Aspek ekonomi, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, dan distribusi bantuan sosial yang belum menyasar perempuan kelompok rentan perlu jadi perhatian pemerintah ketika menyalurkan bantuan sosial saat pandemi Covid-19.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
DOKUMENTASI HUMAS PEMPROV JAWA BARAT
Sejumlah tenaga kerja Indonesia dari Arab Saudi menjalani pemeriksaan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (2/5/2020). Para TKI yang berjumlah 86 orang ini adalah warga Jawa Barat yang dijemput Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Jabar dari Bandara Soekarno-Hatta. Mereka akan menjalani isolasi di Pusat Isolasi Mandiri Covid-19 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Kota Cimahi.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 diharapkan memperhatikan situasi dan kondisi perempuan dan anak perempuan. Penyaluran bantuan sosial dan intervensi kebijakan perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka saat terjadi bencana.
Pandemi mengakibatkan para perempuan kesulitan memenuhi kebutuhan spesifik, seperti pembalut dan akses layanan kesehatan reproduksi. Karena itu, Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Covid-19 (Pokja Covid-19) yang terdiri dari 161 organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia, Minggu (3/5/2020), di Jakarta, menyerukan kepada pemerintah untuk memastikan bahwa Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Penanganan Bencana benar-benar diimplementasikan.
”Peraturan ini merupakan satu-satunya regulasi pemerintah yang seharusnya dijadikan rujukan bagi Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sebenarnya peraturan tersebut sudah cukup kuat. Peraturan Kepala BNPB mengatur kewajiban memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujar Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang juga anggota Pokja PUG Covid-19.
Peraturan Kepala BNPB mengatur kewajiban memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Sayangnya, peraturan tersebut, menurut Mike, tidak menjadi rujukan hukum dalam pembentukan Surat Keputusan Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 18 Tahun 2020, yang versi revisinya dikeluarkan pada tanggal 29 April 2020. Menurut Pokja PUG Covid-19, ada sejumlah masalah besar yang harus direspons secara serius oleh pemerintah dengan menggunakan kebijakan PUG, yakni aspek ekonomi, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, dan distribusi bantuan sosial yang belum menyasar perempuan kelompok rentan.
Mike, bersama Ruby Kholifah (Coutry Representative AMAN Indonesia) dan Listyowati (Direktur Kalyanamitra), Minggu petang, menyampaikan pernyataan pers Pokja PUG Covid-19 tentang urgensi pengarusutamaan jender dalam penanganan pandemi Covid-19 secara daring.
Pokja PUG Covid-19 mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain langkah BNPB yang mencoba mendorong pentingnya data terpilah pada korban Covid-19, peluncuran Gerakan#Berjarak oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang juga membangun koordinasi dengan kementerian lain, pencegahan kekerasan berbasis jender, memastikan layanan korban tersedia, serta langkah Kantor Staf Presiden yang meluncurkan Layanan Sejiwa untuk akses konsultasi psikologis bagi masyarakat.
Kompas/Wawan H Prabowo
Warga berbelanja sayur di Pasar Kreo, Tangerang, Banten, Minggu (3/5/2020). Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan resmi diperpanjang sampai 17 Mei 2020.
Masih ada masalah
Akan tetapi, menurut Pokja PUG Covid-19, hingga kini ada sejumlah masalah besar yang harus direspons secara serius oleh pemerintah dengan mengunakan kebijkan PUG, yakni aspek ekonomi, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, dan distribusi bansos yang belum menyasar perempuan kelompok rentan.
Dari aspek ekonomi, warga kelas miskin kehilangan sumber penghidupannya karena ribuan pekerja bekerja di rumah atau dirumahkan. Kebijakan belajar di rumah untuk anak menghantam keluarga miskin yang tidak memiliki akses internet dan lainnya.
Begitu juga aspek kesehatan, terutama kebutuhan pasien perempuan terkait kesehatan reproduksinya, perlu diperhatikan. Sementara itu, muncul tren peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak selama masa pandemi. Data Simfoni Kementerian PPPA per 2 Maret-25 April 2020 mencatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dengan total korban sebanyak 277 orang dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak dengan korban sebanyak 407 anak.
”Sementara sampai saat ini belum ada ketentuan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mekanisme layanan korban kekerasan selama pandemi berlangsung dengan menyesuaikan kondisi pembatasan sosial,” ujar Ruby.
Meski sudah ada program bansos dari pemerintah, hingga kini distribusinya belum tepat sasaran dan netral jender. Sejumlah bantuan sosial diterimakan kepada masyarakat yang sebenarnya merupakan kategori keluarga mampu.
”Jenis bantuan yang diberikan juga belum memenuhi kebutuhan spesifik warga yang memiliki keragaman kebutuhan, seperti warga lansia, disabilitas, balita, ibu hamil, orang dengan HIV/AIDS, masyarakat terpencil, dan kelompok marjinal lainnya. Ini karena respons kedaruratan belum menggunakan data pilah jender dan analisiis kebutuhan berbasis jender,” ujar Mike.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Suasana di lokasi pengungsian Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (30/10/2019). Lokasi pengungsian dinilai tidak aman bagi perempuan dan anak sehingga rentan terjadi kekerasan selama di pengungsian, mulai dari kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perkawinan anak.
Perhatikan perempuan pengungsi
Pada kesempatan tersebut, Dewi Rana Amir, Direktur LIBU Perempuan Sulawesi Tengah, mengungkapkan berbagai persoalan yang dihadapi para perempuan pengungsi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala (Sulteng) yang hingga kini masih tinggal di hunian sementara. Kebijakan pembatasan sosial dan fisik sangat kontradiktif dengan keadaan mereka yang saat ini tinggal di tenda-tenda atau huntara yang sangat sempit.
”Sejak awal bencana sampai saat ini ada 137 keluarga yang masih tinggal di tenda yang hanya berukuran 4 meter x 5 meter atau 4 meter x 6 meter. Dengan suasana yang panas, mereka pasti akan keluar tenda. Banyak yang membutuhkan beras karena sudah beberapa hari tidak makan, begitu juga perempuan butuh pembalut,” ujarnya.
Selain itu, ibu-ibu hamil juga sulit mengakses puskesmas dan rumah sakit. Sementara beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi, tetapi sulit untuk menyampaikan laporan di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.
Selain Dewi Rana, hadir juga perempuan dari beberapa daerah, antara lain Suraya Kamaruzaman (Aceh) dan Triwijati (Jawa Timur). Mereka menyampaikan situasi dan kondisi perempuan di daerah yang membutuhkan bansos dan intervensi pemerintah, terutama dalam perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga.