendidikan karakter.