Hari Buruh 2020 Paling Kelam, Banyak Buruh Di-PHK dan Dirumahkan
Hari Buruh tahun ini menjadi bertambah kelam karena rentetan PHK massal dan perumahan buruh terjadi di sejumlah kota.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbeda dengan peringatan Hari Buruh pada tahun-tahun sebelummya, Hari Buruh 2020 dirasakan para perempuan buruh sebagai Hari Buruh terkelam. Di tengah situasi pandemi Covid-19, selain tidak bisa bersuara lantang meneriakkan berbagai tuntutan, banyak perempuan buruh dirumahkan dan bahkan mengalami pemutusan hubungan kerja.
Bagi sejumlah perempuan buruh yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, terputusnya mata pencarian karena kebijakan perusahaan (dirumahkan atau di-PHK) adalah masalah besar. Selain rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, perempuan juga berpotensi stres karena tekanan ekonomi.
Kondisi ini sangat terasa jika korban PHK massal adalah perempuan buruh yang menjadi pencari nafkah utama.
”Hari Buruh tahun ini menjadi bertambah kelam karena rentetan PHK massal terjadi di banyak kota. Jakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, Jawa Timur, dan daerah lain. Kondisi ini sangat terasa jika korban PHK massal adalah perempuan buruh yang menjadi pencari nafkah utama,” ujar Jumisih, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Jumat (1/5/2020), di Jakarta.
Tekanan ekonomi keluarga yang merosot drastis membuat keluarga-keluarga stres dan memicu perselisihan. Kondisi ini membuat perempuan buruh rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Asupan gizi bagi perempuan pun terganggu karena kondisi ekonomi.
”Ada 73,29 persen buruh di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Jateng yang merasa mengalami kerentanan dalam pekerjaannya. Sementara distribusi sembako dari pemerintah malah tidak sampai ke tangan buruh dengan alasan administrasi,” ujar Jumisih yang juga Wakil Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).
Dari informasi sementara yang dihimpun FBLP dan KPBI, sejak pandemi Covid-19, gelombang PHK dan praktik merumahkan karyawan terus terjadi, terutama kepada perempuan buruh. Ia mencontohkan sebuah perusahaan yang merumahkan sekitar 800 pekerja sejak awal April lalu serta beberapa perusahaan yang meliburkan selang-seling pekerjanya. Saat libur, pekerja tidak diupah.
”Hari Senin besok, kami dengar ada juga perusahaan yang akan merumahkan 900 pekerja selama sebulan tanpa diupah, padahal 99 persen pekerjanya perempuan,” ujarnya.
Yumanna Sagala, Ketua Serikat Pekerja (SP) Sandang Garteks PT Kaho Indah Citra Garment, di wilayah Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta, berharap pandemi Covid-19 segera berakhir. Sebab, saat ini, perempuan pekerja sangat rentan mengalami diskriminasi, pengurangan karyawan, pemotongan upah, bahkan penundaan pembayaran tunjangan hari raya (THR). ”Ada juga perusahaan yang merumahkan karyawan tanpa memberi upah dan THR,” kata Yumanna.
Tidak hanya dirumahkan dan di-PHK, menurut Jumisih, perempuan buruh juga berada dalam ancaman tertular virus korona baru. Ia mencontohkan, kasus pekerja yang positif terpapar Covid-19 atau meninggal akibat Covid-19 benar-benar terjadi di Bandung dan Sumedang (Jawa Barat), Tangerang (Banten), serta Jawa Timur.
”Di sisi lain, pemerintah tidak menindak tegas pengusaha yang masih terus mempekerjakan buruh industri padat karya dalam situasi pandemi. Bukankah ini perlakuan tidak adil dan diskriminasi? Setidaknya ada 67,81 persen buruh di Jabotabek dan Jateng masih dikondisikan bekerja dalam situasi pandemi dengan alat pelindung diri ala kadarnya,” kata Jumisih.
Oleh karena itu, pada Hari Buruh 2020, FBLP menuntut pemerintah untuk meminta perusahaan menghentikan kebijakan PHK atau merumahkan perempuan buruh tanpa perlindungan upah. Mereka mendesak pemerintah untuk memenuhi hak-hak perempuan buruh serta mendistribusikan sumber bahan pangan bagi seluruh rakyat dan buruh tanpa diskriminasi.
Akses untuk skema bantuan sosial
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam pernyataan pers dalam rangka Hari Buruh 2020 mendesak pemerintah memberi perhatian khusus terhadap kerentanan perempuan pekerja semasa pandemi ini. Termasuk di dalamnya menyediakan skema bantuan sosial khusus bagi perempuan pekerja lintas sektor dan lintas negara dalam program jaring pengaman sosial.
”Dampak pandemi ini dirasakan semua lapisan masyarakat di seluruh dunia, termasuk perempuan pekerja baik di sektor formal maupun informal,” ujar Tiasri Wiandiani, komisioner Komnas Perempuan.
Karena itu, Komnas Perempuan meminta pemerintah memberikan perhatian khusus kepada perempuan pekerja Indonesia, baik di sektor formal maupun informal, di dalam ataupun di luar negeri. Sebab, perempuan pekerja memiliki kerentanan yang khas karena jendernya serta kebutuhan khusus karena perempuan.
Migrant Care dalam seruannya juga meminta pemerintah tidak melupakan pekerja migran Indonesia dan keluarganya, yang rentan kehilangan pekerjaan, dari kebijakan perlindungan sosial/jaring pengaman sosial pada masa andemi Covid-19.
”Menurut UN Women, kerentanan berlapis juga dihadapi oleh perempuan pekerja migran, terutama mereka yang bekerja di sektor pengasuhan, perawatan, dan pelayanan publik. Kerentanan ini kerap dilupakan atau malah dianggap tidak ada,” ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.
Bahkan, menurut Wahyu, menjelang Idul Fitri nanti juga diprediksi terjadi eksodus pemulangan/kepulangan pekerja migran Indonesia. Menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah pemudik pekerja migran sekitar 38.000. Sebagian besar di antara mereka adalah yang selesai masa kontrak ataupun yang diperpendek masa kontraknya.