Kebebasan pers di Indonesia yang membaik tahun ini terancam "tertunda" oleh sejumlah regulasi, baik yang telah dibahas pemerintah dan DPR maupun yang sudah berlaku.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Lembaga pemantau Reporters Without Borders menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada 2020 di posisi 119 atau meningkat lima poin dibandingkan pada 2019. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi ketiga setelah Malaysia dan Timor Leste.
Survei yang dilakukan Reporters Without Borders (RSF) di 180 negara ini menunjukkan bahwa peran negara sangat penting dalam memberikan ekosistem yang mendukung kebebasan pers. Di Indonesia, kondisi ini membuat media dapat memainkan peran yang sangat menentukan dalam memastikan bahwa demokrasi berfungsi sebagaimana mestinya, terutama selama Pemilu 2019.
Sejumlah perbaikan iklim kebebasan pers di Malaysia bahkan membuat negeri Jiran itu mengalami lompatan yang tinggi dalam kebebasan pers, jauh di atas Indonesia. Pada 2018 Indonesia di peringkat 124 dan Malaysia di peringkat 145. Tahun 2019 Indonesia tetap berada di peringkat 124, Malaysia naik di peringkat 123, dan tahun 2020 Malaysia melesat naik 22 poin ke posisi 101.
Kebebasan pers mendapat angin segar di Malaysia setelah koalisi yang dipimpin Perdana Menteri Najib Razak kalah dalam Pemilu pada Mei 2018, kekalahan pertama dalam sejarah Malaysia modern. Wartawan dapat kembali bekerja tanpa takut mendapat ancaman. Sensor juga menurun, dan pemerintah baru juga menepati janji mencabut Undang-Undang Antihoaks.
Kondisi sebaliknya terjadi di Singapura. Keputusan pemerintahan Perdana Menteri Lee Hsien Loong menerapkan UU Antihoaks di Singapura, menekan kebebasan pers di negeri ini tujuh poin hingga ke posisi 158 atau sangat buruk.
Undang-undang yang ditargetkan untuk menghapus hoaks dan disinformasi tersebut memberi kewenangan otoritas setempat untuk mengendalikan berita dan informasi. Pasal pencemaran nama baik mengancam wartawan yang kritis dengan hukuman hingga 21 tahun penjara.
Di sejumlah negara lainnya, iklim kebebasan pers yang belum kondusif diperparah oleh pembatasan dan tekanan terhadap media yang menyampaikan informasi terkait korona.
Di sejumlah negara lainnya, iklim kebebasan pers yang belum kondusif diperparah oleh pembatasan dan tekanan terhadap media yang menyampaikan informasi terkait korona. China (posisi 177) dan Iran (turun 3 poin ke posisi 173) menyensor informasi korona secara luas.
Demikian juga Korea Utara yang kini menempati posisi terbawah setelah turun satu poin karena mengontrol komunikasi dan media yang menyebabkan wartawan tidak dapat menyampaikan informasi korona. Kondisi ini memberi kontribusi menguatkan Asia sebagai kawasan yang memiliki pelanggar kebebasan pers terburuk di dunia.
Eropa masih menjadi wilayah yang paling menguntungkan bagi kebebasan pers, meski indeks di sejumlah negara di wilayah ini menurun. Norwegia masih menduduki puncak indeks selama empat tahun ini, posisi kedua tetap Finlandia, disusul Denmark yang naik dua poin. Swedia (4) dan Belanda (5) masing-masing turun satu poin akibat peningkatan kasus pelecehan siber.
Keputusan Perdana Menteri Hongaria Viktor Orbán yang mengeluarkan undang-undang “korona” pada akhir Maret lalu menjadi catatan di Eropa atas ancaman kebebasan pers yang meningkat akibat pandemi ini. Undang-undang yang memungkinkan pemerintah mengontrol ruang redaksi ini membuat indeks kebebasan pers Hongaria turun dua poin pada posisi 89.
Sedangkan di Amerika, secara umum iklim kebebasan pers relatif baik, terutama di Amerika Utara, Tengah, dan Selatan. Namun Amerika Serikat dan Brasil menjadi catatan kelam bagi kebebasan pers karena permusuhan negara terhadap media. Ancaman kebebasan pers di Afrika juga masih tinggi terutama dalam bentuk penahanan sewenang-wenang dan serangan daring terhadap wartawan.
Konvergensi krisis
Sekretaris Jenderal RSF Christophe Deloire mengatakan, kondisi saat ini akan menentukan kebebasan informasi, pluralisme, dan keandalan informasi yang ditargetkan pada sepuluh tahun mendatang. Indeks kebebasan pers yang disusun RSF menunjukkan bahwa konvergensi krisis masih mengancam kebebasan pers, dan pandemi Covid-19 memperburuk kondisi ini.
Krisis geopolitik karena agresivitas rezim otoriter, krisis teknologi karena kurangnya jaminan birokrasi, krisis demokrasi karena polarisasi dan kebijakan yang represif, krisis kepercayaan karena kecurigaan bahkan kebencian terhadap media, serta krisis ekonomi yang bisa berdampak pada kualitas jurnalisme masih menjadi ancaman kemerdekaan pers.
Krisis yang paling menonjol adalah krisis geopolitik yang disebabkan pemimpin rezim otoriter yang melakukan segala upaya untuk menekan informasi dan memaksakan visi mereka tentang dunia tanpa pluralism dan wartawan independen. China (149) yang sedang berusaha membangun “tatanan dunia baru” mempertahankan sistem kontrol informasi yang sangat tinggi, bahkan tentang korona yang kini menyebar ke seantero dunia.
Arab Saudi (170) dan Mesir (166) adalah tempat banyak wartawan ditahan, dan Mesir juga menggunakan tuduhan “hoaks” sebagai alasan untuk memblokir akses ke situs web dan halaman web dan untuk mencabut akreditasi media yang beroperasi di sana. Rusia (149) terus mengerahkan sumber daya yang semakin canggih untuk mengontrol informasi daring, dan India (142) memberlakukan jam malam elektronik terpanjang dalam sejarah Kashmir.
Ancaman kedua yang menonjol, dan semakin kuat saat ini adalah krisis teknologi. Tidak adanya peraturan yang tepat di era komunikasi digital dan global telah menciptakan kekacauan informasi. Propaganda, iklan, rumor, dan jurnalisme bersaing secara langsung, dan dapat merusak stabilitas demokrasi atas kebebasan berpendapat dan ekspresi.
Pers menjadi penyokong penting untuk membangun demokrasi yang sehat, membuat masyarakat berpengetahuan, serta memungkinkan masyarakat lebih terlibat dengan pemerintah. Pers Indonesia, kata anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, telah memainkan perannya ini dengan baik ketika bersama masyarakat “menggagalkan” pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP di penghujung masa kerja DPR periode 2014-2019.
Karena itu, ruang publik ini harus dijaga, meski tantangannya semakin besar. Selain krisis akibat pandemi korona, sejumlah regulasi masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Kebebasan pers yang membaik tahun ini, bisa “tertunda” jika pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUU KUHP dan RUU Cipta Lapangan Kerja dengan tidak memperhatikan aspirasi masyarakat.
Kedua rancangan undang-undang tersebut berpotensi mengekang kebebasan pers yang dijanjikan pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Bahkan, RUU Cipta Lapangan Kerja bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers karena ada upaya pemerintah campur tangan lagi dalam kehidupan pers sebagaimana pada masa Orde Baru.