Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, segera merevitalisasi Benteng Kedung Cowek setelah mengumumkan penetapan repihan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda abad XX tersebut sebagai bangunan cagar budaya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, segera merevitalisasi Benteng Kedung Cowek setelah mengumumkan penetapan repihan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda abad XX tersebut sebagai bangunan cagar budaya.
”Setelah melalui proses panjang, Benteng Kedung Cowek ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Antiek Sugiharti, Minggu (10/5/2020).
Penetapan baterai atau kesatuan serdadu artileri pesisir (Kustbatterij Kedoeng-Tjowek) di wilayah administratif Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, ini berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Surabaya nomor 188.45/261/436.1.2/2019.
Sebelumnya, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pernah mengatakan, Benteng Kedung Cowek akan direvitalisasi atau ”dihidupkan” sehingga membawa manfaat bagi masyarakat, terutama dalam pendidikan dan informasi kesejarahan. Namun, sebelum revitalisasi dengan proyek perbaikan dan pengembangan, Benteng Kedung Cowek harus ditetapkan terlebih dahulu sebagai benda cagar budaya (BCB).
Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya telah melaksanakan penggalian dan pengkajian data serta pengujian material Benteng Kedung Cowek. Dari situ diketahui kompleks baluarti ini memiliki bagian yang berusia 103,5 tahun atau sudah berdiri sejak 1915. Benteng ini berdiri di tepi Selat Madura pada lahan seluas 71.876 meter persegi dan termasuk dalam wilayah teritorial Komando Daerah Militer V/Brawijaya Distrik 0831/Surabaya Timur.
Menurut Antiek, kompleks di dekat Jembatan Suramadu itu memiliki 11 bangunan yang layak dan ditetapkan sebagai BCB. Kesebelas bangunan itu mencakup total luas lahan 1.925,4 meter persegi. Sejauh ini, Kodam V/Brawijaya mendukung dan menyetujui penetapan Benteng Kedungcowek sebagai BCB. TNI Angkatan Darat juga akan dilibatkan dalam proses revitalisasi. ”Apa yang akan dilakukan selalu izin dengan Kodam V/Brawijaya,” ujarnya.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya Retno Hastijanti mengatakan, pengajuan Benteng Kedung Cowek sebagai BCB berlangsung sejak 2015. Namun, baru pada tahun lalu bisa dilaksanakan klarifikasi, penggalian, pengkajian, dan pengujian yang merupakan dasar ilmiah untuk penetapan sebagai BCB.
”Setiap bangunan dalam kompleks benteng itu ternyata masa pembuatannya tidak sama sehingga perlu diteliti dan diuji untuk mengetahui rentang waktunya,” kata Retno. Untuk pengujian materi, tim bekerja sama dengan Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya. Hasilnya, umur bangunan diketahui berusia setidaknya 103,5 tahun.
Secara terpisah, Ady Setyawan, peneliti sejarah dan penulis buku Benteng-benteng Surabaya, mengatakan, dirinya secara mandiri telah meneliti Benteng Kedung Cowek hingga menelisik arsip-arsip ke Belanda. Penetapan sebagai BCB bukan tujuan, melainkan awal untuk meneguhkan komitmen melestarikan repihan sejarah Surabaya.
Benteng Kedung Cowek merupakan bagian dari rangkaian pertahanan pantai untuk melindungi Surabaya. Pada abad ke-19, Surabaya merupakan pusat armada maritim terbesar Hindia Belanda.
”Dari dokumen salinan cetak biru yang saya dapatkan di Belanda, Benteng Kedung Cowek merupakan bagian dari beberapa bangunan serupa yang didesain oleh insinyur militer (Kapitein Genie) H Proper dan dibangun mulai 1899,” ujar Ady. Proper juga mendesain dan membangun struktur pertahanan serupa di Semamboeng, Oosterkust, dan Kali Dawir.
Menurut buku 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? karya Batara Hutagalung, Benteng Kedung Cowek merupakan baterai artileri yang ketika itu dioperasikan oleh sekelompok pemuda dari Sumatera eks-Heiho yang kemudian menamakan diri Pasukan Sriwidjaja. Mereka menggunakan benteng itu untuk menahan gempuran tentara Inggris dan sekutu dalam Pertempuran Surabaya 1945.
Para pemuda Sumatera itu sebenarnya baru pulang dari dinas Heiho melawan sekutu di Morotai, Maluku Utara. Satu batalyon di antaranya memutuskan tinggal di Surabaya untuk angkat senjata lagi melawan sekutu mengingat situasi Surabaya yang memanas sejak Oktober 1945. Para pemuda yang kebanyakan berasal dari Aceh dan Sumatera Utara itu bersedia bertempur kembali setelah diizinkan membentuk pasukan sendiri yang dinamai Sriwidjaja.
Dengan gigih dan nekat, dalam Pertempuran Surabaya, mereka meladeni gempuran kapal-kapal perang sekutu dengan artileri Jepang dan senjata tambahan hasil rampasan dari tangsi Jepang di Morokrembangan yang sudah dikuasai operasionalnya. Benteng itu akhirnya jatuh pada 27 November 1945 dengan korban setidaknya 200 pejuang gugur.
Upaya mempertahankan Benteng Kedung Cowek itu menjadi salah satu bukti betapa dahsyat, lama, dan mengerikannya Pertempuran Surabaya, yang menurut catatan sejarah menewaskan hingga 16.000 pejuang Indonesia dan sekutu serta memaksa 200.000 warga mengungsi.