Pandemi Covid-19 memukul para pelaku industri perbukuan di Asia Tenggara dan sekitarnya. Langkah-langkah penyelamatan mendesak dilakukan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Pembatasan sosial akibat pandemi mengakibatkan sebagian besar industri perbukuan mandek. Penjualan buku-buku di berbagai negara turun drastis.
Laura Bangun Prinsloo, Ketua Komite Buku Nasional 2016-2019 sekaligus Ketua Yayasan Tujuh BelasRribu Pulau Imaji, mengatakan, penjualan buku di Indonesia turun 40-70 persen sejak Maret 2020. ”Jika kondisi ini tidak segera mendapatkan perhatian dari pemerintah, penerbit tingkat kecil dan menengah tak lagi bisa bertahan,” ujar Laura akhir pekan lalu di Jakarta.
Bahkan, jika para penerbit harus mulai menyesuaikan bisnisnya dengan situasi pembatasan sosial saat ini, tetap saja memerlukan biaya yang tak sedikit. ”Mengubah buku menjadi buku elektronik (e-book) atau buku audio (audio-book) pun tidak secepat dan semudah itu dari segi biaya. Belum lagi tidak semua penerbit siap dengan cara penjualan e-commerce,” katanya.
Sejumlah pelaku industri perbukuan di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, pada Jumat (24/4/2020) menggelar diskusi daring dalam rangka World Book Day yang jatuh setiap tanggal 23 April. Diskusi diinisiasi Publishers Without Borders, kelompok yang didirikan pada awal pandemi Covid-19 oleh Simon de Jocas dari Editions Les 400 Coups yang berbasis di Montreal, Kanada, dan dikelola dengan bantuan Prashant Pathak dari Wonder House Book India, Fatimah Abbas dari Fala Agency di Mesir, dan Emma House, konsultan penerbitan internasional yang berada di Inggris.
Dalam diskusi tersebut, Publishers Without Border mengadakan empat sesi diskusi daring di mana Indonesia diundang untuk menjadi pembicara di sesi pertama pada pukul 15.00 WIB dengan tema ”A Look Into the Publishing World in South East Asia” yang menghadirkan tiga tokoh perbukuan dari tiga negara, yaitu Laura Bangun Prinsloo, Ketua Komite Buku Nasional 2016-2019 dan Ketua Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji; Arief Hakim Sani, Presiden Malaysian Book Publishers Association dan Managing Director PTS Media Group yang berbasis di Selangor, Malaysia; dan Maria Karina Africa Bolasco, Direktur Ateneo University Press. Ketiganya memaparkan memburuknya penjualan buku selama pandemi.
Di Malaysia, Arief Hakim menjelaskan bahwa Pemerintah Malaysia yang tahun ini tengah merayakan terpilihnya Kuala Lumpur sebagai UNESCO World Book Capital City 2021 mengadakan kampanye membaca nasional setiap pukul 11 siang. Karena pandemi Covid-19, negara tersebut mengubah semua perayaan UNESCO World Book Capital City yang diselenggarakan pada 24 April menjadi acara-acara berbasis daring.
Di Malaysia, penjualan buku turun 80-90 persen karena seluruh toko buku tutup.
Di Malaysia, penjualan buku turun 80-90 persen karena seluruh toko buku tutup yang menyebabkan arus keuangan para pemilik usaha menjadi sangat berkurang. ”Setelah lockdown, banyak orang kehilangan pekerjaan dan sejumlah penerbitan tutup,” ujarnya.
Bantuan Pemerintah Malaysia sejauh ini diberikan untuk penerbit-penerbit skala kecil dan menengah dalam bentuk pinjaman bank selama 6 bulan dan subsidi untuk gaji para pekerja perbukuan. ”Kami sebenarnya mengharapkan bantuan dalam bentuk pembelian dan mengizinkan toko buku buka dalam periode tertentu karena pendapatan kami masih sangat bergantung pada penjualan buku fisik,” kata Arief.
Di Filipina pun situasinya sama. Bulan April yang harusnya menjadi perayaan literasi di Filipina berupa International Literary Festival harus dibatalkan. Menurut Karina Bolasco, sejumlah penerbit mencoba mengatasi situasi ini dengan beberapa cara, misalnya menggelar program pemberian buku gratis setiap minggu di Provinsi Naga serta bekerja sama dengan jasa pengantar makanan, supermarket, dan restoran.
Pada September nanti, mereka berharap bisa melaksanakan pameran buku tahunan yang tahun ini menginjak ke-41 tahun. ”Semoga situasinya sudah membaik sehingga festival tersebut masih bisa dilangsungkan meski bisa jadi pemerintah akan menarik dukungannya,” ujar Karina Bolasco.
Karina berharap Agustus nanti, saat sekolah mulai dibuka, para penerbit bisa kembali menjalankan penjualan di toko buku. Di Filipina, kebanyakan industri perbukuan menerbitkan buku-buku pelajaran dan pendidikan.
Beri dukungan
Menyikapi terpuruknya industri perbukuan nasional, Yayasan Tujuh Belas Ribu Pulau Imaji mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo pada 15 April 2020 agar pemerintah menyiapkan langkah-langkah penyelamatan industri perbukuan Indonesia.
Beberapa usulan yang disampaikan adalah pemerintah diminta memberikan dukungan dana bagi industri perbukuan untuk membuka akses membaca gratis secara online dan segera mengonversi buku terbitan ke dalam bentuk digital, audio, video, dan program online agar mudah diakses saat pandemi; memberikan dukungan dana bagi perpustakaan, lembaga pendidikan, dan komunitas masyarakat untuk membeli buku, buku digital, dan buku audio agar dibaca masyarakat di rumah; serta memberikan dukungan dana bagi industri perbukuan untuk menerbitkan buku bertema kesehatan dan hidup higienis untuk meningkatkan gaya hidup sehat masyarakat.
Usulan lainnya adalah pemerintah perlu menggelar kampanye bersama untuk menyosialisasikan budaya baca pada masa pandemi; membantu pengiriman buku-buku ke taman bacaan, perpustakaan daerah, dan komunitas; serta membantu menghidupkan kembali industri perbukuan dari keterpurukan.
Menurut Laura, sejumlah negara melakukan gerakan untuk menyelamatkan literasi. Sebagai contoh, Perpustakaan Nasional Republik Ceko membeli buku elektronik senilai 370.000 euro selama masa pandemi, Inggris memberikan dana kepada perpustakaan umum senilai 1 juta poundsterling untuk membeli buku elektronik dan buku audio, serta Irlandia mengeluarkan dana tambahan 200.000 euro untuk pembelian 5.000 buku elektronik dan buku audiobook bagi perpustakaan umum.