Pembelajaran daring bagi siswa akibat pandemi Covid-19 menjadi kendala bagi proses belajar-mengajar di daerah dengan kondisi penuh keterbatasan. Namun, proses belajar-mengajar harus tetap berjalan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Pembelajaran daring bagi siswa akibat Pandemi Covid-19 menjadi kendala bagi proses belajar-mengajar di daerah dengan kondisi penuh keterbatasan. Agar bisa tetap berkomunikasi dengan siswa, para guru mencari cara dengan membentuk aktivitas belajar menjadi tidak membosankan.
SMK Widya Mukti di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, merasakan kesulitan itu. Sebenarnya daerah yang berjarak 77 kilometer dari Kota Bandung ini tidak begitu terpencil. Pusat keramaian terdekat adalah Kecamatan Garut Kota dengan jarak tempuh lebih kurang 10 kilometer.
Namun, yang berada di daerah terpencil adalah para siswa. Dari 194 siswa yang menimba ilmu, lebih dari 90 persen berasal dari kalangan tidak mampu. Bahkan, sebagian besar siswa berasal dari desa-desa terpencil dan kebun teh kawasan Gunung Satria di perbatasan Kabupaten Garut-Tasikmalaya.
Kepala SMK Widya Mukti Dadan Erawan tidak menyangka pandemi Covid-19 benar-benar berdampak pada sekolah yang dia kelola. Dia menuturkan, hanya 120 siswa dari total keseluruhan yang mengikuti pembelajaran daring akibat keterbatasan alat.
”Saya ingin semuanya bisa mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Namun, hampir semuanya tidak mampu. Kami juga tidak mungkin menyediakan ponsel untuk setiap siswa. Kami tidak ada biaya,” ujarnya.
Sekolah ini bahkan tidak menggunakan video konferensi dalam proses belajar-mengajar karena tidak semua siswa mampu membeli telepon seluler dengan spesifikasi yang pas. ”Sebagian besar hanya memiliki handphonejadul (zaman dulu) dan sulit menggunakan aplikasi konferensi video,” ujarnya saat dihubungi dari Bandung, Jumat (1/5/2020).
Namun, proses belajar-mengajar harus tetap berjalan. Karena itu, dari awal penerapan belajar daring di pertengahan Maret, proses belajar-mengajar menggunakan grup aplikasi pesan Whatsapp (WA). Setiap kelas memiliki satu grup WA dan para guru bergantian masuk ke dalamnya serta memberikan materi.
Awalnya Dadan dan para guru menerapkan jam belajar normal. Namun, semua hanya bertahan dua minggu. Satu per satu dari 120 siswa yang aktif dan mampu ini menghilang, menyisakan kurang dari separuh.
”Para siswa merasa jenuh belajar biasa. Belum lagi belajarnya tidak tatap muka hanya berkutat tugas. Lama-lama siswa tidak mengumpulkan tugas, lalu ada yang tidak aktif di grup. Guru-guru jadi bingung,” tuturnya.
Bagi guru, interaksi tersebut dapat memastikan para siswa masih mau belajar.
Padahal, bagi Dadan, pendidikan itu adalah interaksi antara guru dan murid. Adanya komunikasi membuat murid memahami mereka masih berstatus siswa yang memiliki kewajiban menimba ilmu. Bagi guru, interaksi tersebut dapat memastikan para siswa masih mau belajar.
Pendidikan karakter
Dadan pun memutar otak. Dia tidak mungkin membiarkan siswa berkurang sedikit demi sedikit. Karena itu, dia mengubah pola pembelajaran dan pemberian materi bagi para siswa di SMK Widya Mukti.
”Di minggu berikutnya, kami lebih menekankan pada pendidikan karakter. Para siswa tidak diminta mengerjakan tugas yang banyak, tetapi memastikan mereka tetap bersikap baik, seperti beribadah dan membantu orangtua,” ujarnya.
Durasi pemberian materi ajar pun dipersingkat dan dipadatkan. Setiap hari, hanya ada dua guru mata pelajaran yang masuk ke Grup WA kelas. Itu pun sebatas memberikan rangkuman dan tugas. Di sisi lain, interaksi untuk pendidikan karakter antara guru dan siswa berlangsung pada pagi, siang, dan sore hari.
Beberapa kegiatan yang rutin dilaksanakan siswa dilaporkan di dalam grup WA. Bentuknya bermacam-macam, seperti kegiatan berjemur sambil bercocok tanam di pagi hari hingga mengaji bersama keluarga selepas Maghrib.
Bentuk pelaporan terkadang berupa gambar, kadang berupa pesan suara (voice notes). Dadan menuturkan, sekolah tidak meminta siswa melaporkan dalam bentuk video karena kuota yang besar dan itu akan membebani siswa.
Tugasnya bermacam-macam. Sesekali para siswa diminta untuk menyanyi menggunakan bahasa asing atau menjadi penyiar radio dengan rekaman. Di lain waktu, siswa diminta berswafoto bersama keluarga saat berkumpul di ruang tengah pada malam hari.
”Kami menerima sampai ratusan foto setiap hari. Tapi itu tidak masalah, bahkan aktifnya siswa meyakinkan kami mereka tetap bersama keluarga dan mau berkomunikasi dengan para guru. Setidaknya ini yang bisa kami lakukan sampai pandemi usai,” ujarnya.
Kembali sekolah
Sesaat setelah menceritakan kegiatan pembelajaran daring dengan ceria, sejenak Dadan menghela napas dan terdiam. Ternyata dia mengkhawatirkan para siswa yang tidak bisa ikut proses belajar-mengajar.
Dadan berujar, sebagian besar siswa yang menimba ilmu di SMK Widya Mukti berasal dari keluarga yang tidak mampu. Jadi, keinginan untuk belajar itu murni berasal dari siswa, sedangkan keluarga menyerahkan semuanya kepada sang anak.
Adanya pandemi ini tentu memutus kegiatan belajar-mengajar bagi siswa yang tidak memiliki ponsel ataupun alat komunikasi lainnya. Sebagian siswa pun kedapatan berjualan di pasar untuk membantu orangtuanya dan saat ditanya akan berpikir ulang untuk kembali sekolah.
”Salah seorang guru sempat bertemu siswa kami, anak kelas 10, berjualan di pasar. Saya bukannya melarang, saya khawatir anak-anak ini tidak tertarik untuk kembali bersekolah karena telah mencari uang. Padahal, pendidikan itu sangat penting,” ujarnya.
Bagi Dadan, tugas berat yang akan ditempuh sekolah adalah mengembalikan lagi minat belajar para siswa yang tidak mengikuti proses belajar-mengajar daring. Dia berharap semua siswa masih memiliki semangat untuk belajar sampai lulus.
Sebelumnya, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, pembelajaran jarak jauh secara daring tidak bisa menjadi solusi tunggal karena cenderung memperburuk ketidaksetaraan pendidikan.
Saat ini ada 1,5 miliar siswa atau sekitar 90 persen total siswa di dunia yang harus mengikuti pembelajaran jarak jauh. Dari jumlah itu, sekitar 706 juta siswa tidak memiliki akses internet, termasuk terdapat pula di Indonesia. Mereka inilah yang sangat rentan tidak mendapatkan haknya di bidang pendidikan karena pandemi Covid-19 ini (Kompas, 30 April 2020).